Kenangkali, Ratriastiti, dan Gentala masih mengatur strategi. Mereka bersekongkol dengan kusir dan pengawal yang akan mengantar Prabaswara dan Wulandari ke pengasingan. Rencananya, mereka diam-diam menyusul dari belakang. Kemudian meminta kusir beralih ke Kembang Arum.
"Kudengar mereka akan berangkat lepas tengah hari. Jadi, kita harus bersiap."
"Baik. Aku akan mengecek pedatinya, Kangmas." Gentala beranjak duluan. Rencana persekongkolannya ini tidak diketahui keluarganya, apalagi Larasati.
Cara mereka memang berbahaya. Jika ketahuan, mereka bisa diusir dari istana, tapi Kenangkali tidak peduli selagi bisa menyelamatkan adiknya.
"Aku ingin menanyakan satu hal padamu, Dinda."
"Tentang?"
"Aku tahu rencana kita ini sangat berbahaya. Jika pada akhirnya gelarku dicabut karena membantu Dimas Prabaswara, apakah Dinda siap menemaniku hidup di pengasingan?"
Ratriastiti berkedip sesaat. Pertanyaan Kenangkali sangat sulit. Ia sebenarnya tidak masalah, hanya saja tetap perlu menyusun kalimat terbaik untuk meyakinkan Kenangkali.
"Aku siap menemanimu, Kanda. Jikapun kita berakhir diasingkan, aku tetap bangga dengan usahamu yang mengupayakan keadilan untuk adik kita."
"Terima kasih telah memahamiku. Semoga rencana kita lancar."
Ratriastiti mengharapkan yang sama. Semoga tidak ada yang menghalangi rencana mereka.
***
Prabaswara dan Wulandari sudah siap berangkat ke pengasingan. Pakaian mereka kini sangatlah sederhana. Tidak ada perhiasan mewah melekat pada tubuh Wulandari. Hanya sepasang anting kecil dan cincin pernikahannya yang kebetulan bentuknya tidak mewah.
Semenjak jatuh dari pohon, Prabaswara memang menjadi lebih pendiam, tapi belakangan ini gerak-geriknya terlihat aneh. Apalagi setelah Wulandari kembali dari menunaikan tugasnya. Sering Wulandari dapati Prabaswara meringis, dan berusaha menyembunyikan tangan kanannya di balik punggung.
"Tanganmu sakit? Boleh kulihat?" tanya Wulandari lembut.
"Ah, tidak apa-apa. Hanya sedikit nyeri."
Baiklah, ia tidak akan memaksa Prabaswara bercerita sekarang, daripada timbul perang dingin lagi. Jika sudah tepat waktunya, Prabaswara pasti akan menceritakannya.
Sepanjang perjalanan dari penjara menuju gerbang belakang istana, banyak sekali orang menatap mereka hina. Tak jarang ada yang melontarkan cacian. Prabaswara memang terlihat tersenyum, tapi jauh di dalam sana tentu hancur. Ia tidak mengerti apa yang telah ia lakukan hingga mendapat semua kebencian ini.
***
Tak biasanya gerbang belakang seramai ini. Selusin pengawal dikerahkan menjaga gerbang belakang. Para dayang juga berbaris rapi seakan ikut melepas kepergian Prabaswara.
"Putraku." Durmagati sengaja ikut menunggu di gerbang belakang. Walaupun dilarang oleh mertuanya, ia bersikukuh ingin melihat Prabaswara.
"Hormat saya untuk Kanjeng Putri."
"Tidak perlu begitu pada ibumu sendiri, Nak."
"Maaf, sepertinya Kanjeng Putri salah. Saya tidak mungkin menjadi putra Kanjeng."
Bagai ada petir yang menyambar, Durmagati sangat terkejut. Pun dengan Wulandari.
"Kau tidak mengenaliku, Nak? Aku ibumu!"
"Sa... saya tidak mengingat ibu saya."
Durmagati tidak menyerah meskipun kecewa. Ditariknya Wulandari ke sampingnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Prabaswara [Complete√] ~ TERBIT
RomantizmPrabaswara adalah pangeran Kadhaton Tirta Wungu yang kehadirannya antara ada dan tiada. Prabaswara kerap mendapat perlakuan buruk dari keluarganya. Ia sangat takut tak ada putri yang mencintainya karena status dan kondisinya. Wulandari adalah putri...