Bab 5

4 2 0
                                    

Musim penghujan telah tiba. Rintikannya membasahi jalanan sehingga mengakibatkan genangan air di bagian jalan tertentu. Untungnya, hujan tidak terlalu deras. Sehingga Bima bisa mengendarai mobil dengan baik. Ia baru saja balik dari Banten. Di sisi penumpang ada Jasmine yang terlihat lelah.

Pagi tadi Bima berangkat dari Jakarta ke Banten untuk menjemput Jasmine yang pulang sejenak. Gadis itu membereskan beberapa barang untuk diangkut ke kosnya di Jakarta. Di bagasi mobil, sudah disesakkan oleh barang-barang itu. Nantinya akan dirapikan kembali ke kosan minimalis yang disewa Bima untuk kekasihnya.

Pemuda berumur 23 tahun itu sesekali melirik Jasmine dengan senyum yang merekah. Gadis itu hanya bisa membalas dengan senyuman kecil. Tak pernah dibayangkan oleh Bima ia akan melakukan hal ini. Seperti halnya di film Korea yang ditonton oleh adiknya—menemui wanita idaman, jatuh cinta, dan mengorbankan segalanya. Itulah yang sedang dilakukan Bima saat ini. Bahkan, uang yang dikeluarkannya demi Jasmine bisa kuliah di Jakarta tidak seberapa baginya. Toh, awal Maret tahun depan ia kembali bekerja dan menerima gaji yang sangat besar. Uang hasil dua bulannya saja belum tentu habis membiayai kos dan makan Jasmine. Maka, ia tenang mengorbankan apa saja.

Jasmine adalah gadis desa yang memiliki cita-cita tinggi. Konon katanya, ia ingin menjadi desainer seperti Sebastian Gunawan. Namun, orangtua yang hanya bekerja sebagai nelayan membuat ia ragu untuk melanjutkan kuliah. Ia mendaftar SNMPTN hanya untuk iseng saja. Dirinya malah tidak yakin akan lolos di jalur undangan tersebut. Dan harapannya semakin besar kala bertemu dengan Bima. Pemuda itu terus memberinya semangat. Bukan hanya jiwa, juga secara finansial. Ia berjanji akan mengirim uang setiap bulan ke rekening Jasmine untuk kelangsungan hidupnya di Jakarta.

Bima lagi-lagi melirik Jasmine. Ia tak menyangka gadis yang berhasil membuat ia jatuh cinta kini ada di sampingnya. Bahkan, sebentar lagi jarak mereka akan semakin dekat. Tidak harus keluar-masuk tol lagi. Tidak harus membuat janji di hari Minggu. Tinggal berdiri di depan pagar kosan, gadis itu akan langsung keluar menyambut dirinya.

Tangan Bima terangkat menyentuh puncak kepala Jasmine. Setiap sensasinya mereka nikmati dengan baik. Keduanya merasakan takut kehilangan. Rasa itu setiap harinya semakin bertumbuh. Apalagi pada diri Bima yang sadar akan sering meninggalkan daratan Pulau Jawa.

Jasmine meraih tangan Bima dan mengenggamnya erat. Sesekali ia memberi kecupan ringan di punggung tangan tersebut. Hal itu membuat Bima melambung bahagia.

“Mas dari tadi senyum mulu,” goda Jasmine yang mengelus punggung tangan Bima. Ia meletakkannya di paha.

“Aku bahagia karena kamu ada di sini. Bisa lihat kamu setiap hari. Bisa di samping kamu selalu. Dan yang penting, bisa pantau kamu terus.”

“Emangnya Mas nggak ada kerjaan apa setiap hari pantauin aku?” tanya Jasmine yang pada dasarnya tidak tahu-menahu tentang keseharian Bima.

Bima melirik sejenak dan berwajah bingung. “Ada, lah. Cuma untuk saat ini aku cuti. Aku nggak pernah bilang, ya, kerjaan aku apa ke kamu?” tanya Bima yang dirinya sendiri lagi ingat-ingat apakah ia pernah mengatakan tentang pekerjaannya atau tidak.

Jasmine menggeleng yakin. “Nggak pernah,” jawab Jasmine pasti. “Aku sih nebaknya Mas kerja di kantor Om Fairuz atau pegawai negeri gitu,” sambung Jasmine asal jemplak. Jelas jika ia bekerja, tidak mungkin Bima ada di mana saja ia berada hampir seminggu di Jakarta. Mungkin bisa saja ambil cuti seminggu. Maka dari itu Jasmine beranggapan pekerjaan Bima adalah salah satu dari kedua hal itu. Apalagi ia tahu bahwa papinya Bima memiliki perusahaan yang berjalan di bidang arsitektur.

Jatuh Terlalu DalamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang