Bab 6

192 50 8
                                    

Clara mengangkat tangan dan menyentuh rahang kokoh Bara. Padahal ia masih terpejam. Namun, ia bisa mengetahui persis dimana letak rahang kokoh pria itu. Ia juga bisa merasakan, Bara mengatupkan rahangnya yang disentuh olehnya. Ia tersenyum sembari membuka matanya. Ia mendapati Bara tengah menatapnya dengan kening berkerut.

Salah satu jari Clara menyentuh bibir bawah Bara yang menggoda. Ia ingin berbicara, ia sudah tak sanggup menahannya. "Bara... ciumlah aku." Ia menginginkan ini, meski terdengar sangat gila dan terlalu berani. Namun, ia tetap mengungkapkan.

Tak terjadi apa-apa, Bara tidak menciumnya. Ia pun menatap Bara dan melihat mata gelap itu seperti menahan sesuatu sama persis beberapa waktu lalu. Seperti ada sesuatu yang pria itu sembunyikan.

Bara menggeleng setelah beberapa saat terdiam. "Ini bukan ide yang bagus, kamu hanya inginkan aku sebagai pelarian atas masalah kamu saat ini."

Bara menginginkan Clara, perasaan menggila terus bergejolak beradu dengan akal warasnya. Namun, ia harus bisa menahan diri. Ia harus bisa tetap setia dan fokus pada tujuan utamanya. Ia tak boleh terbuai.

Mata Clara menyipit menatap Bara. "Apa yang terjadi?" Clara yakin, ada sesuatu yang pria itu pendam.

"Aku hanya tidak ingin melakukannya. Kamu istri dari sahabatku."

Clara menjauhkan diri dari Bara. Rasanya ia seperti terlempar dari lantai gedung paling tinggi. Ia ingin berteriak menyerukan rasa takut dan sakitnya tapi ia tak bisa melakukannya.

"Antarkan aku ke hotel terdekat."

"Tentu."

"Tidak jadi."

"Kenapa?"

"Aku tidak memiliki uang untuk membayar hotel."

Clara menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa.

"Tidak perlu khawatirkan itu. Pakailah ini," Bara mengeluarkan beberapa lembar uang dari dompetnya, "cukup untuk semalam."

"Tidak-tidak. Aku tidak bisa menerimanya."

"Kamu tidak punya pilihan. Terima atau aku antar kamu pulang."

"Lebih baik aku berhutang padamu."

Clara merebut uang yang Bara sodorkan padanya. Ia tidak mau bertemu dengan Barsel untuk saat ini. Ia butuh waktu sendiri, sebelum ia memutuskan kelanjutan hubungannya bersama Barsel.

"Mari, aku antar."

Clara tidak menolak, ia hanya mengikuti Bara tanpa banyak bicara.

Sepanjang perjalanan, Clara menatap hampa ke luar jendela mobil, lampu berkelap-kelip terlihat sangat indah. Namun, keindahan itu mengabur saat kenangan bersama Barsel muncul. Ia baru saja melarikan diri dari masalah seperti pengecut yang menyedihkan.

"Antar saja aku pulang."

Bara menaikkan sebelah alisnya, ia hampir tak yakin tapi Clara mengulangi ucapannya__wanita itu ingin pulang__entah mengapa, ia merasa sedikit tak suka tapi bukankah ini yang terbaik? Ia menginginkan sesuatu yang rumit, ia ingin melihat Barsel kesakitan lebih lama.

Mobil Bara menepi di luar gedung apartemen dan Clara segera turun setelah mengucapkan terima kasih terlebih dahulu tapi langkahnya tertahan saat mendengar Bara memanggilnya.

"Aku menawarkan diri jika kamu membutuhkan sesuatu."

"Secara cuma-cuma?"

Bara mengangguk dan menatap Clara membuat jantung Clara yang tadinya sudah merasa normal kini berdetak kencang lagi.

"Apa kamu tidak mempercayaiku?"

Clara tak tahu, apa yang bisa ia percayai dari seorang pria. Apalagi setelah kisah cinta dan rumah tangganya yang kini berantakan dalam sekejap mata. Terlalu percaya pada Barsel sampai ia tak pernah menyelidiki tentang pria itu dan kini ia menyesalinya.

"Clara!"

Clara mundur beberapa langkah, ia ingin masuk kembali ke mobil tapi Bara menguncinya.

"Buka pintunya!"

Clara berusaha untuk membuka pintu mobil tapi Bara tetap tidak membukanya. Lalu, bagaimana bisa ia percaya pada pria yang baru saja menanyakan tentang kepercayaan padanya?

"Clara, aku minta maaf."

Barsel meraih tangan Clara kemudian memeluknya erat. Ia menyesal karena telah tersulut emosi dan kasar pada Clara.

Awalnya Barsel panik mencari Clara namun ia merasa lega saat Bara mengatakan Clara tengah bersamanya dan akan mengantarkan Clara pulang.

"Lepaskan aku!"

Clara terus meronta-ronta dalam pelukan Barsel. Namun, pelukan itu cukup erat sehingga ia kesulitan untuk melepaskan diri.

Bara turun dari mobil setelah memastikan Clara tidak bisa melarikan diri dari dekapan Barsel.

"Aku berharap, masalah kalian cepat selesai."

"Terima kasih, Kawan. Sungguh aku berhutang sangat banyak padamu."

"Kita berteman, kamu tidak memiliki hutang apapun__kecuali nyawamu__sungguh, aku tulus membantumu."

"Sekali lagi, terima kasih. Aku pamit membawa Clara masuk, supaya dia bisa istirahat."

"Tentu."

Bara mengangguk sembari tersenyum tipis sedangkan Clara, ia merasa sangat lelah tapi ia masih bisa melihat wajah Bara yang muram meski bibir pria itu tersenyum tipis, membuat Clara penasaran, apa yang terjadi pada pria itu.

Seharusnya Clara tak perlu repot apalagi penasaran dengan hal remeh seperti ini. Ia sudah menikah, meski pernikahannya tak baik-baik saja tapi hatinya kali ini, lebih tak baik karena ada Bara yang menempatinya saat ini. Ia jatuh cinta pada pandangan kedua dengan pria itu.

Kesimpulan ini terlalu cepat tapi Clara sangat meyakini bahwa ia memang jatuh cinta. Tanpa melakukan apapun, pria itu mampu memporak-porandakan hati, pertahanan, dan rasa malunya. Rela menyerahkan diri tanpa pria itu memintanya. Sungguh memalukan tapi ia tak menyesalinya. Bahkan, ia berharap semua bisa menjadi kenyataan suatu hari nanti. Percintaan yang panas dan gila. Lalu mereka bisa habiskan sisa waktu bersama hingga menua.

Bara's Revenge Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang