4

1K 45 0
                                    

Hari ini jadwal periksa kandungan. Biasanya mama atau ayah yang menemani. Tapi ayah sedang tidak sehat jadi saat mama bilang akan menemani ke puskemas, aku menolak. Biarlah mama menemani ayah yang sedang sakit.

Dokter bilang, anakku lahirnya hanya menghitung hari saja. Semoga Allah berikan aku kekuatan saat melahirkan nanti. Karena kelahiran anakku kali ini tak ditemani papanya. Semuanya sudah berubah.

"AWAAAAAS." 

Aku berteriak, lalu berlari ketika melihat sebuah mobil melaju kencang kearah seorang laki-laki paruh baya. Mungkin seusia dengan ayah. Saat aku menariknya, aku jatuh terduduk dan sekarang perutku rasanya sakit sekali.

"Kamu nggak apa-apa?" tanyanya dengan wajah cemas.

"Anak saya."

Hanya kalimat itu yang bisa aku ucapkan sebelum semuanya gelap.

°•°•°•°

Entah berapa lama aku tak sadarkan diri. Yang pasti saat ini masih siang. Aroma khas ini membuat aku yakin jika saat ini aku berada dirumah sakit. Mataku memindai sekeliling. Ini bukan kamar kelas biasa. Siapa yang membawa ku kerumah sakit dengan kamar yang bagus begini?

Aku tersadar saat tanganku menyentuh perut. Disana sudah rata. Ya Allah, kemana bayiku? Ada apa ini.

"Eeeeh, mau kemana?"

Ketika akan turun dari ranjang, untuk mencari tahu dimana bayiku, seorang wanita yang sudah berumur namun masih nampak cantik.

"Anak saya." hanya kata itu yang mampu aku ucapkan.

Wanita yang belum aku tahu namanya itu tersenyum lembut. Menuntun ku kembali untuk berbaring.

"Dia ada diruangan bayi, daaaan dia sangat tampan." matanya berbinar. Nampaknya wanita ini penyayang.

"Maaf, tapi Anda siapa?"

"Aduuuh, jadi lupa. Saya Widya, istri dari Pak Suryadi."

"Bu Widya? Pak Suryadi?" aku benar-benar bingung dan asing dengan kedua nama itu.

"Kamu sudah menyelamatkan suami saya, Sayang. Dan karena kamu menyelamatkan suami saya itulah kamu harus menjalani operasi. Kami juga ingin minta maaf karena sudah lancang menandatangani surat persetujuan operasi. Tapi kami benar-benar panik dan tak tahu harus menghubungi siapa." ibu Widya menggenggam tanganku. Dari sorot matanya nampak dia merasa menyesal. 

"Alhamdulilah jika anak saya tidak apa-apa dan sudah lahir dengan selamat. Terima kasih sudah menyelamatkan saya dan anak saya."

"Justru kamu yang menyelamatkan kami, Nak. Jika bukan karena kamu. Mungkin saat ini ada seorang istri yang tengah menangisi kematian suaminya, seorang anak yang menangisi kematian ayahnya, atau cucu yang menangisi kematian Opanya. Semua berkat kamu."

"Saya hanya perantara Allah untuk membantu Pak Suryadi. Sudah berapa lama saya tidak sadar, Bu?"

"Cuma 1 hari kok."

Aku meremas tangan gelisah. Pasti ayah dan mama sedang mengkhawatirkan aku. Bagaimana dengan Andra, Byan, Chika dan Dara? Apa mereka sudah makan?

"Kamu kenapa?" mungkin karena aku yang sedari tadi gelisah, akhirnya bu Widya bertanya.

Sebenarnya aku ingin meminjam ponsel bu Widya untuk menghubungi anak-anak dirumah tapi rasanya tak enak. Aku yakin jika seluruh biaya rumah sakit ini ditanggung mereka. Tapi aku harus menghubungi rumah. Ayah dan mama pasti khawatir.

"Emmm, anu, apa." aduh, aku benar-benar ragu. 

Bu Widya tersenyum. Menggenggam erat tanganku yang tak terpasang infus. "Bicaralah, Nak. Jika ada yang bisa saya bantu, pasti akan saya bantu."

"Begini, emm, saya mau menghubungi rumah. Orang rumah pasti khawatir sama saya, Bu."

"Astagfirullahaladzim, kenapa saya nggak kepikiran kesana. Suami kamu pasti khawatir ya."

Aku enggan menjelaskan statusku pada bu Widya. Toh itu bukan suatu hal yang perlu aku ceritakan pada orang asing. Ini aib keluargaku. Semampunya aku akan menjaga aib ini.

Bu Widya mengangsurkan ponselnya. Aku hanya menatap uluran ponsel darinya. "Pakai ponsel untuk menghubungi suami kamu. Dia pasti mengkhawatirkan kamu sekarang."

Aku mencoba menghubungi nomer ayah yang memang sudah aku hapal. Ayah meninggikan suaranya saat tahu yang menghubunginya adalah aku. Setelah aku menceritakan semuanya pada ayah, suara ayah berubah panik. Berteriak memanggil mama dan cucu-cucunya. Ayah bilang akan kerumah sakit.

°•°•°•°

Tepat jam makan siang, ayah, mama dan anak-anak ku datang. Chika dan Dara berlari memelukku sambil menangis. Menanyakan aku kemana saja. Begitu juga dengan kedua putraku. Mereka memelukku dengan erat. Terlebih lagi Andra. Dia meminta maaf karena tak tahu jika mamanya sedang diantara hidup dan mati melahirkan adiknya. Sementara dia mengira jika aku menyerah mengurus mereka. Andra merasa bersalah karena punya pikiran buruk pada ku.

Aku memahaminya. Andra merasa trauma, takut jika aku sama dengan papanya yang memilih tak peduli pada mereka. Namun, aku meyakinkan Andra jika sampai nyawa terpisah dari raga, aku tak akan meninggalkan mereka. Mereka berlima adalah nyawaku. Aku tak akan pernah meninggalkan mereka.

"Adik bayinya mana, Ma?" tanya Dara.

"Adiknya masih diruangannya, Cantik."

Bu Widya menjawab pertanyaan Dara. Sedari tadi bu Widya diam selagi aku menjelaskan pada ayah dan mama. Raut wajahnya menunjukkan jika ada yang ingin dia tanyakan tapi sepertinya dia enggan untuk bertanya.

Dara memandang penuh tanya pada ku. Putriku satu ini tipe orang yang selalu ingin tahu. Dia pasti penasaran siapa bu Widya.

"Emm, ini Bu Widya. Eeeh, em maksud Mama, nyonya Widya."

"Iiish, kenapa juga pake nyonya-nyonya segala?" wajah bu Widya nampak tak suka. Tubuhnya berjongkok dihadapan Dara, menyamakan tinggi tubuhnya dengan tubuh putri kecilku. "Hai, panggil Grandma aja ya."

"Glanda?"

"He em. Grandma."

"Iya, Glandma."

"Duh, pinternya. Mau ikut Grandma liat adik bayi?"

Kepala Dara mengangguk semangat.

"Chika juga mau ikut."

"Ayo, Grandma anter."

"Bu, jangan. Nanti merepotkan." 

Ucapanku yang berusaha mencegahnya mendapatkan pelototan dari bu Widya.

"Merepotkan apa? Mereka kan cucu saya juga. Sudah lebih baik kamu istirahat lagi." bu Widya menatap ayah dan mama. "Maaf, Pak Irwan dan Bu Nur mau ikut melihat juga?"

"Iya."

Byan mendekat. "Ma, Byan boleh ikut liat Adek?"

"Boleh." setelah mendapatkan persetujuan, Byan melangkahkan kakinya mengiringi. Pandangaku tertuju pada Andra yang masih sibuk memijat kakiku. "Loh, Bang Andra nggak ikut liat Adek?"

Kepalanya menggeleng. "Andra disini aja, jaga Mama."

Bibirku tersenyum. Haru. Rasanya baru kemarin aku mengusap wajah merahnya, menjaganya. Kini dia yanh berkata akan menjagaku.

"Mama nggak apa-apa, Sayang. Kalau Andra mau liat adek, liat aja."

Kepalanya tetap menggeleng. "Andra mau disini aja. Andra takut nanti kalau Mama butuh apa-apa nggak ada yang bantu." kepalanya menunduk. "Dulu waktu Mama melahirkan Chika dan Dara, disini ada Papa yang merawat Mama. Melayani Mama. Sekarang Papa udah ngga bisa sama-sama dengan kita lagi. Biar Andra yang menggantikan tugas Papa. Andra sudah besar. Andra bisa jaga Mama dan adik-adik."

💚💚💚

Kamis, 10 November 2022

Terluka (Perselingkuhan Suamiku)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang