15 || Daffodil

211 36 4
                                    

Untuk waktu tertentu, Aiza berpikir bahwa ia adalah manusia tersibuk se-Mekar Sebelas.

Di pinggir lemari, tergantung kalender putih yang hampir tiap angkanya sudah ia bubuhi spidol berbagai warna. Dan warna merah terang untuk tanggal kelas terbuka besok. Dia lalu kembali duduk di kursi. Kedua tangannya penuh. Kadang melirik layar komputer di sisi kiri untuk mengecek notifikasi, lalu kembali mengarahkan kursi berodanya ke tumpukan kertas sebelah kanan untuk mencatat sesuatu. Kini meja belajarnya telah sesak meski matahari belum lama menampakkan diri. Setidaknya, hari ini ia dapat belajar dengan tenang tanpa ada pesan bunuh diri di layar komputernya.

Seperti pengganggu, matanya lagi-lagi menangkap secarik peringatan yang menyangsikan itu.

𝑪𝒂𝒓𝒂𝒎𝒖 𝒕𝒊𝒅𝒂𝒌 𝒃𝒆𝒓𝒈𝒖𝒏𝒂. 𝑲𝒂𝒖 𝒉𝒂𝒓𝒖𝒔 𝒈𝒖𝒏𝒂𝒌𝒂𝒏 𝒄𝒂𝒓𝒂 𝒍𝒂𝒊𝒏.

Aiza berhenti sejenak. Menangkup keningnya kuat-kuat. Memejam demi mengartikan kalimat yang sejak kemarin bersarang di kepalanya. Kemunculan petunjuk-petunjuk acak semakin mengukuhkan keyakinannya, bahwa semua hal mencurigakan ini bukanlah sekumpulan pergerakan yang kebetulan. Dan sekarang, seseorang tahu bahwa dia sedang berusaha memecahkan sesuatu.

"Kak Aiza!" pekik seorang bocah setelah suara daun pintu menghantam dinding.

"Lihat gambaranku!" El masih di ambang pintu. Membentangkan selembar kertas A3 hingga mukanya tertutup oleh hasil karyanya.

"Bagus," komentar Aiza. Padahal lehernya tak bergerak sedikit pun dari kertas mungil yang di pegangnya.

Bibir anak laki-laki itu mengerucut. Dia kemudian berjalan dari arah belakang. Mengetuk-ngetuk sandaran kursi berharap mendapat perhatian dari pemiliknya.

Aiza menyerah. Kursinya pun berputar hingga lututnya nyaris mengenai kertas gambaran bocah itu.

El tersenyum lebar. "Berapa bintangnya?"

Mata gadis itu menyipit sembari berpikir. Lalu mengambil sebuah benda di laci mejanya. Stempel mini dengan cetakan bintang yang selalu Aiza siapkan jika El tiba-tiba memintanya untuk jadi guru di hari libur.

"Empat?" ucap El ragu-ragu setelah melihat empat buah bintang biru yang tercetak di bagian ujung kertas.

Aiza mengangguk. "Kau terlalu sering dapat lima bintang. Itu tidak baik untuk kelangsungan hidupmu."

Bocah lima tahun itu memiringkan kepala. "Ke-la-bang sungai?"

Aiza menarik napas dalam-dalam. Menggenggam pipi bulat adik sepupunya dengan kedua tangan. "Dengar El. Kau tidak akan tahu betapa berharganya keberhasilan jika kau tak pernah mencicipi gagal."

Wajah El masih datar.

Gadis itu menatap sekeliling kamar seraya menemukan kalimat sederhana yang bisa dipakai. "El ... kapan ibu akan mengajakmu ke kebun binatang?"

Anak itu berpikir sejenak. "Kalau aku dapat nilai bagus di sekolah."

"Kalau kau tak dapat nilai bagus?"

El menggeleng sambil berkata, "Aku tidak bisa pergi ke kebun binatang."

"Nah, berarti kau harus belajar lebih giat supaya keinginanmu terwujud. Karena kau tahu jika gagal maka keinginanmu tak akan terwujud."

"Kakak pasti tidak pernah gagal," pikir El. "Karena Kakak selalu rajin belajar."

Tatapan Aiza beku. Kemudian mencoba menarik senyumnya. "Kata siapa? Kakak juga pernah gagal. Dan mungkin ... sedang gagal sekarang."

"Apa yang gagal?"

"El, bagaimana kalau kita main sebuah permainan?" Aiza mengubah topik sebelum anak itu terus menghunjaminya dengan berbagai pertanyaan yang mengakibatkan urusannya tak selesai hari ini.

CONSEMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang