Terdengar suara dari dapur Sugar Gems saat Widi datang pukul tiga pagi. Untuk menjaga diri, Widi menyiapkan semprotan merica di tangannya. Dengan sangat hati-hati ia mendekati dapur dan mengintip melalui jendela kecil yang ada di pintu masuk. Ia tak melihat seorang pun di dalam sana.
Lelaki kecil itu menjauhi pintu dan bersembunyi di pojok ruangan. Ponselnya segera dibuka, ia menyambungkan CCTV yang ada di dapur ke ponselnya. Ia merasa begitu lega saat menyadari kalau seseorang di dapur itu ternyata adalah Nando yang sedang membuat baguette.
“Kenapa kau datang begitu pagi?” tanya Widi setelah membuka pintu dapur.
“Aku mau meminta maaf,” jawab Nando. “Maafkan aku, Widi. Aku tak bermaksud untuk mempertemukanmu dengan Heinrich dan Kenny.”
“Oh. Itu.” Widi sebenarnya masih kesal, tapi karena Nando sudah berinisiatif untuk meminta maaf, rasanya tak enak juga kalau tidak memaafkannya. “Ya, aku sudah memaafkanmu.”
“Kau tak merasa sakit hati?” tanya Nando sambil membagi adonan baguette untuk di panggang.
“Sakit hati sedikit, sih. Ah! Lupakan saja!” kata Widi.
“Terima kasih,” sahut Nando sambil tersenyum. Ia memberi motif pada adonan baguette yang sudah berada di atas loyang. “Di rak sudah ada baguette yang matang. Aku rasa sudah dingin. Bisa tolong ambilkan loyang yang paling atas?”
“Okay.” Widi segera menuju rak pendinginan roti. Betapa terkejutnya dia saat melihat satu loyang berisi lima baguette dengan bentuk yang tidak biasa. Ia menoleh pada Nando dan berkata, “Apa ini?!”
“Apa yang kau lihat?” Nando malah balik bertanya kepada Widi.
“Penis-shaped baguettes? Are you kidding me?” tanya Widi seolah tak percaya. “Untuk apa membuat baguette seperti ini? Kau gila, ya?”
“Tentu saja untuk dimakan,” jawab Nando setelah menutup pintu oven. Ia mengelap tangannya dengan tisu, lalu mengambil baguette unik miliknya. “Lihat ini! Apakah ini mengingatkanmu pada Jon?”
Wajah Widi langsung memerah. Lama-lama ia tersenyum melihat baguette berbentuk penis itu. “Ya.”
“Satu untukmu. Sisanya untuk aku dan Ronan. Aku sudah buat glaze dari gula dan vanila sebagai penambah rasa.”
“Aku tak tega untuk memakannya. Ini lucu.” Widi tertawa.
“Ronan juga suka. Nikmatilah.” Nando mengambil kantung kertas untuk roti dan meletakkan baguette uniknya di dalam sana. Ia juga membuka kulkas dan ada dua kemasan glaze di wadah kecil. Satu wadah ia masukkan ke dalam kantung kertas, satu wadah diberikan pada Widi. “Aku pulang dulu, ya. Sampai jumpa.”
“Ya. Sampai jumpa.”
Nando keluar dari dapur meninggalkan Widi sendirian di sana. Lelaki kecil itu masih terpesona dengan baguette di tangannya.
“Apa mereka benar-benar memakan ini?” tanya Widi sambil berpikir bagaimana caranya menyantap roti itu. “Atau aku sedang dipermainkan?”
*
Waktu berlalu begitu cepat. Tahun berikutnya, setelah semua perjuangan, Widuri berhasil lolos untuk belajar di universitas pilihannya, yang ternyata adalah Universitas Stanford. Ezra begitu bangga dengan pencapaian putrinya dan saat video chat dengan Widi, ia menjelaskan berbagai hal tentang kepindahan ia dan putrinya ke California. Di sinilah Widi merasa kalau hubungannya dengan Ezra akan semakin rumit.
Saat sedang asyik memijat kepalanya setelah video chat dengan Ezra, pintu kamar Widi diketuk dari luar.
“Masuk.”
Sarah muncul saat pintu terbuka. Dengan wajah sangat bahagia, ia duduk di kasur Widi.
“Ada apa?” tanya Widi sambil tersenyum.
“Jika aku lulus SMA. Aku berencana untuk berkuliah di Universitas Stanford,” kata Sarah.
Widuri kuliah di Universitas Stanford. Sarah juga berencana untuk kuliah di sana. Sempurna! Widi langsung pucat setelah mendengarkan rencana Sarah.
“Kenapa di sana? Aku pikir kau akan kuliah di UCLA, Yale, Harvard, MIT, atau apa pun selain di Stanford.”
“Salah satu rencana masa depanku adalah lolos untuk kuliah di salah satu sepuluh besar universitas terbaik di Amerika Serikat. Kebetulan Stanford adalah salah satunya dan lokasinya masih di California. Aku pikir itu bagus. Untuk biayanya, kalau Ayah tidak sanggup, aku akan ambil pinjaman pelajar,” jelas Sarah panjang lebar.
“Jon telah menyiapkan dana pendidikan untukmu dan William. Semua sudah dipersiapkan dengan baik. Aku hanya perlu menambah kekurangannya. Aku rasa aku sanggup,” ujar Widi dengan mantap. “Ada hal lain yang membuatmu ingin ke sana?”
“Ada, sih. Kolya akan kuliah di sana juga. Aku dengar dia sudah lolos sampai tahap akhir.”
“Anaknya Vladimir?”
“Ya.”
“Bukannya dia seharusnya lulus tahun depan?” Dahi Widi berkerut.
“Dia sempat masuk kelas akselerasi.”
“Oh.” Widi mengangguk mengerti.
“Jadi, bolehkah aku pergi ke Stanford?” tanya Sarah sekali lagi.
“Tentu saja boleh,” jawab Widi.
“Terima kasih, Ayah.” Sarah memeluk Widi. “Aku akan berusaha sebaik-baiknya.”
Terdengar suara pintu ditutup begitu keras. Widi dan Sarah sampai melepaskan pelukannya. Terlihat William lewat di depan kamar Widi dengan wajah kesal.
“Will!” panggil Widi.
William masuk ke kamar ayahnya. Wajahnya terlihat merah dan mengerikan. Bukan merah seperti habis dihajar orang, tapi merah menahan malu. William duduk di tepi ranjang Widi sambil melipat kedua tangannya di dada.
“Kau kenapa?” tanya Widi.
“My friend kissed me without my permission!” geram William.
“Aku rasa itu bagus. Akhirnya ada yang suka sama kamu,” kata Sarah dengan bangga.
“A boy kissed me without my consent!” jelas William lagi dengan amarah yang masih sama.
Sarah dan Widi saling berpandangan tak percaya. Melihat reaksi ayah dan kakaknya, William merasa kalau itu bukan masalah besar bagi mereka.
“Okay. Forget it! It’s not a big problem, isn’t it?” William keluar dari kamar Widi begitu cepat. Ia merasa kecewa dengan reaksi ayah dan kakaknya.
Buntut dari kejadian itu membuat William menghindari keluarganya. Sampai waktu makan malam, William lebih memilih makan di dalam kamar dari pada di ruang makan. Widi dan Sarah tak berani menegur pemuda itu. Ketika Louisa bertanya apa yang terjadi, jawaban yang ia terima membuatnya kesal.
“Seharusnya kau tak boleh bilang seperti itu, Sarah. Apa yang menurutmu cute, belum tentu cute untuk orang lain. Apalagi di sini kau dan Widi tahu kalau William marah,” kata Louisa pada Sarah. Kini ia menatap Widi dengan sangat serius. Ia melanjutkan, “Kau juga seharusnya bisa menenangkan putramu. Bukannya malah diam. Dia masih di bawah umur. Bagus sekali dia mengerti apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan orang lain terhadap tubuh, pikiran, dan perasaannya. Kau harus belajar lebih baik lagi menjadi orang tua.”
Ketika Widi hanya bisa diam mendengar nasihat Louisa, Sarah malah tidak terima. Gadis itu berkata, “Dia hanya bersikap berlebihan. Apa yang terjadi padanya tidak akan berdampak besar.”
“Apa kau mau jika seseorang menciummu secara tiba-tiba padahal kau dan dia tidak memiliki perasaan yang sama? Kira-kira bagaimana perasaanmu?” tanya Louisa pada Sarah. Gadis itu akhirnya tertunduk malu. “Apa yang William alami bisa berdampak pada hidupnya. Dia bisa merasa terluka dan menutup diri, atau dia bisa melakukan hal yang sama pada orang lain karena kita menganggap hal itu normal. Apa yang aku ajarkan padamu, Sarah?”
“Jangan biarkan seseorang menyentuhmu tanpa persetujuan, terutama di bagian yang privat,” jawab Sarah yang masih tertunduk.
“Kau benar. Semua orang bisa mengalami pelecehan tanpa terkecuali. Mengerti?” Louisa melihat Sarah mengangguk pelan. “Kalian harus meminta maaf pada William. Besok. Karena malam ini aku yakin William masih marah.”
Perempuan itu menuju kulkas dan mengambil sebuah puding stroberi untuk William. “Aku akan mencoba bicara padanya.”
Louisa keluar dari dapur. Widi dan Sarah terlihat lemas di kursi mereka. Tiba-tiba Widi teringat kejadian yang menimpa Kenny. Semua yang terjadi sekarang adalah perwujudan dari segala emosi negatif yang ada pada dirinya setelah kejadian buruk itu. Kemudian ia membayangkan jika hal itu terjadi pada William. Apakah dia sanggup untuk mendampingi putranya dalam kondisi sesulit itu?
*
Terdengar suara ketukan pintu dari luar kamar William. Remaja itu membukanya sedikit dan melihat sang nenek berada di luar sambil membawa piring berisi puding. Louisa tersenyum melihat William. Anak itu belum mengizinkannya untuk masuk.
“Apa aku boleh bicara denganmu?” tanya Louisa.
“Boleh.” William membuka pintu dan berjalan duluan menuju kursinya. Louisa meletakkan piring berisi puding ke atas meja belajar.
“Aku dengar seorang teman lelaki menciummu.” Louisa perlahan duduk di tepi ranjang cucunya.
“Ya. Bukan masalah, kan?” William menyantap puding stroberi.
“Aku dengar dia melakukannya tanpa persetujuanmu dan kau tidak menyukainya. Secara teknis, itu adalah masalah.”
William menatap Louisa. Ia tak menyangka sang nenek berpikiran sama dengannya. “Andai saja banyak yang berpikiran sama denganmu.”
“Apa ada sesuatu yang ingin kau ceritakan?”
“Ada, sih. Tapi aku takut kau merasa tersinggung.”
“Aku di sini dalam posisi netral. Aku akan dengarkan segala ceritamu.”
William menatap Louisa dengan saksama seolah sedang menilai apakah ia mampu percaya pada perempuan tua itu.
“Namanya Sam. Kami berada di kelas yang sama. Sam pernah bilang kalau dia menyukai laki-laki. Aku tidak mempermasalahkan hal itu. Aku masih berteman dengannya. Suatu hari dia pernah melihat Ayah dan Ezra jalan berdua, mereka saling merangkul. Karena kejadian itu, dia pikir aku gay juga. Hari ini, di dalam bus saat pulang sekolah, dia menciumku.”
“Setelah itu apa yang terjadi?”
“Aku marah padanya. Aku minta dia menjauh dariku. Kemudian di menangis. Seisi bus memperhatikan kami, lalu mengolok-olok perbuatannya. Am i the A-hole?”
“Tidak. Wajar jika kau marah. Kau hanya membela diri. Tak apa-apa. Jika kejadian ini berbuntut panjang, jangan sungkan untuk bilang padaku. Aku akan berusaha membelamu.”
“Terima kasih, Nek.” William tersenyum. “Boleh aku bertanya padamu?”
“Boleh. Apa itu?”
“Aku dengar dulu Ayah dan Papa berpacaran saat usia Ayah lima belas tahun dan usia Papa dua puluh tiga tahun. Apakah benar?”
“Ya.” Louisa sepertinya tahu akan mengarah ke mana pembicaraan ini.
“Berarti Ayah masih di bawah umur, ya? Apakah Papa melakukan sesuatu yang jahat pada Ayah di usia Ayah yang masih sangat muda?”
Ternyata benar. Ke sana arahnya. – Louisa
“Jujur saja aku tak tahu tentang hal itu. Tapi aku yakin, Papa tidak melakukan hal jahat pada Ayah. Aku selalu mengingatkan pada mereka untuk tidak melakukan hal yang tidak baik di usia yang sangat muda. Karena aku tahu hubungan mereka sangat tidak lazim untuk kebanyakan orang. Mereka gay, usia mereka terpaut jauh, dan salah satunya masih di bawah umur.” Louisa berusaha menjelaskan dengan baik pada William. “Ada banyak hal yang terjadi saat itu. Sebagai orang tua, kami hanya berusaha untuk mencari jalan tengah untuk kemauan kami dan anak-anak.”
“Apakah kau berpikir hubungan Ayah dengan Ezra akan berjalan baik?”
“Entahlah, Will. Mereka terlihat jatuh cinta. Itu sudah cukup bagus.”
“Aku tahu Ezra baik. Tapi aku merasa kalau Ezra tak sebaik Papa.”
“Tidak perlu membandingkan siapa pun, Will. Mungkin saja Ezra menghormati privasi ayahmu. Jadi sedikit terlihat ada sekat dalam hubungan mereka.”
“Mungkin.” William menyantap kembali pudingnya. Louisa mengelus rambut remaja itu.
“Semua akan baik-baik saja, William.”
*
Esoknya saat William sedang memakai sepatu di teras rumah Sarah mengulurkan sebuah kotak makan padanya. William menatap Sarah lekat-lekat. Karena kotak makan itu tak kunjung diambil oleh William, Sarah pun duduk di samping remaja itu.
“Aku minta maaf, aku tahu aku salah karena telah menyepelekan apa yang terjadi padamu,” ucap Sarah.
“Aku sudah memaafkanmu,” balas William.
“Ambil ini. Ayah sengaja membuatkannya untukmu.”
Sarah kembali mengulurkan kotak makan kepada William. Kali ini William mau menerimanya. Sebuah bus sekolah berhenti di seberang jalan rumah mereka. Itu bus yang jurusannya menuju ke sekolah William. Tanpa berpamitan pada Sarah, William keluar dari rumah dan masuk ke dalam bus. Tak lama bus itu kembali melaju.
Mendapatkan perlakuan seperti itu membuat Sarah merasa sedih. Tapi ia mengerti, mungkin William masih kesal padanya.
Sejak mendapatkan ciuman yang tak diinginkan dari Sam, William benar-benar menjaga jarak darinya. Sikap William yang mendadak dingin sangat terlihat oleh teman-teman dan gurunya. Mereka berusaha mendamaikan Sam dan William di lima belas menit terakhir sebelum jam pelajaran berakhir.
“Aku ingin menjaga jarak sejenak dari Sam,” tegas William pada gurunya Nyonya Cabott dan teman-teman di kelasnya. “Aku harap kalian mengerti.”
“Kami mengerti, William. Gunakan waktumu,” ujar Nyonya Cabott.
“Maafkan aku, William,” ujar Sam yang mejanya di sebelah kanan William.
Remaja lelaki itu hanya mengangguk. Kurang dari satu menit lagi sekolah berakhir. William terus menatap jam dinding dan berharap semuanya segera berakhir.
*
Pelajaran hari ini sudah berakhir. William berjalan sendirian keluar dari sekolah menuju bus yang akan mengantarkannya pulang. Tapi saat melihat Sam sudah duluan di dalam bus, William jadi enggan masuk ke sana. Ia memutuskan untuk naik kendaraan umum saja.
Sebuah mobil sedan Chevrolet hitam berhenti di salah satu bahu jalan yang digunakan untuk parkir. Seorang pria berkacamata hitam keluar dari dalam sana. Saat melihat sosok William yang hendak pergi, ia langsung mengejar anak itu.
“Will!” panggil pria itu sambil berlari. “William Yudhistira!”
Terlihat William berhenti. Remaja itu membalikkan tubuhnya dan pria itu datang padanya.
“Hai, William.”
“Kau siapa?” tanya William dengan tatapan curiga.
“Namaku Kenny,” jawab pria itu sambil membuka kacamatanya. “Aku ingin bicara denganmu sebentar saja. Tapi tidak di sini. Terserah di mana saja. Restoran atau kafe, terserah kamu.”
“Aku tidak mau. Ayah bilang aku tidak boleh ikut dengan orang asing.”
“Oh.” Entah kenapa Kenny langsung merasa tolol mendengar ucapan William. Saat William hendak membalikkan tubuhnya, Kenny langsung berkata, “Nando, Ronan, Heinrich, Ayahmu, bahkan Ezra kenal denganku.”
Dan ia berhasil membuat William diam di tempat. Remaja itu meneliti Kenny dari atas ke bawah.
“Apakah kau teman mereka?”
“Nando dan Ronan adalah bos suamiku. Widi dan Ezra, aku kenal mereka sejak di Indonesia.”
“Aku bertanya, apakah kau teman mereka?” Kali ini William meninggikan nada bicaranya.
“Aku, aku bukan teman mereka. Aku—“
“Lalu untuk apa kau datang ke sini? Pergilah. Jika kau berani mendekat, aku akan teriak supaya orang-orang menangkapmu,” ancam William.
“Aku jelaskan dulu.” Kenny berusaha sabar agar mendapatkan hati William. “Nando dan Ronan adalah bos suamiku. Widi dan Ezra, hm, kau tahu istilah frenemy, kan? Seperti itu hubungan kami.”
Dahi William berkerut, dalam pikirannya, jika Kenny menyatakan hubungannya dengan Widi dan Ezra adalah frenemy, bisa saja Kenny akan berbuat jahat padanya. Tiba-tiba Kenny menunjukkan sebuah foto di ponselnya yang membuat William terkejut.
“Coba tebak. Mereka ini siapa?” tanya Kenny sambil tersenyum.
William menangkap kalau salah satu dari dua orang lelaki di dalam foto adalah Ezra. Sementara wajah lelaki yang lain membuatnya sedikit bingung. Remaja itu melirik Kenny.
“Itu fotomu dan Ezra, kan?” tanya William, saat Kenny mengangguk, ia menambahkan, “Apa yang kau inginkan?”
“Waktumu. Kita bicara sebentar saja. Kau mau kan ikut denganku?” Kenny mengulurkan tangannya. Telapak tangannya yang putih menghadap ke atas, berharap William akan meraihnya.
Jantung William berdetak cepat. Ia penasaran dengan apa yang ingin Kenny sampaikan padanya, tapi ia juga takut diculik.
Sekarang aku harus bagaimana? – William
*
26 Oktober 2022Halo, apa kabar?
Suka enggak sama bab ini?
Agak lama memang untuk dipublikasikan, tapi semoga ini menyenangkan untuk dibaca, ya.
Terima kasih sudah membaca cerita ini. Vote dan komentarnya ditunggu, lho.
😘
KAMU SEDANG MEMBACA
His Love 3 🌈
RomanceApakah kau akan terus mencintai seseorang yang punya masa lalu sangat buruk?