Bab 5

19 4 2
                                    

Kai mematung mendengar ucapan Seza. Perkataan wanita itu begitu menohok membuat Kai tak dapat berucap apa pun untuk membalas. Lebih tepat Kai tidak mempercayai penglihatannya saat ini, hingga ia hanya tertegun. Seza datang, wanita itu benar-benar ada di depannya.

Seza menatap Kai sendu dengan deraian air mata membasahi wajah. Jemarinya berkali-kali mengusap pipi tirus kemerahan itu. Hal yang semakin membuat Kai merasa bersalah karena mungkin ia menyakiti Seza lagi.

Kai pelan-pelan bangkit dari posisinya, terduduk sebentar kemudian ia berjalan menghampiri Seza. Tangannya terulur meraih lengan putih Seza. Namun, wanita itu melangkah mundur menghindari Kai.
Kepalanya menggeleng dengan salah satu tangannya mendekap bibir menyamarkan isak tangis.

Dengan gerakan cepat Kai memeluk Seza, membuat wanita itu berontak melepaskan pelukan Kai yang erat. Kai tak akan membiarkan itu terjadi. Ia semakin menenggelamkan wajah Seza di dadanya seraya mengecupi pucuk kepala wanita itu. Detak jantung bergemuruh saat dengan pelan Seza memukuli punggung lebarnya. Seza terus melakukan itu sambil terus berusaha mengendurkan lingkaran tangan Kai yang justru semakin kuat.

Kai akan menerima semua apa yang akan dilakukan Seza. Pukulan, tamparan, bentakan Kai dengan senang hati memasang badannya untuk Seza. Ia pantas mendapatkan itu setelah apa yang telah ia perbuat pada Seza. Asalkan wanita itu tak pergi dari hidupnya, menyerahkan jantungnya pada wanita itu pun akan Kai berikan.

"Maafkan aku," ucap Kai yang menghentikan pergerakan Seza. Wanita itu terdiam membuat Kai mengendurkan pelukan, menatap Seza dalam.

"Lepaskan aku," jawab Seza pelan. Matanya yang memerah akibat tangis beradu pandang dengan Kai.

"Tidak. Kau harus mendengarkan semua penjelasanku terlebih dulu," ucap Kai yang melepaskan pelukan itu kemudian meraih lembut kedua jemari tangan Seza.

"Apa lagi yang mau kau jelaskan? Pendengaranku sangat baik, Kai. Aku sudah mendengar semuanya. Kau tidak perlu repot-repot lagi," jawab Seza pelan dengan terus menatap Kai yang kini menggeleng cepat.

"Kau salah ...."

"Paham? Apanya yang salah paham? Menurutmu apa yang kau lakukan padaku benar?"

Kai benar-benar tak bisa membalas ucapan Seza. Mulutnya tertutup rapat mengingat semua hal yang diucapkan Seza itu nyata adanya. Seza melepaskan genggaman Kai dengan pelan. Wanita itu melangkah mundur menatap Kai dengan sendu.

"Aku kemari untuk memperjelas semuanya. Aku akan pergi, aku tak ingin kau menggangguku lagi. Aku akan mengobati rasa sakit hatiku. Jangan berharap kau bisa menemukanku.

Aku akan berusaha memaafkan semua kesalahanmu semampuku. Oleh karenanya, jangan kau buat usahaku untuk melupakanmu menjadi sia-sia."

Ucapan Seza yang panjang lebar, menghantam Kai dengan keras. Tulang-tulang di tubuh Kai seakan lolos dari tempatnya mendengar itu. Jantungnya berdebar-debar menimbulkan rasa ngilu.

Kai seakan dihantam godam yang seketika menghancurkan dirinya berkeping-keping. Ia gemetar, kedua kaki pria itu lemas bagai jeli dan ia tak mampu menahan beban tubuhnya sendiri. Kai menggeleng cepat lalu kembali meraih jemari Seza, mengecup berkali-kali berharap itu bisa membuat wanita itu luluh.

"Maafkan aku, Seza. Kumohon jangan seperti ini. Aku akan memperbaiki kesalahanku. Tolong jangan pergi dariku." Iris hijau itu memburam akibat air mata yang menggenang. Lagi-lagi Seza melepaskan genggaman Kai. Ia menatap sayu Kai yang sedang menangis di hadapannya.

"Terlambat! Rasa sakit ini mengunci hatiku sepenuhnya darimu."

Setelah mengatakan itu Seza berbalik dan berlari keluar dari kamar rawat Kai. Kai hanya diam, kakinya tak dapat digerakkan sama sekali. Bahkan tubuh pria itu meluruh ke dinginnya lantai sambil terus memandangi pintu.

Pandangan Kai kosong. Hanya air mata yang mewakili perasaannya saat ini. Ia bahkan tidak bisa berteriak untuk menahan kepergian Seza. Dunia Kai berubah kelam, sehingga setitik cahaya pun tak mampu menembus gelapnya.

****
Kia menyesap es kopi dengan cepat. Rasa panas menjalar ke hatinya mengingat percakapan pria yang sudah mengacaukan pikirannya. Gemuruh jantung yang tak beraturan semakin membuatnya tersiksa. Entah apa yang terjadi pada Kia saat ini. Mungkinkah ia menyukai pasien yang tengah ia rawat itu?

Kia menggeleng. Menghilangkan apa pun yang ia pikirkan saat ini. Tak seharusnya Kia seperti sekarang. Namun, tak dapat dipungkiri jika ia tak bisa melepas rasa penasaran pada pria beriris hijau itu.

"Kia, sadarlah. Mengapa kau begitu ingin tau tentang pria itu?" gumamnya sambil kembali menyesap minuman.

Kia mengusap kasar wajahnya. Tak lama terdengar deringan ponsel, segera Kia mengangkatnya.

"Kau dimana?" Terdengar suara di seberang memulai obrolan

"Aku sedang membeli kopi," ucap Kia kemudian bangkit dari duduknya.

"Cepatlah kembali. Pasien yang sedang kau jaga mencoba bunuh diri."

Mendengar itu Kia berlari secepat kilat kembali ke rumah sakit. Rasa cemas merayap ke hatinya. Pikiran pun seketika berkecamuk. Berbagai pertanyaan muncul. Bukankah tadi pria itu sedang bertemu dengan kekasihnya? Bagaimana mungkin tiba-tiba ia mencoba mengakhiri hidupnya?

Kia berlari dari lorong ke lorong rumah sakit. Entah mengapa ruang rawat Kai rasanya begitu jauh. Jantungnya berdebar-debar karena rasa lelah yang mendera. Keringat mengucur dari kening hingga ke leher. Matanya terbelalak melihat kerumunan orang berdiri di depan kamar Kai.

Tanpa berpikir panjang, Kia menerobos masuk dan mematung melihat Kai sedang memegang pecahan gelas dengan pergelangan tangan yang sudah tersayat. Darah menetes membuat lantai yang putih kini bebercak merah. Kia melangkah maju tetapi suara dari seorang pria menghentikan langkahnya.

"Diam di tempatmu, Kia. Dia bisa saja menyakitimu juga." Ucapan itu datang dari Dokter Ben. Pria muda berjas putih itulah yang pertama kali melihat Kai dalam keadaan seperti ini. Ia berkali-kali berusaha mendekati Kai guna meraih pecahan kaca yang tengah di pegang oleh pria itu. Namun, gagal.

"Tapi, Dokter ...."

"Ini bukan hal yang bisa kau tangani. Kau tunggulah di luar. Aku menunggu Zack dan lainnya datang."

Kia hanya dia mematung dengan pandangan yang terus terarah pada Kai. Kakinya terasa kaku untuk bisa digerakkan berjalan keluar. Hatinya berkata lain. Ia tak ingin meninggalkan pria itu. Ia ingin membantu. Melihat darah yang mengucur, itu sungguh menyakiti Kia. Sampai tepukan seseorang pada bahu Kia, membuatnya tersadar.

"Sedang apa kau di sini? Cepatlah keluar." Ucapan itu datang dari Zack. Ia bersama dengan dua perawat pria lainnya. Ia menatap Zack dengan mata yang berkaca-kaca sambil menggeleng cepat.

"Ini berbahaya. Kau tunggulah di luar." Zack menarik paksa Kia keluar dari kamar Kai. Kemudian pria itu menutup pintu dan menguncinya dari dalam.

Kia tak dapat berteriak karena ia sebenarnya menolak meninggalkan Kai. Kia hanya bisa terdiam dengan hati yang gusar menunggu apa yang akan terjadi di dalam. Bolak-balik ia melangkah tanpa sekalipun pergi jauh dari sana. Kia menggigiti kuku guna menyamarkan perasaannya yang cemas.

Beberapa menit berlalu belum juga ada tanda-tanda orang-orang dalam akan keluar. Itu semakin membuat Kia khawatir. Ia mencoba menggerakkan kenop pintu yang memang terkunci tetapi tak ada respon apa pun dari dalam. Ia menggedor pun masih tak ada tanggapan. Sampai terdengar suara nyaring dari sesuatu yang pecah membuat Kia terdiam.

***

Haii haii ...
Bab 5 udah update.
Adakah yang nungguin?

Kira-kira apa ya yang Kai lakuin sama Seza sampai dia hancur banget kaya gini?

Ditunggu terus yaa.
Jangan lupa vote dan komennya.

Enjoy the story'
Happy reading.

My Auntumn (End)✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang