Bab 9

31 7 0
                                    

Cerita ini bisa kalian temukan di Karyakarsa link ada di bio.

Selamat Membaca

Bima sadar masa lalu Sinta lah yang membuat perempuan itu rapuh dan beranggapan untuk tidak memiliki anak. Bima tidak menyalahkan, karena bagaimanapun pernikahannya dengan Sinta juga bukan perkara mudah. Semua serba mendadak.

"Kamu mau?" Ucap seorang perempuan remaja yang masih mengenakan seragam putih biru dengan menyodorkan satu kue yang ia dapatkan dari sekolah. Lelaki yang diajak bicara itu menoleh dan menatap tepat di wajah perempuan itu.

"Buat kamu? Kamu lapar, kan?" Ujar Sinta kembali seolah meyakinkan bahwa lelaki di depannya itu tengah kelaparan. Lelaki yang sejak ia keluar dari sekolah tengah duduk di emperan toko dengan tubuh yang kecil.

"Mau." Dengan tangan yang kotor Bima menerima pemberian makanan itu dengan senang hati, ia sudah tidak makan sejak tadi malam akibat uang yang ia kumpulkan kurang.

Sinta melihat wajah Bima dengan seksama, kesedihan hari ini nampaknya membuatnya jauh lebih terbuka dengan lingkungan sekitar.

"Memang enak hidup di jalanan?"

Bima berhenti mengunyah dan menoleh ke arah Sinta.

"Memang enak menangis setelah sekolah?" Ujar Bima dengan pertanyaan kembali. Bima sudah mengamati Sinta sejak beberapa minggu belakangan, namun ia tidak berani menyapa. Tubuh yang kumal dengan pembawaannya yang menakutkan pasti membuat Sinta menjauh.

"Karena aku merasakan sedih, jadi wajar menangis."

"Begitu juga hidup aku." Jawab Bima sekenanya, Sinta memilih mengangguk.

"Baiklah aku pulang dulu. Besok kita ketemu lagi." Sinta bangun dan berjalan menuju rumahnya, ia sudah terbiasa berjalan setelah sekolah. Bukan karena ia tidak memiliki uang, tetapi uangnya itu sering ia gunakan untuk berkunjung ke rumah sakit jiwa.

Sinta remaja tinggal dengan Bibinya, adik dari sang Ayah. Ia terpaksa tinggal disana karena keluarganya tidak ada yang mau menampung Sinta. Meskipun ia tinggal dengan Bibi tetapi Sinta sering diperlakukan layaknya pembantu, Sinta remaja mencoba kuat karena bagaimanapun hanya Bibinya yang mau menerima dirinya.

Mengingat momen bertemunya dirinya dengan Sinta membuat Bima yakin bahwa ini jalan hidupnya untuk melindungi perempuan rapuh ini. Ditambah perempuan inilah yang menyadarkannya bahwa sesulit apapun kehidupan pasti akan ada jalannya.

Dan sekarang setelah mendengar pengakuan Sinta membuat hati kecil Bima teriris akibat tingkah laku Narendra. Bahkan membayangkan jika dirinyalah yang ada di posisi Sinta, pasti itu berat. Tapi Bima sadar mungkin itu sudah menjadi jalan hidup Sinta.

"Kamu kuat." Bisiknya setelah Sinta merasa tenang.

Mereka kembali ke hotel setelah pesanan datang, baik Sinta memilih diam sepanjang perjalanan.

Sedangkan Bima memilih untuk menyusun rencana menghancurkan Narendra.

"Mandilah. Aku mau ke lobby hotel buat beli kopi." Ucap Bima setelah mengantarkan Sinta ke dalam kamar hotel, Sinta menurut saja.

Setelah itu tubuh Bima berbalik dan melangkah menuju lobby, ada orang yang harus ia temui.

"Maaf Pak Bima saya terlambat." Sapa seorang pria separuh baya yang merupakan asistennya lebih tepatnya asisten Yudi. "Tidak masalah, sudah semua kamu urus Pak?"

"Sudah, semua berkas pengalihan saham yang tadi Bapak beli sudah saya bawa. Tinggal Bapak berkunjung ke perusahaan."

Jari Bima menggaruk pelipisnya seolah ia berpikir sejenak. "Tapi itu tidak sekarang Pak, saya inginnya pertemuan itu masih lama. Karena saya ingin mengakuisisi perusahaan itu."

"Tapi Pak... "

Bima tersenyum, "Bapak saya panggil karena saya ingin Bapak lah yang datang kesana. Dan lihat keadaan, bukannya semuanya akan sangat mencurigakan jika saya yang datang?" Menjadi anak pengusaha sukses membuat nama Bima sering dicari orang, tetapi Bima yang tidak mau terlihat sering menyuruh orang kepercayaan untuk datang.

"Yang saya inginkan Bapak besok datang, lihat situasi disana. Dan tolong cari tahu kinerja Narendra. Saya tahu ini pasti berat apalagi harus berjalan besok. Tapi saya butuh info cepat."

"Baik Pak."

"Oh mengenai istri Narendra Bapak sudah tahu?" Pak Joko mengangguk, asisten Ayahnya ini memang kompeten.

"Namanya Suci Widyaningrat. Anak dari istri kedua seorang Bupati. Kinerjanya sebagai kepala sekolah juga tidak bisa diragukan." Pak Joko menyerahkan sebuah foto yang berisikan Narendra, Suci, dan seorang anak pria yang tengah menghadiri wisuda sekolah. Nampak dari foto semua orang yang ada disana nampak tersenyum bahagia.

Apakah tidak ada rasa bersalah di hati kedua orang itu? Entahlah, Bima sendiri merasa dua orang itu tidak layak merasakan kebahagiaan setelah menghancurkan hati seorang istri dan anak.

"Di keluarga Suci memang sangat menganggap wajar istri kedua atau selir."

Bima hanya bisa menatap dingin bingkai foto itu. "Ya, mereka mungkin menganggap wajar tapi mereka sudah membunuh hati seorang perempuan."

"Ya saya paham Pak."

"Rumor jika Suci merebut suami orang itu sudah banyak orang yang membicarakan tetapi keluarga besar Suci yang kaya selalu bisa menutup mulut orang yang menyuarakan."

"Bapaknya melindungi?" Gelengan Pak Joko layangkan, "Bukan Bapaknya tapi Ibunya. Bahkan Ibunya itu yang berhasil memisahkan istri pertama Bapaknya. Jadi kekayaan yang selama ini Suci rasakan itu dari mendiang Bapaknya."

"Serakah." Ya, jika ada perempuan yang mau dijadikan istri kedua pasti ada imbalan yang harus dibayar, dan itu pasti harta.

Tidak ada hal yang cuma-cuma di dunia ini. Jika lelaki membutuhkan perempuan maka perempuan membutuhkan harta sebagai imbalannya.

"Ada lagi Pak?" Pembicaraan mereka ternyata sudah lama, dan Bima pikir ia tidak boleh lama-lama meninggalkan Sinta.

"Untuk hari ini itu saja Pak." Bima mengangguk, ia memohon izin untuk masuk kembali. "Besok jangan lupa Pak, ah ya saya harus kembali ke kamar takut istri saya curiga."

"Iya Pak. Selamat Malam."

Bima kembali ke kamar dengan secangkir kopi seperti yang ia katakan tadi, saat sampai di kamarnya Sinta tengah menonton tayangan televisi.

"Tidak kamu makan?" Karena makanannya masih utuh di atas meja.

"Nungguin kamu." Hati Bima mengembang bahagia karena kehadirannya nyatanya dihargai. "Baiklah ayo kita makan." Bima meletakkan cangkir kopi dan berjalan menuju wastafel mencuci tangannya.

Mereka makan bersama dengan keheningan. "Ada apa?" Karena Bima melihat Sinta yang termenung di kursi balkon.

"Bintangnya banyak." Bima mendudukan tubuhnya di samping sofa yang ditempati Sinta. Mereka menatap langit yang malam ini nampak ramai oleh cahaya bintang.

"Iya, langitnya juga cerah."

Sinta mengangguk, "Aku ingin menjadi bintang yang ada di setiap malam. Meskipun harus menghilang saat pagi menjelang."

Tangan Bima mengusap puncak kepala Sinta, "Kenapa?"

"Karena kecantikan butuh perjuangan, seperti kita ingin melihat Bintang maka kita harus menunggu sampai malam."

Netra keduanya bertemu, "Kamu butuh diperjuangkan?"

"Kalau aku spesial pasti akan diperjuangkan. Tapi takdir menyadarkanku bahwa aku bukanlah bintang tetapi aku adalah sampah. Tempatnya untuk dibuang." Jari telunjuk Bima menyentuh bibir Sinta seolah tidak setuju dengan apa yang dikatakan istrinya itu.

"Kamu tidaklah sampah, tapi kamu adalah Bintang. Dan bintang tidak butuh pengakuan karena ia tetap akan bersinar pada waktunya. Jadi jangan anggap diri kamu rendah, hanya karena anggapan orang. Trust me ?"

Tbc

🎉 Kamu telah selesai membaca Mengutuk Waktu ✔ (Tamat Karyakarsa-KBM) 🎉
Mengutuk Waktu ✔ (Tamat Karyakarsa-KBM) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang