🍃 15 - Kwetiau Goreng

238 52 4
                                    

15 - Kwetiau Goreng
 


 
 

Jeya memeriksa kembali berkas-berkas yang akan ia bawa ke kampus. Semuanya lengkap, tinggal menyuruh Haekal memanaskan mobil.

Ngomong-ngomong ia belum bertegur sapa lagi dengan Haekal setelah kemarin bertemu di depan kamarnya. Semalam ia terlalu lelah dan memilih segera beristirahat. Dan sekarang waktunya menghubungi Haekal.

Alih-alih menelponnya seperti biasa, Jeya memilih keluar kamar lalu mengetuk pintu kamar pemuda itu.

Seperti biasa, pergi atau tidak, Haekal selalu siap dengan celana jeans dan kaos polosnya, tinggal tambah hoodie atau jaket, ia sudah siap pergi.

"Gue ke kampus hari ini, daftar sidang."

"Baik, saya panaskan mobil dulu."

Maunya sih, Jeya protes dengan nada dingin yang kembali Haekal gunakan, tapi saat ingat kalau mereka masih ada di rumah jadi Jeya biarkan saja.

Ia memilih segera turun, mungkin sarapan roti atau segelas susu terlebih dahulu untuk mengganjal perutnya.

"Bi, Haekal udah sarapan belum?" tanyanya pada bi Lea yang sedang menyiapkan roti sandwich untuknya.

"Tadi cuman bikin kopi, Non."

"Sandwichnya bikin dua ya, aku laper soalnya."

Bi Lea hanya mengangguk, menuruti perintah nona muda di rumah ini. Ia memasukan dua porsi sandwich ke dalam kotak bekal lalu menyimpannya ke dalam totebag bersama satu botol minum yang tadi sudah ia siapkan.

"Ini, Non bekalnya."

"Makasih, Bi." Jeya keluar dari rumah, menghampiri Haekal di garasi.

Tanpa menunggu pemuda itu bicara, ia segera masuk ke dalam mobil, menyetel radio dan membiarkan Haekal segera mengemudikan mobilnya dengan tenang.

Saat mobil sudah melewati setengah perjalanan menuju kampus, Jeya mengambil bekalnya, melirik Haekal yang masih fokus dengan kemudi.

Tadinya Jeya ingin mengeluarkan bekalnya dan memberikan satu porsi untuk Haekal sebagai permintaan maaf. Ia tak enak karena mengingkari janjinya kemarin. Tapi sata merasa Haekal pagi ini terlihat lebih kaku dari biasanya, Jeya mengurungkan niatan itu dan kembali menutup kotak bekal di pangkuannya.

Kini perjalanan hanya diisi dengan suara dari radio. Keduanya tak bersuara dan memilih sibuk dengan pikiran masing-masing.

"Sudah sampai." Suara Haekal terdengar. Jeya yang tengah menyandar di kursi, berjengit kaget.

"Hah? Oh, oke." Ia mengambil tasnya juga totebag berisi bekal tadi lalu keluar dari mobil. Ia kembali berbalik untuk menutup pintu mobil, tapi sebelum itu totebag di tangannya lebih dulu ia simpan di kursi penumpang tepat di samping Haekal.

"Gue buru-buru, bekalnya buat lo aja. Nanti gue telpon kalau udah beres!" Tepat setelah menyelesaikan ucapannya, pintu mobil tertutup lalu Jeya berjalan cepat memasuki gedung kampusnya.

Sedangkan di mobil Haekal hanya bisa diam membaca note di atas bekal yang diberikan Jeya untuknya.

"Sorry buat yang kemarin, gue beneran lupa ngabarin."

Haekal menghela nafas pelan. "Kamu gak harus ngelakuin ini, Jeya."

Semalaman ia kalut memikirkan perasaannya yang tak karuan. Sempat terpikirkan di benaknya untuk minta maaf pada Jeya karena sikapnya yang sedikit berlebihan. Lagi pula, memang kenapa kalau Jeya melupakan janjinya? Jeya bosnya, gadis itu punya hak untuk melakukan apapun padanya, termasuk mengingkari janjinya. Lalu kenapa dia harus merasa kecewa karena hal kecil itu?

WGM 3 - (Bukan) Pura-pura MenikahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang