Hiruk pikuk penduduk kampung sudah terdengar dari pintu luar gereja. Kebaktian sudah usai beberapa menit yang lalu, Mawar dan Rudi terlihat keluar dari gereja hampir bersamaan. Tampaknya mereka adalah orang terakhir, terlihat Mawar mengunci pintu gereja setelah mereka keluar. “Ramai juga ya. Sampai-sampai ke gereja pun suaranya terdengar, padahal ‘kan jaraknya hampir 300 meter,” ucap Rudi berdiri tidak jauh dari Mawar.
Setelah yakin pintu gereja sudah benar-benar terkunci, Mawar berdiri tepat di samping Rudi sambil memandang ke Balai Desa. “Itu belum seberapa. Masih banyak yang ambil wudhu tuh di masjid,” jawab Mawar menunjuk ke arah masjid yang tegak lurus dengan gereja. Meski berbahan semi permanen namun gedung masjid itu terlihat tidak kalah kokoh dengan gedung gereja ini. Terlihat pula sejumlah orang yang begitu sabar antre dan memadati tempat wudhu.
Rudi tersenyum penuh makna sembari masih memandangi penduduk yang mengantre wudhu.“Kenapa? Kok senyum gitu? Emangnya ada yang lucu ya?” tanya Mawar heran.
“Enggak. Saya bingung aja. Bisa ya, gereja sama masjid berdekatan kayak gini. Dan gak ada satu orang pun yang merasa keberatan atau terganggu,” lanjut Rudi terkagum-kagum.“Gak cuma masjid dan gereja kok. Di belakang sana, sekitar 500 meter juga ada klenteng dan wihara. Bahkan rencananya akan didirikan pula pura untuk umat Hindhu,” jelas Mawar panjang lebar.
“Masa? Kok Saya gak tahu?” tanya Rudi kaget.
“Gimana kamu bisa tahu? Wong keluar kantor aja kamu masih ogah-ogahan,” ledek Mawar.“Haha... Iya deh, maaf. Besok, besok, kalo ada waktu, mau gak ngajakin saya keliling peternakan dan kampung ini?” pinta Rudi sumringah.
“Wani piro?” jawab Mawar bercanda.
“Ha? Jadi, sama saya juga harus ada bayarannya? Jahat banget sih,” jawab Rudi belagak manja. Mawar hanya menggeleng-gelengkan kepalanya sambil tertawa tulus penuh kebahagiaan.“Ya udah, gabung ke Balai Desa aja, yuk. Sambil nungguin teman-teman yang muslim selesai shalat,” ajak Mawar. Rudi mengikuti langkah Mawar yang sudah berjalan lebih dulu. Kebahagiaan tak lagi bisa disembunyikan dari wajahnya.
💌
“SEJAK kecil, aku belum pernah melihat anakku sebahagia ini,” bisik Pak Terah Wijaya kepada Ibu Ratih Wijaya yang berdiri tidak jauh dari dirinya. Ibu Ratih Wijaya bergegas menyeka air mata yang menggelinang di pelupuk matanya sebelum membasahi pipinya. Ternyata sejak tadi, mereka sudah mengamati aktivitas kampung ini dari sudut kampung, khususnya Rudi dan Mawar. Ia beranjak menuju mobil mewah yang sudah menunggu tidak jauh dari mereka.
Pak Terah Wijaya mengikuti langkah Ibu Wijaya masuk ke mobil. “Jalan, Pak,” ujar Pak Terah Wijaya. Mobil melesap begitu cepat kemudian menghilang tanpa jejak membawa Bapak dan Ibu Wijaya.💌
ANGIE mengangkat telepon gengggamnya, menekan beberapa nomor kemudian mendekatkan telepon genggam itu ke telinganya. “Cha, maaf,” ucapnya manja.
“Hmm....” jawab Marsha dari seberang sana.
“Please, jangan marah lagi ya. Ok. Gue bakal dengerin lo. Apa pun, Cha. Apa pun,” ucap Angie penuh penyesalan.
“Yakin?” tanya Marsha datar.
“Yakin. 1000 persen kalo perlu.” jawab Marsha pula sambil mengangkat dua jari tangan kirinya, meski Marsha tidak berdiri di depannya.
“Ok. Gue jalan ke sana ya,” jawab Marsha lantas menutup teleponnya. Sementara Angie masih dengan wajah penuh penyesalan, lesu dan tak bersemangat.
💌
KAMU SEDANG MEMBACA
Sure, It's a Truly Love [On Going - Segera Terbit]
RomanceRange 15+ Bangkrutnya pemilik peternakan kuda tempat Mawar bekerja, seperti menjadi skenario Tuhan untuk mempertemukannya dengan Rudi. Mawar dengan segala keunikannya berhasil mengambil tempat istimewa di hati Rudi. Sayangnya, peternakan kuda yang d...