50 | arahan tukang parkir

939 78 137
                                    

__________________

"Gaiiiis, kalian mau dengar berita terbaru tentang si Elis, nggak??"

Adalah pertanyaan super antusias yang Monita layangkan, begitu dia dan teman-temannya kembali ke ruang main, usai makan siang plus ngobrol ngalor ngidul ngetan ngulon bersama Papi Mami—ini pun sebenarnya terpaksa berakhir karena diinterupsi oleh kehebohan Kak Rafa dan Kak Sera yang main uno macam lagi debat pilpres.

Berhubung Aiden, Biru, Calvin, dan Denil nggak punya jadwal lain yang mesti dilakukan, jadilah mereka bebas bersantai ria di rumah Monita paling mentok sampai larut malam, tergantung siapa duluan yang bakal sadar buat pulang ke habitat sebelum bulan gantian shift sama matahari.

Jikalau ada yang bertanya apakah Monita pernah merasa bosan dikelilingi cowok-cowok itu selama hampir 24/7 minus waktu tidur, jujur no bokis no hoax nih, Monita sangat amat bosan serempet mau gumoh. Malah andai ini adalah dunia fantasi yang bisa 'transmigrasi' tubuh, Monita juga pinginnya simsalabim abracadabra pindah jiwa ke tubuh eonni-eonni Korea, terus melamar jadi sugar baby-nya Song Jong Ki saja, daripada setiap hari lelah batin memandang tampang jamet dan kelakuan abnormal para cecunguk itu.

Tapi, mau gimana lagi? Karena ini bukan dunia fantasi dan perkara garis hidup, semua sudah diatur estetik sama Sang Pencipta, mau tak mau Monita terima kenyataan dengan lapang dada. Lagipula jika dipikir kembali, andai cowok-cowok itu nggak ada atau nggak betah berteman sama dia, pastilah kehidupannya juga kayak bubur tanpa garam yang dimasak kurang air, alias kering, hambar, dan bikin eneg.

Jadi kesimpulannya, meski pengaruh dari para cowok oplos crocodile ini lebih banyak sesatnya daripada baiknya, Monita cukup bersyukur bisa berteman sama mereka.

"Elis siapa??" tanya Denil usai puas mentertawai mahakarya buatan Monita pada kuku tangan Calvin, yang amburadulnya persis bikinan anak PAUD.

"Elis Sugigi," jawab Aiden ngasal.

Biru melirik kecil. "Itu Eli, gobs, bukan Elis."

"Woya sama aja, cuma beda satu huruf tok."

"Kalau ada yang beda berarti kaga sama dong, geb." Monita membalas sambil kedua tangan mulai sibuk menjambak—maksudnya, menyugar rambut Aiden, yang akan jadi objek percobaan berikut untuk sesi salon-salonannya. "Lagian ini bukan tentang Eli Sugigi."

"Terus?"

Sebelum menjawab, dia sengaja pasang raut sok misterius, lalu sedikit merunduk guna berujar pelan, "ini soal Annelise si noni Belanda, alias mbakyu kunti penghuni pohon mangga yang ada di taman belakang. Kalian inget, kan??"

Berbanding terbalik dengan tampang Monita yang sudah serius nan horor, empat cowok itu kompak membuang napas panjang, lantaran sudah paham betul alur cerita ini akan bermuara ke mana.

Bukan apa, kisah mbakyu kunti yang selalu Monita dongengkan ini, kalau diikuti dari zaman mereka masih SMP, mungkin sudah tembus ribuan episode mengalahkan drama cintanya Mas Aldebaran sama Andini, yang dulu digandrungi mamak-mamak seantero nusa bangsa.

"Kalian mau tau berita terbaru—"

"Kaga," potong Calvin yang cepat disambut delikan sinis.

"Gue nggak butuh jawaban lo, wahai Saudara Calvin yang terkampret," tekan Monita.

"Itu tadi lo nanya, makanya gue jawab."

"Pertanyaan gue nggak perlu ditanggepin. Ntuh cuma intro biar kalian makin penasaran!"

"Emang ada yang penasaran??" tanya cowok itu, lekas dijawab gelengan berulang oleh Biru dan Denil.

Jangan tanya kenapa Aiden nggak ikutan geleng, sebab mahkota ketampanannya sedang berada di bawah kekuasaan jemari mungil nan berbahaya Monita, alias paling betul dia anteng dan tim netral saja, daripada bertingkah macam-macam lalu rambutnya dibikin separuh plontos.

Defenders ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang