Chapter 2. Sambutan

53 8 0
                                    

Selagi aku masih terbaring Theo menjelaskan tepat di depan wajahku, sementara aku panik memikirkan wujud Theo. Apa jadinya jika orang-orang melihat bahwa aku bersama mahkluk gaib ini namun, mereka tidakdapat melihatnya seakan tidak ada siapapun bahkan tangan mereka menembustubuhnya. Theo berkata bahwa Zen melakukan bunuh diri dengan mengkonsumsi racun tertentu dengan dosisyang tinggi, lalu dia meninggal ketika rohnya lepas aku masuk sebagaipenggantinya. Jika seandainya berhasil aku diijinkan untuk bereinkarnasi lagi,ini semacam program rehabilitasi jiwa.

Meski begitu aku tidak yakin ini bisa berhasil, terlebih lagi tinggal bersama dengan keluarga yang tidak kukenal. Kenapa Theo— Pemimpin memutuskan untuk merasuki raganya bukankah ini akan lebih rumit dan tidak masuk akal. Tubuh ini benar-benar rusak, rasa sakit yang luar biasa dibagian perut apa mungkin efek samping racunnya masih tertinggal.

"Zen!" Jerit sang ibu melihat keadaan tubuh yang aku tempati.

"Dokter! Tolong lihatlah dia," bapak-bapak yang sedang meyakinkan dengan tangan gemetar menepuk bahu dokter itu pasti adalah ayahnya.

Si dokter bergegas menghampiriku setelah aku melakukan beberapa kedipan mata.

"Permisi, biar kulihat!" Dokter itu menyingsingkan lengan baju kiri dan sedikit menekan dibagian pergelangan, "denyut nadinya kembali... suster tolong sambungkan ECG."

"Baik, dokter."

Semua terlihat tergesa-gesa sibuk mempersiapkan segala hal untuk membuktikan bahwa Zen memang hidup kembali. Tetapi bagaimana dengan keluarganya bahwa anaknya bukanlah yang dia kenali, bukankah itu sama seperti penipuan.

"Zen... syukurlah kamu hidup." Tangisannya seorang ibu itu terdengar seperti sangat senang tentu itu hal wajar.

Tidak selang berapa lama tubuh ini memang sangat mengerikan, bahkan aku tidak sanggup menggerakkan anggota tubuh yang lain sangat berat dan pandanganku mulai kabur kembali.

"Zen!" Teriak panik ibunya.

"Apa kau baik-baik saja?" Kali ini bapaknya yang gelisah.

Suara mereka masih bisa didengar hanya mataku saja yang tidak bisa terjaga.

"Zen Shinci, apa kamu masih mendengar ucapanku?" Cukup jelas suaranya tetapi aku kenal dia adalah dokter yang tadi.

Aku hanya bisa menganggukkan kepala sebagai tanda bahwa aku masih tersadar dan menghentikan kekhawatiran mereka semua. Setelah berapa lama istirahat dan alat-alat serta kabel terpasang di dadaku membuatku mengakui kondisi kali ini memang sedang buruk. Namun, harus ada yang aku lakukan untuk menutupi segera rasa penasaran ini.

"Aaahh... halo." Kali pertama aku membuka mulut butuh ekstra tenaga, jangan bilang ini adalah suaraku lebih seperti mirip pemuda SMA atau mungkin ini suaranya Zen, sudah pasti begitu.

Dia mendekatiku dan berkata. "Ada apa? Apa kamu butuh sesuatu? Air minum?" Tanya ibu dengan nada cepat dan raut wajah yang khawatir.

"Ka— kaca..."

"Kaca? Kamu ingin melihat wajahmu?"

Benar, aku ingin melihatnya sontak dengan lihai ibu itu keluar dan membawakan kaca tanpa perlu menunggu semenit pun, dia menodongkannya kepada wajahku. Kenyataan aku hidup di dalam raga Zen memang sangat jelas bahkan wajah ini benar-benar asing bagiku sedikit kaget.

"Apa ada yang aneh dengan wajahmu?" Tanya ayah.

Aku kembali merasakan mual dan terbakar dalam perutku kali ini lebih serius tidak bisa lagi menahan bahkan tidak bisa dibayangkan seperti apa rasa sakit ini jika diibaratkan dengan tingkatan ini tingkatan tinggi.

WHITE LITERATURETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang