17 | 2012 (5)

99 3 0
                                    

Bandung, Februari 2012

Selalu ada iri setiap kali Ralissa melihat anak-anak berseragam sekolah. Jujur saja, Ralissa ingin sekolah lagi, tetapi waktunya penuh dengan kesibukan.

"Dek."

Ralissa mengalihkan perhatian dari gerombolan siswa-siswi berseragam putih biru yang keluar dari gedung sekolahnya ke pemuda yang membeli kuenya. Seorang mahasiswa yang sudah tak asing dan tak jarang membeli kuenya dalam jumlah banyak. Ralissa tersenyum lebar. "Eh, Kak Rean. Pilih aja kak, ini plastiknya."

Ralissa memercayakan pemuda itu mengambil kue dengan sendiri. Seperti biasa Rean mengambil lebih dari 50 biji. Pemuda itu sering membeli banyak dengan alasan ibunya suka kue Ralissa, selain itu juga untuk dibagikan untuk teman-teman kuliahnya.

Langganannya itu memang suka berbagi. Ralissa pun sering mendapat jatah sendiri kebaikannya. Ia sering mendapatkan sneck dan cokelat. Seperti sekarang.

"Makasih, Kak." Ralissa berbinar menerima dua batang cokelat dari Rean.

Awalnya memang tidak enak. Namun kini Ralissa sudah biasa. Rean berlalu setelah memberikan uang tunai pada Ralissa dengan mobilnya.

Ralissa menaruh cokelat pemberian pelanggannya dalam wadah kue. Hal itu juga membuatnya menyadari kuenya hanya tersisa dua biji. Ralissa menahan senyum. Buat Razel aja, ah.

Lima belas menit kemudian, Ralissa bertemu dengan remaja laki-laki yang baru 20 hari dikenalnya. Razel refleks menghentikan kaki begitu melihat Ralissa berdiri di pagar sekolah kemudian lanjut berjalan.

"Hai," sapa Razel manis. "Ke situ, yuk." Razel menarik Ralissa menuju pos satpam.

"Sopir kamu belum datang?"

Razel yang baru duduk menjawab, "Belum, Lis."

Ralissa mengangguk sebelum kemudian duduk di samping Razel. Ia mengamati Razel sejenak yang tampak sibuk merapikan seragamnya. Seragam Razel tampak kotor tepat di bagian perut. "Kena apa?"

"Kena kopi. Aku gak sengaja nabrak adik kelas pas istirahat."

"Kulit kamu gak melepuh?"

Razel menggeleng. "Es kopi, kok, bukan kopi panas."

"Oh ...." Keterkejutan Ralissa yang sempat hadir berakhir juga. Gadis itu kemudian mengambil sisa kue jualannya, memberikan pada Razel.

"Kamu udah makan?"

"Belum," jawab Ralissa seadanya.

Pada akhirnya Razel hanya menerima satu biji kue, sementara satu kue lagi ia dorongkan kembali pada Ralissa. Mereka menikmati kue bersama dengan senang dan kehangatan sendiri.

Pada gigitan terakhir, mata Ralissa menangkap mobil yang biasa menjemput Razel muncul, disusul suara klaksonnya. Razel mengerjap, mulutnya perlahan berhenti mengunyah karena perhatian yang sama.

Sempat memasang terkejut, kini Razel mengangkat kedua sudut bibir. "Pulang sama aku, yuk."

Ajakan Razel awalnya ditolak Ralissa karena merasa tidak enak. Namun, Razel meyakinkan Ralissa sampai akhirnya membuat gadis itu mau. "Aku turun di depan mini market dekat SMA Indrajaya, ya," ucap Ralissa setelah mobil berjalan.

"Kenapa cuma sampai di situ? Sampai rumah aja gak pa-pa kali."

"Enggak, Zel. Di situ aja."

"Beneran nggak mau sampai rumah?"

Ralissa mengangguk. Dan Razel tak memaksa. Hanya selang sepuluh menit, mobil itu tiba di titik yang Ralissa sudah sebutkan. Secepat itu. Ralissa tidak mau merepotkan orang. "Makasih tumpangannya," ucap Ralissa setelah turun.

Razel mengangguk dengan senyum tipis. "Aku lanjut, ya."

Ralissa menanggapi ucapan Razel dengan anggukan dan senyum kalem.

***

Sampai di rumah, Ralissa langsung mencari keberadaan adiknya. Nyatanya Anres tengah kotor-kotoran membersihkan kolam ikan yang lama tak terurus semenjak Awan---ayahnya meninggal sekitar sembilan tahun yang lalu. Menyusul ibu kandungnya yang berpulang terlebih dulu.

Anres tampak cemberut, dan terus cemberut sampai melihat kakaknya sudah pulang.

"Jangan cemberut. Kapan selesainya kalau terus cemberut ," kicau Ralissa.

Namun, cemberut Anres semakin menjadi-jadi yang akhirnya membuat Ralissa tersenyum geli lantas mengambil cokelat dari wadah kuenya. Ia memberikan dua batang cokelat pemberian salah satu pelanggannya sore itu pada sang adik.

Anres menyambernya dengan cepat. "Terus Kakak nggak makan?" ucap Anres sambil membuka bungkus cokelat.

"Kakak udah makan satu di jalan," bohong Ralissa.

"Oh, yaudah." Anres berbalik arah. Namun, tidak kembali membersihkan kolam, melainkan beristirahat sejenak di lincak seraya memakan cokelat.

Sementara itu Ralissa langsung melangkah masuk rumah. Ia menaruh wadah jualannya yang sudah berisi seluruh hasil jualannya di meja dapur. Ibu sambungnya, akan mengambilnya sendiri seperti biasa.

Ralissa langsung beranjak ke kamar mandi. Pekerjaan lain sudah menunggunya. Segunung cucian milik tetangga yang menitipkan agar dibersihkan. Jangan tanya Ralissa tak lelah? Selama ini Ralissa hanya menahan untuk tak mengeluh lelah.

Keluarga ini butuh uang. Teramat butuh uang.

"Kalau kamu malas,  adek kamu sekolah pakai apa?"

Kata-kata ibu sambungnya selalu menyadarkannya.

Sadar, setelah sang ayah pergi semuanya menjadi sulit.

Sadar, setelah ayahnya pergi harus ada yang dikorbankan.

***

Ralissa memanggilnya "Om Dion". Pria yang kini bertamu ke rumah Ralissa dan disambut ramah oleh Mila, ibu sambungnya. Berawal dari sering membeli kuenya, Ralissa dan pria itu menjadi akrab.

Dion datang tak lama setelah Ralissa selesai makan. Namun, Ralissa masih ada pekerjaan yang harus diselesaikan. Menyapu dan membuang sampah.

"Denger-denger anak perawan gak boleh nyapu malam loh."

Suara itu berarah dari Dion yang sejak tadi berdiri sambil bersedekap di bawah pohon rambutan. Ralissa hanya tersenyum menanggapi ucapan Dion.

Perlahan, Dion mendekati Ralissa. "Masih ada pekerjaan lagi?" Suara Dion merendah dan sorot matanya berubah sendu.

"Udah selesai, Om," ucap Ralissa serak.

Dion yang sudah menganggap gadis itu seperti putrinya, merangkul Ralissa sangat nyaman seraya membawanya masuk rumah. Ralissa pun selama ini merasa rangkulan itu hangat.

"Om mau cerita sesuatu sama kamu. Dengerin, ya, nanti."

***

FOREVER RTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang