Tangan Clara berkeringat dan gemetar. Beberapa kali ia mengusapkan tangan ke celana jinsnya supaya tangannya tidak terlalu basah.
Pipi Clara memerah mengingat kejadian semalam, ia menolak tegas saat Barsel memintanya untuk melakukan kewajibannya sebagai istri.
Jujur, Clara merasa bersalah tapi ia wanita biasa yang tidak mudah memaafkan serta menerima apa yang baru saja terjadi begitu saja.
Meski setelah acara pengakuan dari Sena mendapatkan sanggahan yang masuk akal dari Barsel, bahwa anak itu belum tentu anaknya yang berakhir dengan pengusiran Sena secara paksa. Hal itu tak lantas membuat ia luluh, ia masih belum bisa menerima semua kejadian itu.
Clara mendengar suara-suara pelan dari ruang tunggunya saat ini. Suara pegangan pintu diputar dan ia meringis merasakan jantungnya berdebar tak karuan. Apa yang ia pikirkan? Sepertinya keputusannya saat ini salah. Ia baru akan berbalik untuk pergi tetapi suara tenang dan halus menginterupsinya, "Maaf karena membuat Anda menunggu lama, Nyonya Barsel. Anda sekarang diperbolehkan masuk."
Clara tersenyum canggung sembari mengucapkan terima kasih lalu masuk ruangan Bara.
Ya, ini memang konyol, Clara menyadari itu. Entah pemikiran dari mana, tiba-tiba ia teringat tentang Bara begitu saja. Sehingga pagi-pagi seperti ini, ia berada di kantor pria itu.
"Silahkan duduk." Bara mempersilahkan Clara untuk duduk sambil mengulurkan tangannya ke arah kursi.
Clara berdiri tak yakin namun hal itu tak berlangsung lama, semua sudah terlanjur, pikirnya. Sehingga ia mau tak mau, duduk di kursi yang Bara tunjuk untuknya.
Lebih tajam daripada yang ia niatkan, Bara berkata, "Maaf jika aku terkejut melihat kedatanganmu."
Clara menelan ludahnya, gugup. "Aku hanya kebetulan lewat."
Salah satu alis Bara terangkat. "Jujur, aku masih saja terkejut. Seharusnya kamu tidak ada di sini, sepagi ini mengingat kamu baru saja menikah."
Clara ingin memaki dirinya sendiri karena dari sekian banyak tempat yang bisa ia kunjungi untuk menjernihkan pikirannya, kenapa ia harus datang ke kantor Bara.
"Ya. Well, hanya saja... ada hal yang terjadi."
Bara beranjak dari kursi kerjanya mengitari meja dan duduk di pinggir dengan kaki dijulurkan.
Aroma tubuh Bara yang maskulin tercium jelas oleh indera penciuman Clara yang mampu membuat tubuhnya menggelenyar.
"Hal apa?"
Bara tahu apa yang tengah terjadi tapi ia harus bersikap seolah tidak tahu apapun.
"Tentang Barsel."
Bara mengeryit seolah bingung padahal ia lah yang menyusun segala sekenario kekacaun saat ini.
"Ada apa dengan sahabatku? Apa dia kenapa-napa?"
"Tidak." Clara menggeleng, ia ragu untuk menceritakan apa yang sebenarnya terjadi pada Bara.
"Jadi?"
"Maaf mengganggumu."
Tanpa berpikir panjang lagi, Clara bangkit menuju pintu dan memegang pegangannya, gemetar. Ia harus bisa menahan diri untuk tidak bercerita pada siapapun masalah yang tengah menimpa dirinya. Ia tak boleh bercerita, apalagi pada Bara, pria yang mampu memberikan rasa geleyaran aneh pada dirinya hanya dengan mencium aroma tubuhnya saja.
Clara harus segera menjauh, pergi dari tempat itu. Namun, belum sempat ia keluar, ia merasakan tangan yang lebih besar dari lengannya, menariknya. Sentuhan itu mengirimkan getar sensasi yang aneh ke seluruh aliran darah tubuhnya, membuatnya seperti merinding.
"Kamu tak mungkin datang kemari tanpa ada sesuatu hal yang penting, bukan?"
Clara menggeleng lalu menyentakkan tangan Bara dari lengannya. Ia harus segera pergi, sebelum kewarasannya menghilang perlahan.
"Aku hanya mampir. Terima kasih."
Clara cepat-cepat membuka pintu kemudian berlari keluar dari ruangan Bara.
Bara sendiri membanting pintu ruangannya setelah Clara pergi. Ia mengusap wajahnya kasar dan melonggarkan dasinya sambil mengumpat beberapa kali.
Bara tak suka pada orang yang melarikan diri darinya.
❄️❄️❄️
Clara mondar-mandir di depan pintu apartem yang telah Barsel sewa untuk mereka berbulan madu.
Membayangkan ada Barsel di dalam sana membuat perut Clara rasanya bergolak. Ia belum siap bertemu dengan Barsel, apalagi melayani pria itu.
Clara berhenti mondar-mandir dan berjongkok sambil menopang kepalanya dengan tangan yang letih. Ia harus mencari ide supaya memiliki jarak dengan Barsel tanpa menimbulkan kecurigaan keluarga besarnya dan keluarga besar Barsel.
Pada saat seperti ini, Clara ingin memaki dirinya sendiri, kenapa saat itu ia tidak berpikir panjang dan tidak mencoba untuk mencari tahu terlebih dahulu tentang Barsel sebelum menerima lamarannya.
Ucapan Barsel semalam pun, mendadak terlintas di pikiran Clara tentang Bara. Ia baru tahu, jika selama ini bukan Barsel yang mengetahui apa yang ia sukai tapi Bara lah yang mengetahuinya. Meski semua ide Barsel yang ingin memberikannya kejutan tapi kejutan itu tak akan mungkin berjalan lancar tanpa campur tangan Bara yang telah memilihkan hadiah-hadiah indah untuknya.
Clara menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Ia tidak boleh berpikir yang tidak-tidak karena saat ini setatusnya sudah tak sendiri lagi. Kini ia sudah sah menikah dengan Barsel. Tak selayaknya ada perasaan liar yang tumbuh untuk sahabat suaminya.
"Ibu, Ayah," lirih Clara.
Air matanya menggenang, tapi saat itu terdengar suara pintu apartemen terbuka. Terkejut, Clara buru-buru menyeka air mata di pipinya.
"Sayang?"
Barsel menatap Clara dengan tatapan tak berdaya dan merasa bersalah.
"Kenapa kamu tidak masuk?" Barsel ikut berjongkok di samping Clara, "aku minta maaf."
Clara masih terdiam, ia juga berusaha menahan diri supaya tidak menangis lagi. Namun, ia tidak sanggup sehingga tangisnya pecah.
Barsel yang melihat itu, langsung meraih tubuh Clara dan memeluknya erat sambil terus mengucapkan kata maaf.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bara's Revenge
RomanceKebencian Bara telah mengakar kuat. Hanya mendengar nama Barsel disebut saja membuatnya merasa muak. Namun, ia harus bersikap tenang dan terus konsisten dalam menjalankan aksi balas dendamnya. Bara hancur dan ia tak mau hancur sendirian. Ia menging...