Bab 5

212 53 19
                                    

Keheningan menyelimuti ruangan itu. Clara meluapkan segalanya. Ia bisa merasakan dirinya hampir gila, mengakui ketertarikannya pada Bara. Mengagumi pria itu. Lalu tangan Bara yang tengah memegang lengannya terlepas begitu saja. Hal itu menjadi awal kesadarannya kembali.

"Kamu tidak terbiasa minum?"

Bara bergeser, duduk menjauh dari Clara. Bukan ini tujuannya, ia tidak menginginkan Clara. Ia hanya menginginkan Barsel.

"Maafkan aku."

Clara sadar semuanya salah sehingga suasana hangat menjadi canggung tapi ia tak berdaya, entah efek bir yang mempengaruhi kewarasannya atau masalah yang tengah mendera membuat ia gila.

Bara tak menanggapi permintaan maaf Clara karena seharusnya ia yang meminta maaf telah menyeret Clara dalam kekacauan yang sengaja ia buat demi membalas dendam.

"Aku membuatmu tak nyaman?" Clara masih menatap Bara yang tak merespon permintaan maafnya, "Bara."

Bara mengalihkan pandangannya dari botol bir ke arah Clara. Ia mendengar Clara menyebut namanya membuat sesuatu yang telah lama terkurung seakan meraung ingin keluar.

"Apa yang terjadi?"

Clara mengulurkan tangannya hendak menyentuh pipi Bara. Ia merasakan ada sesuatu yang tersembunyi dari mata gelap itu. Namun, belum sampai tangannya menyentuh kulit pipi Bara, pria itu sudah bergeser, memberikan jarak lebih jauh lagi dari sebelumnya.

"Sepertinya kamu memang tidak terbiasa minum. Mari, aku antar kamu pulang."

Bara bangkit dari tempat duduknya, ia tak mau berlama-lama, berduaan dengan Clara. Ia takut tak bisa mengontrol diri, menarik Clara ke dalam pelukan, mendongakkan dagu lancipnya, menelusuri kulit pipi yang mulus dengan ibu jari... ia hampir melakukan itu jika ia tidak segera mengingat Stefanie.

Clara ikut bangkit meraih tangan Bara. "Aku tidak mau pulang. Aku mohon."

Keheningan kembali menyelimuti ruangan itu membuat Clara tegang. Ia tidak mau pulang. Ia harus menceritakan semuanya pada Bara supaya pria itu tidak menyeretnya pulang.

"Aku ingin bercerai."

Bara menyusurkan tangannya yang bebas ke rambut, bimbang. Bukan ini yang ia inginkan. Ia tak mau pernikahan Barsel berakhir mudah. Ia ingin Barsel merasakan kepedihan terlebih dahulu.

"Itu bukan keputusan yang bijak."

"Aku tidak bisa berpikir apapun lagi."

Clara melepaskan tangan Bara kemudian duduk di sofa, menuangkan bir dalam gelas hingga terisi setengah. Lalu meminumnya hingga tandas.

"Anggap sebagai ujian awal pernikahan."

"Aku tidak bisa menerima jika nantinya akan ada wanita lain ditengah-tengah keluarga kami."

"Apa maksudmu? Setahuku, Barsel tipikal pria setia. Dia juga sangat mencintaimu."

"Aku tak tahu. Aku hanya tahu, kini aku tak bisa menerimanya lagi."

"Kamu tidak boleh bercerai dengannya. Dia bisa gila jika kamu meninggalkan dirinya."

"Jika aku yang memaksakan diri untuk bertahan, aku yang akan menjadi gila."

Clara menuangkan bir lagi dalam gelasnya, kali ini hampir penuh, "aku benar-benar bisa gila, aku mencintainya. Aku pikir semua akan indah setelah menikah tapi kenyataannya... " Clara tersenyum getir, "tak ada keindahan sama sekali."

Bara saat ini merasa bersalah tapi ia tak akan pernah menunjukkan rasa bersalahnya pada siapapun.

"Cobalah terlebih dahulu. Jangan menyerah begitu saja." Bara duduk kembali di samping Clara. Ia harus menemani wanita itu, biarkan dia minum sepuasnya dan meluapkan segala emosinya yang penting dia tidak jadi bercerai dengan Barsel.

"Kamu tak mengerti." Air mata mulai menggenang di mata Clara. Mengingat kisah cintanya dengan Barsel. Semua terasa indah namun kini telah berubah dalam sekejap, "aku tak sanggup."

Kali ini air mata Clara meluncur bebas tak tertahankan. Turun melewati pipi dibarengi dengan isakan.

Bara meraih Clara dalam pelukannya, "maafkan aku."

Mendapatkan perlakuan seperti itu, Clara semakin tak terkendali. Ia menangis sesenggukan melupakan segala kesedihannya di pelukan Bara.

Bara melepaskan pelukannya setelah tangis Clara mulai mereda. Ia mengambil sapu tangan dari saku celana dan menghapus sisa air mata di pipi Clara.

Clara meraih tangan Bara dan menggenggamnya erat dengan kedua tangannya. "Jangan bersikap manis padaku karena aku bukan tipikal wanita yang bisa berpura-pura. Aku tidak seperti wanita lain yang bisa menyembunyikan perasaannya. Aku takut tidak bisa mengontrol diriku seperti tadi, aku takut terjadi kesalahan diantara kita. Lalu apa bedanya aku dan Barsel, jika aku menyukaimu. Menyukai pria lain."

"Kamu berada di sini saat ini sudah termasuk sebuah kesalahan."

Clara mengangguk setuju dengan perkataan Bara. Ia berada di tempat itu bersama pria lain yang bukan suaminya, sudah termasuk kesalahan.

"Sepertinya aku akan membuat kesalahan ini semakin sempurna, "Clara mencondongkan wajahnya tepat didepan Bara, hingga napas pria itu terasa jelas di kulitnya, "aku meminta padamu."

"Kamu berubah pikiran, heum?" Bara melepaskan tangan Clara dari tangannya lalu ia mengangkat dagu Clara sehingga bibir mereka sangat dekat bahkan hampir bersentuhan, "kamu ingin sama seperti Barsel yang memiliki wanita lain? Sehingga kamu ingin menjadikan aku pria lain dalam hidupmu?"

"Sepertinya iya." Clara menatap mata gelap Bara, ia menginginkan pria itu. Ia ingin tenggelam bersamanya.

Bara tersenyum tipis, "kau sungguh wanita kejam." Tangannya yang awalnya memegang dagu Clara kini berpindah mengusap-usap pipi Clara.

Clara memejamkan matanya, menikmati usapan lembut di pipinya. "Kau mau, kan?" Clara bertanya tanpa membuka matanya.

Sungguh, pemandangan indah ini, semakin menggoyahkan Bara. Ia tak ingin terlibat hubungan dengan wanita lain. Namun, bibir indah sewarna mawar merah muda dihadapannya ini terasa sangat menggoda. Bahkan sesuatu yang jauh berbeda di bawah sana mulai bereaksi.

"Kau akan menyesalinya," gumam Bara.

Entah kata-kata itu ia tunjukkan pada Clara atau justru pada dirinya sendiri. Entah siapa yang akan menyesal nantinya.










Bara's Revenge Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang