"Bagaimana kabarmu hari ini?" tanya Kia. Wanita itu baru menemui Kai lagi. Hari yang sibuk untuk Kia sampai ia baru sempat menengoknya.
Kai tersadar dari lamunannya tentang Seza. Terus saja Kai meratapi hubungannya yang kandas secara tragis itu. Luka ini perlahan membunuhnya. Sebisa mungkin pria itu mengontrol emosi yang selalu saja memikirkan bagaimana cara untuk menyakiti diri sendiri. Namun, ia harus benar-benar sadar sekarang. Tidak bisa hal itu mendominasinya.
Setiap melamunkan kilas balik itu, ucapan wanita yang saat ini berada di dekatnya terbayang. Dia yang sekarang berada di hadapan. Melihat perawat itu, entah kenapa Kai merasa lebih leluasa mengutarakan perasaannya. Mungkin karena hanya dia yang selalu antusias saat diajak berbicara tentang Seza.
Reaksi wanita itu yang selalu sangat terlihat bersemangat menanggapi ceritanya masa lalunya ini, memberikan kekuatan hingga kenyamanan pada diri Kai. Dengan rasa sakit yang terus Kai rasakan, entah kenapa ia bisa lebih terbuka kepada wanita itu daripada keluarganya.
Mungkin karena Kia dapat memahami Kai lebih dari siapapun. Hanya dia yang tidak pernah menanyakan apa yang terjadi. Dia juga memberikan jawaban dari setiap ucapan yang terlontar dengan baik, hingga hal itu tidak memperburuk situasi serta hatinya.
"Aku merasa sehat. Bisakah aku keluar dari rumah sakit?" jawab Kai. Kia yang tengah menulis data kesehatan pria itu, mendongak.
"Apa perutmu masih terasa sakit?" Bukannya menjawab, Kia justru memberikan pertanyaan.
"Ya, terkadang. Beberapa kali." Jawaban Kai membuat Kia berdecak pelan.
"Gumpalan darah pada perutmu memerlukan pengobatan lebih dari luka-lukamu yang lainnya. Meski kau merasa sehat, kita tidak bisa memprediksikan apa yang akan terjadi jika itu belum sepenuhnya pulih." Kai mendesah pelan. Ia memegangi perutnya yang memang masih berdenyut saat akan turun dari ranjang atau berjalan terlalu lama.
"Oh iya, temanmu itu keluar dari rumah sakit hari ini."
Seakan tersadar, Kai mengutuk dirinya yang melupakan jika ia masuk ke rumah sakit ini dengan Riko. Ia bahkan belum menjenguk pria itu sama sekali. Kai turun dari ranjang lalu menarik tiang infus.
"Kau mau kemana?"
"Aku harus menjenguk Riko. Di mana kamarnya?"
***
Kai menggeser pintu kamar hingga orang yang berada di dalam ruangan itu menoleh. Terlihat seorang wanita membantu merapikan barang bawaan pria yang saat ini tengah membantu memasukan barang-barang yang lebih kecil ke dalam tas. Kakinya melangkah mendekati keduanya."Kau baik-baik saja?" tanya Kai pada Riko yang dibalas pria itu dengan kekehan.
"Kau bisa melihatnya? Jika ingin mati jangan pernah mengajak Riko. Aku sedang mengandung. Bagaimana hidupku jika Riko tidak ada." Jawaban itu datang dari Laura--istri Riko--wanita itu merengut dengan tatapan tajam mengarah pada Kai.
"Sayang, sudahlah. Aku baik-baik saja. Kau tunggu aku di luar. Aku akan menyusulmu nanti."
Wanita itu mengentakkan kakinya sembari berlalu ke luar kamar dengan membawa beberapa tas. Seketika rasa bersalah merayap di hati Kai. Terlebih saat melihat perban pada dahi serta sebuah kain penyangga di tangan Riko. Riko yang menyadari situasi tak nyaman saat ini menepuk bahu Kai hingga membuat Kai menatapnya.
"Kau baik-baik saja?" Kai hanya mengangguk sebagai balasan.
"Maaf membuatmu seperti ini." Lagi-lagi suara kekehan terdengar di telinga Kai.
"Tidak apa-apa. Aku bisa memahami situasimu saat itu." Kai tersenyum kecut. Ia merasa sangat konyol saat teringat waktu itu.
"Bagaimana dengan Seza? Dia pasti mendengar kabar tentangmu, bukan?" tanya Riko yang membuat Kai tertunduk.
"Dia pergi."
Riko tak bertanya lagi saat mendengar jawaban Kai. Ia menepuk bahu Kai memberikan kekuatan pada pria itu. Tidak ada yang dapat dilakukannya selain memberikan semangat pada Kai. Riko juga memberikan kalimat-kalimat penyemangat yang mampu membuat Kai merasa lebih baik.
Gigi Kai bergemeretak, jemarinya terkepal hingga buku jarinya memutih. Ia jengkel mengingat banyak orang begitu menghargai dirinya yang justru selalu larut dalam duka menyiksa. Bahkan hingga selalu mempunyai pikiran buruk.
****
"Apa yang sedang kau pikirkan?" tanya Kia. Wanita itulah sedang merapikan piring makan siang Kai."Aku tidak bisa menemukan Seza." Jawaban Kai menghentikan pergerakan Kia. Ia menduduki kursi di depan Kai menantikan apa yang akan dikatakan oleh pria itu.
"Aku sudah mencarinya di seluruh London." Kai mendesah pelan. Mengirup banyak oksigen agar paru-parunya terasa longgar.
"Apa mungkin dia pergi ke negara lain? Ada tempat yang kau pikirkan?" Kai menggeleng. Ia sudah mengerahkan orang-orang yang berkerja dengannya untuk mencari keberadaan Seza. Sampai hari ini ia tak juga mendapat informasi apa-apa tentang wanita itu.
"Apa hatimu masih mencintainya setelah apa yang terjadi kepadamu dan dia?" Pertanyaan Kia membuat Kai mengeryit.
"Apa maksudmu?"
"Apa itu bukan karena perasaan bersalahmu padanya saja?" Kia meringis dengan ucapan sendiri yang kini menyebabkan raut wajah Kai tidak bersahabat. "Tidak, maksudku ... Aku memang tidak tahu apa-apa tentang kalian. Tetapi mengingat kau yang kacau beberapa waktu lalu, mungkin kejadian itu sangat buruk. Aku hanya ingin kau menyadari perasaanmu. Apa itu perasaan cinta atau rasa bersalah."
"Aku mencintainya!" Suara Kai berubah. Intonasi nadanya bagai melodi di dalam film-film bergenre horror.
"Ah, baik. Aku minta maaf."
Kai mengalihkan pandangan ke arah jendela. Tak terima dengan apa yang diucapkan oleh Kia. Wanita itu berhasil memancing emosi Kai yang sudah ia coba simpan rapat-rapat. Napasnya pun memburu. Rasa canggung memenuhi ruangan itu. Tak ada yang bersuara sama sekali, membuat suasana menjadi tidak nyaman.
Berbeda dengan Kia, wanita itu justru tidak menyesali apa yang telah dia ucapkan. Pertanyaan itu memang harus mendapatkan jawaban pasti karena hanya dengan itu, Kai akan dapat melanjutkan hidupnya. Cinta dan rasa bersalah itu dua hal yang berbeda. Jika terus berada dalam zona itu, Kai akan terus memikirkan apa yang telah ia lakukan kepada orang yang ia cintai. Menyebabkan pria itu terus terpukul dan merasa berdosa.
Namun, jika itu cinta yang seharusnya Kai lakukan itu menerima semua yang telah terjadi. Meskipun akan sangat sulit dan lebih membutuhkan waktu untuk mengobati hati yang terluka, setidaknya ia tidak melulu mengutuk dirinya. Anggap semua hal yang telah terjadi sebagai pelajaran dan juga demi kebahagiaan 'orang itu'. Pikirkan betapa menderitanya 'dia' karena perbuatannya. Sehingga demi senyum yang kembali terbit di bibir wanita itu, Kai memilih pergi.
Pergi di sini, bukan berarti benar-benar meninggalkan atau menghapus semua hal tentang wanita itu. Kai hanya perlu menyimpan rapi memori indah yang telah ia ciptakan bersama orang yang berharga di hatinya.
"Kau tahu aku tidak bermaksud membuatmu kesal seperti ini. Semoga kau paham dengan apa yang aku ucapkan," Kia membuka suara karena tak suka dengan suasana canggung ini.
"Aku tidak mengerti maksudmu. Yang pasti ini adalah cinta. Aku mencintainya. Dan aku akan mendapat dia kembali bagaimanapun caranya."
Ucapan Kai bagai sengatan listrik bertenaga tinggi yang mampu melumpuhkan Kia. Jantung Kia berdenyut nyeri mendengar itu. Ia yakin sekarang jika ia menyukai pria di depannya ini. Perasaannya bercampur aduk. Rasa sesak menyerang dada, menyebabkan ia sulit bernapas.
Detak jantung yang memburu mengakibatkan iris coklat Kia berembun. Sangat sulit baginya menahan agar cairan bening itu tidak tumpah. Kia meremas ujung bajunya berusaha mengendalikan perasaan. Sampai ucapan Kai selanjutnya membuat pertahanan Kia runtuh.
"Pergilah, aku tak ingin melihatmu."
****
Hai haii.
Bab 10 update.Ini gimana ceritanya sih, kok bisa-bisanya Kia tanya kaya gitu.
Menurut kalian, perasaan Kai itu cinta atau rasa bersalah?Enjoy the story'
Happy reading
KAMU SEDANG MEMBACA
My Auntumn (End)✓
RomanceKia adalah musim semi yang datang secara mendadak kepada sosok pria bernama Kai. Memberikan sentuhan keajaiban, menciptakan kehidupan baru saat pria itu sudah menyerah menghadapinya. Kia berhasil memberi berbagai warna yang awalnya abu-abu. Membuat...