PUTUS

32 3 1
                                    

Hatiku sesak menerima cintamu yang terlalu hebat
Aku bukan anak kecil yang bisa kau larang seenaknya
Aku pun butuh oksigen untuk mengisi ruang pikiranku
Jadi, jangan pernah mencoba melarangku untuk menjauh dari orang-orang di sekitarku

~ Kiara Shabila ~

"Lebih baik kita putus saja, Vin! Aku muak selalu dikekang terus sama kamu!" Kiara mendorong kuat tubuh Davin.

Tubuh Davin terhuyung. Punggung lelaki itu hendak menabrak pohon di belakangnya. Bersyukur ia masih mampu menyeimbang tubuh. Tangan kekar itu segera meraih pergelangan tangan Kiara yang hendak melarikan diri.

"Lepasin, Vin!" Kiara menghempaskan cekalan sang kekasih.

"Enggak, Ra. Aku enggak mau hubungan kita berakhir sampai di sini!" Davin bergegas merengkuh tubuh wanita itu.

Kiara berusaha terlepas dari kungkungan sang kekasih, tetapi tenaga kecil yang dimiliki tak mampu untuk terbebas. Akhirnya, ia memilih pasrah. Air matanya luruh membasahi dada bidang lelaki itu.

"Aku udah enggak kuat sama kamu yang terus ngekang aku, Vin!" ucap Kiara terisak.

Davin mengeratkan pelukannya. Lelaki itu semakin menenggelamkan wajahnya ke ceruk leher Kiara. Seakan tak mau kehilangan wanita itu.

"Maafkan aku, Ra. Aku hanya nggak ingin kehilanganmu." Air mata Davin menetes saat mengatakan hal tersebut.

Kiara terdiam. Hubungan yang baru dijalin selama 3 bulan harus kandas begitu saja karena keposesifan sang kekasih yang menurutnya sudah melampaui batas.

Wajar jika Davin cemburu ketika Kiara pergi bersama lelaki lain. Akan tetapi, Kiara bahkan tak diperbolehkan untuk sekadar bertemu dengan teman wanita.

"Lepas, Vin," ulang Kiara lirih, tapi terdengar tegas.

Mendengar hal itu, Davin pun melepaskan Kiara meski berat. Kedua tangannya meraih telapak tangan Kiara.

"Maafin aku, Ra. Aku janji nggak bakal ngulang hal seperti ini lagi," pinta Davin memohon.

"Enggak, Vin." Kiara menggeleng. Melepas genggaman Davin. "Maaf, aku nggak bisa lanjutin hubungan kita."

Setelah itu Kiara pergi meninggalkan Davin yang terus memanggil namanya. Semakin keras Davin memanggil, semakin cepat Kiara berlalu.

Beruntung siang ini taman sepi. Mungkin karena para pengunjung masih melakukan kegiatan masing-masing. Jadi Kiara tak perlu merasa malu tentang hal itu.

Di simpang perjalanan, Kiara bertemu dengan Kenzi, teman kerja di supermarket yang tengah membawa sepeda motor.

Kenzi menghentikan kendaraan roda dua tepat di depan Kiara, seraya memanggil. "Kiara!"

Langkah Kiara terhenti. Kepalanya menoleh. Merasa bersyukur bertemu dengan rekan kerjanya itu.

Tanpa menunggu waktu lama, Kiara langsung bergegas naik ke jok motor belakang. Ia pun memerintahkan Kenzi untuk melajukan motor dan lelaki itu pun menurutinya.

"Lo kenapa?" tanya Kenzi sembari fokus melajukan motor maticnya.

"Gue putus sama Davin," jawab Kiara sembari mengusap air mata yang terus mengalir.

"Hah? Apa, Ra? Gue nggak denger!" teriak Kenzi sedikit menoleh ke arah samping.

Kesedihan Kiara kini berubah menjadi rasa kesal. Wanita bermata bulat itu pun memukul punggung Kenzi keras, hingga lelaki itu meringis kesakitan.

Kenzi terkekeh. Sebenarnya ia mendengar jawaban dari Kiara. Hanya saja menggoda Kiara menurutnya memang begitu mengasyikan.

"Ampun, Ra. Ampuun!" mohon Kenzi, menahan tangan Kiara.

Setelah diajak berputar-putar menggunakan sepeda motor, beban di pikiran Kiara mulai memudar. Akhirnya, Kiara dan Kenzo pun memutuskan untuk kembali ke toko.

Tiga hari kemudian. Kenzi mengajak Kiara ke taman untuk sekadar membuang penat. Ternyata bukan hanya Kiara yang merasakan patah hati. Pun dengan Kenzi.

Kenzi baru saja mendengar bahwa hubungannya dengan sang kekasih, Nina, tak direstui oleh kedua belah pihak, lantaran tembok mereka yang begitu tinggi untuk dijangkau.

"Jadi, lo juga ternyata lagi patah hati?" Kiara tertawa, seolah bahagia atas nasib yang mereka alami. "Eh, apa itu artinya lo nggak ada kesempatan buat bareng sama dia?"

Kiara memang tahu tentang hubungan Kenzi dengan Nina. Selain mereka satu rekan, pun dengan keduanya yang saling mencurahkan isi hati masing-masing.

Kenzi menghela napas. "Harus ada yang ngalah. Keluarga dia mau nerima gue kalau gue keluar dari Islam. Begitupun sebaliknya."

Kiara mengangguk-angguk. Ditatapnya beribu bintang indah menghiasi angkasa. Kiara akui, hubungan Kenzi dengan Nina lebih rumit daripada dirinya. Terlebih Kiara tahu bahwa Kenzi dan Nina sudah menjalin hubungan selama 2 tahun.

Hening. Kiara dan Kenzi sibuk dengan pikiran masing-masing. Tiba-tiba dering ponsel terdengar dari saku Kenzi. Memecah keheningan mereka.

"Aku angkat telepon dulu," ucap Kenzi setelah melihat nama kontak di layar ponsel.

Kiara mengangguk-angguk. Tak lama setelah itu, ponselnya pun turut berdering. Ditataplah layar ponsel dari nomor tak dikenal.

Penasaran, Kiara pun memencet tombol berwarna hijau. "Halo."

"Di mana keberadaan Davin, anak saya?" tanya seseorang dari balik ponsel Kiara dengan suara tinggi

Kiara mengernyit. Tak tahu maksud dari orang yang ia yakini adalah ibu Davin.

"Saya nggak tahu, Bu," sahut Kiara.

"Jangan bohong kamu! Anak saya nggak pulang dua hari setelah pamit mau bertemu kamu! Dasar wanita nggak tahu diri!" bentak wanita paruh baya dari balik ponsel Kiara.

Kiara memejamkan mata. Menarik napas panjang lalu mengembuskannya pelan. Mengumpulkan stok sabar di dalam hati. Sementara di seberang sana, wanita paruh baya itu masih mencaci dan mengumpat Kiara tanpa henti.

"Saya nggak bohong, Bu. Buat apa saya ngumpetin anak ibu?" terang Kiara sabar.

"Alah, aku nggak percaya sama kamu! Wanita jalang pembawa sial! Awas aja kamu kalau ketahuan bohong! Bakal aku laporin ke polisi!" ancam wanita paruh baya sungguh-sungguh.

"Iya, Bu. Silakan. Karena saya memang nggak bohong," balas Kiara tanpa gentar sebelum sambungan telepon terputus tiba-tiba.

Kiara kesulitan menelan saliva. Kerongkongannya terasa tercekat. Begitu sakit mendengar cacian dan hinaan dari orang lain. Terlebih saat orang itu mengatakan bahwa dirinya adalah wanita pembawa sial.

Kiara menelungkupkan wajah di telapak tangan. Tanpa sadar, air matanya luruh begitu saja. Tak kuasa menahan segala rasa di dada.

"Kiara," panggil Kenzi, tiba-tiba berdiri di depan Kiara.

Kiara menghentikan tangisan. Wanita itu paling tak suka jika ada orang lain yang melihat kelemahannya. Apalagi pada Kenzi. Sudah cukup satu kali saja kemarin ia menampakkan tangisan di hadapan lelaki itu.

"Apa?" tanya Kiara, dengan mata memerah.

Sorot mata Kiara beralih menatap penasaran tangan Kenzi yang diletakkan di belakang. "Lo nyembunyiin apa?"

Kedua sudut bibir Kenzi terangkat tipis. Saking tipisnya, Kiara pun tak melihat senyuman itu.

Perlahan, Kenzi menarik tangan. Menampilkan dua es krim di tangan kanan dan kiri dengan rasa berbeda.

Sontak, wanita yang memang sangat menyukai es krim itu tersenyum. Matanya penuh binar, meski setitik ada luka di sana.

"Jika kamu mau jadi pacarku, maka ambillah kedua es krim ini." Kenzo menunjuk kedua es krim di tangannya.

"Tapi jika kamu menolak, kamu boleh buang es krim ini ke tong sampah," sambung Kenzo, menunjuk tong sampah yang letaknya tak jauh dari Kiara.

DEAR KTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang