#8 : Obsesi

56 29 18
                                    

Hati-hati dalam berbicara, karena ucapan seseorang dapat merubah sikap orang lain.

(Anonim)

_____

"Ra lu hobi banget ya baca?" Tanya Arga pada Adira yang saat ini fokus dengan buku yang ia baca. Kini, mereka sedang berada di taman sekolah menikmati waktu istirahat dengan snack dan minuman dingin untuk mengganjal perut yang keroncongan.

"Iya," jawab Adira singkat. Tidak sedikitpun berpaling dari bukunya.

"Jadi gue ganggu nih?" Tanyanya lagi memastikan. Mulutnya penuh dengan makanan ringan.

"Siang tadi bilang mau istirahat bareng kan? Ini udah bareng." Adira menutup buku, menutup matanya dan menghirup udara dalam-dalam lalu menghembuskan perlahan.

"Capek ya?"

"Hidup itu emang tempatnya capek Ar," jawab Adira, membuka matanya dan memandangi langit yang cerah.

"Aku iri sama awan," celetuk Adira masih memandang indahnya langit yang biru dengan awan-awan putih yang menambah kecantikan.

Arga ikut mengalihkan pandangannya ke langit. "Kok iri?"

"Karena awan bisa bebas dan tenang. Aku hanya ingin seperti awan, bebas dan tenang," jawab Adira dengan raut wajah sendu.

"Tanpa lu sadari, ada juga yang iri sama lu." Arga memalingkan wajahnya ke Adira yang masih menghadap ke atas.

"Apa yang harus aku banggain? Kecantikan? Kepintaran? Itu semua cuman titipan dan kapan saja Tuhan bisa merebut yang aku punya sekarang ini." Jawaban tak terduga dari Adira membuat Arga tertegun sejenak.

"Tapi Tuhan jahat, mengambil orang-orang yang aku sayang. Kenapa aku belum dipanggil sama Tuhan? Padahal aku sangat menantikannya. Aku ingin bertemu dengan nenek," kata Adira. Raut wajahnya menyiratkan pilu yang mendalam. Mencoba untuk terus melangkah sekalipun ia harus tertatih-tatih. Menunggu sang pencipta memanggil dirinya.

"Tuhan baik, lu di posisi sekarang ini karena Tuhan yakin kalo lu bisa ngelewatin semuanya Ra. Gimanapun juga lu harus tetap mengikuti alurnya."

"Ar jika ada kehidupan setelah ini kamu ingin jadi apa?" Tanya Adira menatap intens laki-laki yang ada di sampingnya itu.

Arga berfikir sejenak. "Aku ingin tetap hidup dan jagain Bunda, aku ingin selalu jadi pelindung Bunda."

"Kalo kamu?" Tanya Arga balik.

"Aku memilih tidak dilahirkan. Dunia ini terlalu kejam, mengharuskan kita untuk tetap kuat dan terus melangkah."

"Lu cuman belum berdamai sama masa lalu Ra, lupain hal yang bikin lu down. Jadi lu nggak akan beranggapan begitu," ujar Arga.

Adira menggeleng, jika diteruskan Arga tidak akan mengerti karena ia tidak diposisi Adira.

"Tanpa adanya masa lalu nggak akan ada masa kini. Masa lalu bukan untuk dilupakan tetapi dijadikan pembelajaran." Setelah mengatakan itu, Adira bangkit dari duduknya dan membawa bukunya.

"Aku masuk dulu ya, udah mulai panas." Pamit Adira, tanpa menunggu jawaban dari Arga ia langsung pergi meninggalkan Arga dan menuju kelasnya.

"Yahh kebiasaan ditinggal terus dah." Monolognya, memanyunkan bibirnya.

"Apa tadi gue salah ngomong ya?" Arga membuka minuman dingin lalu meneguknya. Terasa menyegarkan.

"Woi Arga," sapa seseorang melambaikan tangannya tersenyum lebar pada Arga lalu duduk di depannya.

"Dari mana aja lu Ko?" Tanya Arga pada Niko yang sedang membuka minuman dingin milik Adira yang masih tertutup rapat.

Niko meneguk sampai habis. "Abis dipanggil sama wali kelas."

"Aelah kebiasaan main serobot aje, minumnya Adira itu." Tunjuk Arga melototi Niko yang cengar-cengir.

"Ehh hehe daripada mubazir kan ya mending gue minum. Abis deeptalk ya lu?" Tebak Niko.

"Kepo lu kaya Dora."

"Lebih keras, lebih keras." Niko malah menirukan suara Dora.

"Haha mirip." Tawa Arga, teman satunya ini memang konyol dan receh sama seperti dirinya.

"Haha iya dong, gue gitu."

^•^

Hari sudah gelap, Adira merebahkan tubuhnya di kasur. Bukannya beristirahat sejenak, ia justru bangkit lagi dan menuju meja belajarnya dan membuka buku paket matematika.

Mempelajari pembahasan yang sebelumnya guru terangkan. Obsesinya dengan nilai membuatnya harus menuntut dirinya sendiri supaya selalu mendapatkan nilai yang sempurna.

Tak ada yang tahu akan hal ini, semuanya mengira jika Adira hanyalah gadis cantik yang mempunyai kepintaran.

Selang beberapa menit ketika ia masih berjibaku dengan buku. Darah mengalir keluar dari lubang hidungnya. Ia segera menyumpalnya dengan tisu.

Adira menatap bingkai kecil yang terdapat foto dirinya dengan Ibu dan Ayahnya semasa masih duduk di bangku kelas tiga sekolah dasar.

Ia memejamkan matanya dan membiarkan ingatan masa kecilnya berputar.

"Mama lihat deh hasil ulangan Adira, aku dapat seratus." Anak kecil yang tak lain Adira menyodorkan kertas hasil ulangannya kepada Bunga---Ibunya dengan senyum lebar.

Bunga menatap malas Adira dan berdecak.
"Kamu ini ya ganggu saya aja sana kamu," usir Bunga membuat senyuman Adira luntur dan pergi.

"Nggak apa-apa mungkin Papah mau lihat hasil ulangan aku." Ia menghibur dirinya sendiri dan menuju ruangan kerja Ayahnya.

Tok tok...

Adira membuka knop pintu dan menyembul dibalik pintu, ia mendapati sang Ayah sedang fokus dengan laptopnya.

Adira berjalan mendekati Ayahnya dan tersenyum lebar menampakkan gigi putihnya.

"Pah, Adira dapat nilai seratus loh di ulangan harian hari ini." Ia menyodorkan kertas hasil ulangan.

Bram---Ayahnya itu tidak mengalihkan pandangannya pada laptop yang ada di depannya.

"Baru dapat nilai seratus aja pamer, itu emang kewajiban kamu sebagai pelajar supaya tidak malu-maluin keluarga," sarkas Bram kasar.

"Jangan ganggu Papah, sana ke kamar kamu." Usir Bram, Adira membalikkan badannya dan berjalan menuju kamarnya.

Kamar tempatnya berkeluh-kesah dan menangis mendekap erat tubuhnya sendiri. Adira terisak di kamar yang didominasi chat ungu itu.

"Hikss...kenapa...Papah hikss...sama Mama hikss...nggak sedikitpun hikss...peduli sama aku hikss." Tangisnya pecah meremas kertas ulangannya. Harapan Adira Ibu dan Ayahnya akan senang dan bangga, namun nihil. Berbanding terbalik dengan realitanya. Ia di usir dan hanya dianggap sebagai pengganggu.

Ia tidak dilukai oleh seseorang, ia hanya terlukai oleh harapannya sendiri.

Adira membuang nafas panjang. Masa kecilnya menyeramkan dan ia tidak ingin kembali menjadi Adira yang lemah.

Adira yang sekarang berbanding terbalik dengan dulu, terbukti ucapan seseorang dapat merubah perilakunya. Adira kecil selalu menebar senyum kepada semua orang, namun sekarang justru expresi datar yang ia tunjukkan di publik.

Adira melepas tisu yang menyumpal di hidungnya. Lalu menuju tempat tidurnya, merebahkan tubuhnya di kasur yang empuk dan memejamkan matanya. Berharap tidak ada hari esok, ia merindukan sang Nenek yang selalu menemaninya dikala ia menangis.


.
.
.
.
.

Update : 10 November 2022

Follow and coment jnlupa yups. Jika ada kesalahan dalam penulisan tolong koreksinya ya, terimakasih.

Aku dan Semesta✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang