Bagian tiga puluh lima

423 82 29
                                    

Selamat membaca💜
.
.
.
.
.

Seminggu berlalu begitu cepat. Terakhir kali Jimin tinggal di Suwon bersama Seonmi dan Hajoon adalah dua hari lalu. Hajoon tidak tahu kapan pastinya pria itu pergi, dia penasaran. Hidup lima hari bersama pria dewasa lain membuat Hajoon terbiasa lebih bebas. Ia tidak perlu membantu ibunya mengangkat barang-barang berat seperti cucian baju, ayam mentah untuk bisnis kecil sang ibu, atau memindahkan meja dan lemari dari satu tempat ke tempat yang lain.

Ya bukan berarti ia tidak suka melakukan hal itu, hanya saja terkadang ia merasa lelah. Namun untuk membiarkan ibunya bekerja terlalu keras sendirian, ia juga tidak tega. Bagaimana rasanya jika dari sejak lahir Jimin ada di antara mereka sebagai kepala keluarga yang bisa diandalkan? Ternyata seperti itu rasanya.

Apalagi ketika kapan hari Mina mengunjungi mereka. Sedikit canggung di awal. Jelas saja, meski dulu ia sempat dekat dengan perempuan itu, mereka sudah tidak bertemu lima tahun lebih lamanya. Saat Seonmi mengadakan piknik di depan rumah, Hajoon merasa seperti lebih hidup. Rumahnya menjadi ramai. Jangan lupakan fakta bahwa ia memiliki sepupu yang manis. Ah, benar. Apa Inhye sudah bisa dianggap sepupunya?

"Ibu, apa pria itu akan kembali?"

"Ayahmu?" Hajoon mengangguk samar. Ia duduk di salah satu kursi makan dengan menyandarkan dadanya di sandaran kursi.

Lantas Seonmi melanjutkan acara membaluri ayam dengan tepung. Semenjak Jimin tinggal di sana, ia jadi membatasi stok porsi ayam goreng lada hitam yang ia jual. Daripada bergelut dengan ayam dan wajan penggorengan, tentu saja ia lebih memilih untuk mengajak Jimin jalan-jalan. Mendekatkan Hajoon dan Jimin kembali adalah misinya yang utama.

"Dia akan kembali nanti. Kau akan melakukan pemotretan pertamamu. Jadi, bisakah kau bersikap lebih santai jika berbicara dengan ayah saat di tempat pengambilan gambar?"

Hajoon menarik napas dalam-dalam dan mengeluarkan dengan perlahan. Bagaimana bisa? Hajoon masih kesal. Jimin terlalu bertele-tele seperti dahulu saat mereka tinggal di Busan. Hidup bersama tidaklah cukup. Hajoon butuh pengakuan. Tidakkah Jimin ingat apa yang menyebabkan ibunya kecelakaan hingga kehilangan Hana-adiknya?

"Tidak tahu. Hajoon ingin lihat dulu, bagaimana nanti paman Kang memperlakukan Hajoon di depan umum."

"Hajoon ..., dia sudah sangat baik padamu. Dia sudah mengantarkanmu ke sekolah tiap hari, 'kan?"

"Hanya itu?" Hajoon menyeringai. "Paman Yoongi bisa mengantarkan Hajoon jika Hajoon mau meminta," lanjutnya.

"Ayahmu melakukannya dengan tulus. Kemarin malam saat kamu tertidur di sofa, ayah juga yang memindahkanmu ke kamar. Kau tidak ingat?"

Lantas bola mata Hajoon bergulir jengah. Sepele sekali. Dan begitu saja sudah Seonmi banggakan. Hajoon kesal, ibunya ini sangat mudah luruh akan bujuk rayu Jimin. Apa hanya dengan melakukan yang dikatakan Seonmi barusan, Jimin sudah sangat memumpuni jika dipanggil 'ayah'?
Oh, ayolah! Hubungan mereka bertiga masih belum jelas. Kemudian apa bedanya dengan lima tahun lalu di Busan?

"Semua akan terlihat jelas saat dia memperkenalkanku pada orang-orang. Jika terbukti paman Kang mengelak dari perannya. Aku akan lebih suka renang," celetuk Hajoon.

Seonmi terhenyak. Gerakan saat ia meniriskan ayam dari panci penggorengan melambat. Pada akhirnya ia mematikan kompor dan membalikkan badan. Melihat punggung sempit Hajoon yang tenggelam di balik pintu kamar.

Persis seperti instingnya selama ini. Hajoon sedang merencakan sesuatu. Bocah itu ingin menguji Jimin. Perlukah ia bertahu Jimin rencana Hajoon?

☘️☘️☘️

(Un)Forgotten Wedding [M]✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang