5. Pasha

191 33 4
                                    

"Mas Kinn, ayolah. Kasih tahu aku siapa cowok yang tadi." Sudah terhitung lima kali Latu melontarkan permintaan yang sama sejak meninggalkan kampus tadi. Namun hasilnya sama, Kinn bungkam seribu bahasa. "Mas Kinn."

Tak henti merasakan pukulan pelan di pundak, Kinn mengembuskan napas lelah. Gadis di boncengan benar-benar menyebalkan jika punya keinginan. Pada akhirnya, Kinn memilih berbelok di salah satu tempat makan, berhenti di sana.

"Mas Kinn," rengek Latu lagi, kali ini seraya turun dari motor. Ia belum berniat melepas helm, sengaja berdiri tepat di samping motor dan memasang tampang memohon.

Kinnaja berdecak. "Dia larang Mas buat kasih tahu kamu, Latu."

Giliran Latu yang berdecak. Ia sudah berkacak pinggang, bibirnya sudah dimajukan. "Nggak asik. Beneran nggak bakal dikasih tahu, nih?"

Lelaki yang masih duduk di atas motor besarnya itu menggeleng mantap. Tak akan diberitahunya Latu meski gadis itu memohon-mohon. Pantang baginya mengingkari janji.

Latu mulai melepas helmnya, bersamaan dengan Kinn yang turun dari motor.

"Kamu boleh pesen sepuasnya, hadiah selesai sidang," ucap lelaki itu.

Wajah Latu semringah, kapan terakhir kali Kinn mentraktirnya makan?

"Oke, tapi nanti abis yudisium, boleh minta hadiah lagi, nggak?"

Mendengar itu, Kinn mendesis, gadis di depannya sangat cerdik mencari kesempatan. "Memang kamu mau minta apa? Buku? Hadirin acaranya Sudjiwo Tedjo? Atau lihat pagelaran budaya di Borobudur?"

Sudah hafal rasanya Kinn dengan keinginan yang sering diajukan Latu tiap tahunnya. Tak pernah jauh-jauh dari itu.

Perempuan itu menggeleng pelan, tersenyum penuh arti. "Kali ini nggak pake uang, kok. Cukup ... kenalin aku temennya Mas yang tadi."

Sambil menepuk jidat, Kinn melenggang meninggalkan Latu, memasuki resto.

"Mas Kinn, janji, ya? Ya, ya?" Gadis itu berlari menyusul.

Memilih meja pojok, keduanya makan dengan tenang. Sepanjang acara makan siang itu pun, Latu tak berhenti tersenyum, bak seseorang yang tengah kasmaran. Kinn yang tak biasa melihat Latu demikian sampai pusing dibuat.

Selesai makan, Latu kembali memulai aksinya menginterogasi Kinn meski tak yakin akan berhasil, "Oke deh, kalau Mas Kinn nggak mau kasih tahu namanya, tapi paling nggak, jawab pertanyaan aku yang ini. Sebelumnya, kita—maksud aku, aku sama dia, udah pernah ketemu, ya? Sebelum dia pergi tadi, aku baru ngerasa kalau wajah dia tuh familiar, Mas Kinn. Kayak pernah ketemu di suatu tempat, tapi aku nggak yakin."

"Mana Mas tahu kamu pernah bertemu dengannya atau tidak, Latu. Harusnya kamu tanya dia." Kinn menandaskan minuman miliknya.

"Udah, tapi dia cuma jawab plausible. Berarti, bisa iya bisa nggak, dong?"

Entah harus menanggapi bagaimana lagi. Rupanya, Latu versi jatuh cinta bisa jauh lebih menyusahkan.

"Kamu betul-betul suka sama dia? Alasannya?"

Ingatan Latu berkelana pada sejam yang lalu, saat lelaki yang menurutnya cukup aneh itu memberi penjelaskan panjang lebar mengenai ehipassiko juga salah satu gatra sekar Pangkur yang membuatnya bingung. Ia tampak sangat paham dengan apa yang dibicarakannya, sangat mirip dengan Maruta ketika berdiskusi.

Perempuan itu mengangguk. "Karena cerdas? Mungkin." Ragu-ragu Latu menjawab kali ini, sebelah alisnya sudah terangkat tinggi.

"Kalau sekadar cerdas, teman kamu yang namanya Gavin juga cerdas, Latu. Kamu sering menceritakannya," ralat Kinn. Sejujurnya, ia paham. Kesan pertama siapa pun jika bertemu lisan dengan sang junior pasti akan sama dengan bagaimana Latu bereaksi hari ini. Lelaki itu terlalu menarik untuk dilewatkan, dalam banyak hal.

EhipassikoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang