- 04 -

123 36 0
                                    

"Ka-kau mengulang waktu? Hik!"

Sera cegukan saking terkejutnya. Gadis itu menyumpal mulutnya dengan sedotan, mengisap air putih dalam botol dengan kecepatan super sembari menahan napasnya.

Kurona tertawa, melambaikan tangannya sebelum bersedekap dan menggelengkan kepala di akhir ucapannya. "Tidak hanya itu, aku juga menghentikan waktu. Oleh karena itulah aku bisa bersikap sesantai ini sampai-sampai lupa kalau tidak semua orang sespesial diriku. Ck, ck."

"H-huh?" Sera kelabakan, menoleh dengan murka. "Ka-kau sombong, ya!"

"Heh, heh. Tentu saja." Kurona menyeringai, menunjuk dirinya sendiri menggunakan jempol kanan. "Panggil aku 'Dewa'!"

Sera melongok, lantas menunduk. "Pantas saja kau sepercaya diri itu dengan rencanamu ...," bisiknya.

"Habisnya aku sudah tahu ke depannya bakal bagaimana, oleh karena itulah aku berusaha mencegahnya. Memang bisa dikatakan culas, tapi demi kebaikan, aku pikir kecurangan ini diperlukan."

Selanjutnya mereka terdiam. Keduanya duduk di pot tanaman yang terbuat dari semen. Lokasinya di lantai pertama, berada di pinggiran pusat manusia.

"Omong-omong, kerabatku seorang pemilik kuil. Tapi kuil itu selalu sepi sejak pahlawan ngehits abis. Padahal kuil mereka dulu terkenal dan banyak dikunjungi. Sayangnya orang-orang mulai melupakan keberadaan Dewa, sungguh tanda akhir zaman."

Sera tersentak, menoleh ke kiri. "Je-jadi kau serius?—menjadikanku Dewa?"

"Tentu saja." Kurona mengangguk. "Tapi pertama-tama, aku ingin orang tuamu berhenti berdonasi pada pahlawan dan memfokuskan diri pada orang-orang pinggiran."

"Maksudmu?"

"Kau tahu tidak, bibit penjahat paling banyak berasal dari mana? Dari kemiskinan. Namun kembali pada masalah utama yang menjerat kita, semuanya dikarenakan quirk. Para pahlawan itu enak, bisa bekerja dan mendapatkan uang karena quirk yang cocok dimiliki mereka. Tapi bagaimana dengan mereka yang memiliki quirk tidak berguna? Mendongakkan kepala saja dipandang beda, apalagi mendapat kerja. Belum lagi terdapat quirk yang memberikan kutukan bagi mereka, cuma bikin susah. Dan cuma orang-orang beruntung yang memiliki pola pikir tidak ingin menyerah. Sisanya mencari jalan pintas, yaitu melakukan pencurian. Bibit yang seperti ini harus diberantas terlebih dahulu sebelum membasmi penjahat dengan pola pikir terganggu." Kurona diam, menusuk punggung tangan Sera yang dilapisi sarung tangan. "Bagaimana? Kalau kau menjawab tidak mengerti, bakal aku pukul, lho?"

Sera bergidik, lalu mengangguk.

"Memang terdengar naif dan konyol, tapi kau bisa menyerahkan semuanya padaku. Waktunya masih lama hingga kebangkitan AFO, tapi sebelum itu akan kubocorkan masa lalu pada orang-orang tertentu."

Sera mengangguk lagi, membuat Kurona menaikkan sebelah alis. "Apa kau pernah memikirkan nama pahlawanmu jika bisa menjadi seperti mereka?"

"Apa?" Sera menganga, melindungi senyuman yang tiba-tiba hadir di wajahnya. "Ma-mana mungkin aku punya! A-aku—"

"Siapa?"

"Semight!"

Keduanya bertatapan. Yang satu tanpa ekspresi, lainnya berseri-seri.

"Sera Might, maksudnya?" Kurona mendesah, membuang muka. "Payah," ejeknya.

Tubuh Sera seolah disambar petir kala mendengar ejekan tersebut. Ia lalu memegang bahu Kurona, menggoyangkannya. "Mau bagaimana lagi?! Aku suka All Might!"

"Oleh karena itulah kusebut payah, kau tidak kreatif." Kurona memutar bola matanya, kemudian mendekatkan duduk mereka sembari membuka ponselnya. "Aku punya saran untukmu. Bagaimana kalau menggunakan nama keluargamu? Jujur saja, saat aku mendengar namamu, yang terpikirkan olehku ialah kedamaian manusia. Bukankah itu sempurna?"

"Horor ...," balas Sera. "Nama keluargaku dikorbankan ... kira-kira kematian seperti apa yang bakal aku dapatkan ...?"

Sera mendongakkan kepala, nyawanya hampir keluar dari mulut yang terbuka kalau saja Kurona tak menangkapnya.

"Gawat! Jangan mati dulu, Sera-san! Aku masih butuh uangmu!"

"Ja-jangan bercanda!" pekik Sera usai kembali pada kesadaran. "Meskipun aku anak kesayangan, bukan berarti aku bisa menggunakan nama itu sembarangan!"

"Yah, aku mengerti maksudmu." Kurona mengangguk-angguk, lalu matanya memicing. "Tapi apa kau punya saran yang lebih baik? Padahal nama keluargamu bisa melambung semakin tinggi kalau kita berhasil."

"Bagaimana jika gagal?"

"Yah, akan kuulang waktu kembali demi keselamatan Sera-san."

Sera terdiam, meneguk ludahnya dengan gugup. Ucapan Kurona terdengar menjanjikan. "Kau serius-akan melakukannya untukku?"

Kurona menyeringai, mengulurkan jari kelingkingnya. "Tentu saja! Aku ini profesional!"

Pada akhirnya Sera mempercayakan semuanya pada Kurona dengan mengaitkan kelingking mereka.

"Pertama, aku ingin kau mengambil alih kuil kerabatku atas nama Kazuhito. Selanjutnya aku butuh beberapa agen rahasia—entah mengapa, aku merasa keren saat mengatakannya—lalu orang-orang ini akan kuberi perintah. Kau bisa memberikan mereka untukku? Jawab, iya atau iya."

"I-iya ..."

"Untuk sekarang itu saja. Sisanya kau serahkan padaku."

Sera melirik Kurona mengetikkan sesuatu di layar ponselnya. Entah mengapa, hati dan otaknya selalu bertanya-tanya, selalu penasaran akan sosok gadis berambut hitam tersebut.

"Boleh aku bertanya?"

"Sebentar," balas Kurona cepat sebelum menyimpan kembali telepon genggamnya dalam kantong celana. Seolah sudah menungu-nunggu bahwa Sera bakal menanyakan sesuatu padanya. "Silakan."

"Kurona-san, apa yang sebenarnya kau lihat di masa depan?"

Tidak ada perubahan signifikan dalam wajah Kurona. Ekspresinya masih sama datarnya saat memberikan penjelasan untuk Sera. Ia bahkan sempat mengembuskan napas sebelum iris mata hitam itu membesar tatkala menatap sesuatu di seberang mereka.

"Kau lihat—lelaki yang mengenakan hoodie hitam itu?" tunjuk Kurona pada sesosok manusia mengenakan jaket bertudung hitam.

"Memangnya dia laki-laki?" tanya Sera. "Mukanya tidak kelihatan."

"Dia seorang penjahat."

"Apa?" Napas Sera tertahan, cepat-cepat menurunkan tangan Kurona yang masih menunjuk ke depan. "Ka-kau tidak boleh menuduh orang sembarangan begitu! Bagaimana jika dia tahu dan marah pada kita?! La-lagi pula kalau dia penjahat—kenapa kau tidak melaporkannya dan malah memberitahuku?!"

"Bukan 'kah sudah kubilang tidak semua hal bisa diselesaikan dengan senyuman atau kekerasan? Dia cuma butuh orang yang sepaham dengannya."

Kali ini Sera membisu, tidak tahu harus berkata apa selain menanyakan hubungan Kurona dengan lelaki yang sedang duduk di bangku seberang mereka itu. "Kurona-san mengenalnya?"

"Kau boleh memanggilku Aime." Kurona menepuk lengan Sera yang sedang memeluk tangannya, kemudian tersenyum. "Dan ya, aku mengenalnya."

Sera termangu kala mendapati senyuman tersebut. Senyuman Kurona paling tulus yang baru pertama kali dilihatnya selama beberapa hari ini.

"Pacarmu, ya?"

Sontak Kurona tersedak, tertawa, lalu menggelengkan kepalanya.

"Bagaimana mengatakannya, ya? Perlakuannya terhadapku itu seperti seorang kakak pada adiknya. Tapi aku menganggapnya seorang atasan, sih. Soalnya dia menerima keberadaanku dengan tangan terbuka, meskipun dia selalu curiga ...," Kurona mengecilkan suara di akhir kalimatnya, melirik jengkel ke sepatu ketsnya. "Tapi kali ini aku akan menyelamatkannya. Kau mau membantuku, bukan?—Pahlawan Kazuhito."

Sera termangu, merasakan hatinya bermekaran. "Tentu saja!"

Setelah mendengar jawaban percaya diri itu, tiba-tiba Kurona memasang ekspresi pucat. "Ah, tapi untuk menghadapi orang itu bukan giliranmu."

"Eh?" Sera membatu.

"Yah, temperamennya buruk." Kurona bangkit, mengusap bulu di belakang lehernya yang berdiri. "Ingat nostalgia yang kubicarakan tadi? Saking kekanak-kanakannya Shigaraki, pertemuan pertama kami membuatku hampir mati." []

27 Oktober 2022.

TiME COLLAPSE [√]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang