Just A Wish

132 24 2
                                    

"Butuh bantuan?"

Natasha mengerjap sesaat begitu mendengar suara yang tiba-tiba datang tanpa diketahui asalnya. Ia menolehkan kepalanya ke kanan dan menemukan Ivon, teman sekelasnya waktu di kelas sepuluh, sedang mengamati dirinya yang kesusahan mengambil sebuah buku di rak perpustakaan yang paling atas.

"Astaga, kau mengagetkanku saja!" omel Natasha kemudian.

Ia mendongak, seraya menunjuk buku yang dimaksud.

"Tolong," pintanya sedikit memohon.

Ivon melangkah mendekat, membuat Natasha mundur selangkah untuk memberikan ruang. Cowok itu mengambil buku yang tadi ia tunjuk, lalu memberikannya langsung kepada Natasha.

"Tugas ekonomi dari Bu Indah, kan?" tanya Ivon berikutnya.

Natasha mengangguk cepat lalu kedua matanya melebar.

"Kau sudah mengerjakannya?" tanya Natasha penuh harap. Karena Natasha lemah di pelajaran ekonomi, ia berharap Ivon bisa membantunya belajar.

Cowok yang ada di hadapannya itu mengangguk ragu, lalu menjawab, "Sudah, tapi penilaiannya masih nanti siang."

Natasha mengangguk-angguk paham. Gadis itu sedikit mencengkeram buku yang ia bawa, menggerakkan kedua matanya ke arah lain. Ia sedang berpikir.

Sebenarnya ia ingin mengutarakan niatnya untuk belajar bersama cowok itu tapi takut akan mengganggu.

"Aku bisa mengajarimu jika kau mau," tawar Ivon seakan bisa memahami sikap Natasha yang tampak ragu.

"Von, sepertinya kemampuan telepati kita masih aktif, ya?"

Alih-alih berterima kasih atau mengangguk setuju, Natasha malah mengungkit kenangannya bersama Ivon saat masih berada di kelas sepuluh.

Keduanya pernah berada di kelompok yang sama waktu melakukan tebak kata. Waktu itu Ivon yang menebak sementara Natasha yang mengatakan "benar" atau "salah". Hebatnya, tak butuh waktu lama semua tebakan bisa dijawab dengan benar oleh Ivon. Bahkan di soal terakhir, Ivon langsung menebak dengan benar hanya setelah berpandangan sejenak dengan Natasha.

Karena itulah Natasha selalu berpikir bahwa ia dan Ivon mempunyai ikatan telepati yang kuat.

"Mungkin. Tapi sepertinya kita harus bergegas, Nat. Karena lima belas menit lagi bel masuk akan berbunyi."

Natasha mengangguk cepat.
Gadis itu langsung mengekori Ivon, mencari tempat kosong.

Tak lama kemudian, keduanya sudah larut dalam diskusi, hingga tak ada satupun dari mereka yang menyadari bahwa ada seseorang yang sedang tersenyum puas melihat keduanya kembali bersama.

***

Setelah bel masuk berbunyi, cepat-cepat Natasha kembali ke ruang kelasnya. Namun mendadak langkah kakinya terhenti tepat setelah melewati pintu kelas. Sekitar lima meter dari tempatnya berdiri, dilihatnya dua sosok yang sangat tidak asing baginya sedang asyik berbicara.

Mereka tampak sangat akrab dan siapa pun yang melihatnya pasti akan menyimpulkan bahwa keduanya mempunyai hubungan istimewa.

Natasha masih terpaku di tempatnya, menyelami perasaan aneh yang tiba-tiba bergemuruh di dalam hati.

Di satu sisi, ia ingin memperjuangkan perasaannya. Tapi di sisi yang lain, ia tidak ingin kehilangan Raina sebagai sahabatnya.

Bukankah dalam percintaan, memang  harus ada yang dikorbankan?

Hal pertama yang muncul dalam pikiran Natasha adalah ia harus bersikap sewajarnya. Jadi yang ia lakukan adalah menghirup udara di sekitarnya sebanyak mungkin yang ia bisa dan menghembuskannya perlahan. Gadis itu mengangguk tanpa sadar dan melanjutkan langkah kakinya yang tadi sempat terhenti.

"Nat?"

Suara Raina yang baru saja memanggil berhasil menggagalkan niatnya untuk kembali melangkah. Ia membalikkan badan dan menatap sang pemilik suara itu dengan sebelah alis terangkat.

"Nanti, di kantin sekolah. Ada banyak hal yang ingin kuceritakan kepadamu." Terang Raina dengan senyum sehangat matahari di siang hari yang dingin ini.

Natasha hanya mengangguk. Entah mengapa ia merasa malas untuk duduk di bangkunya sendiri yang saat ini sedang ditempati Jason.

Gadis itu juga sempat melirik sesaat ke arah Jason sesaat, dan menemukan Jason juga sedang memandangnya dengan tatapan tak terbaca.

***

"Lagu baru?" tanya Jason setelah mengamati Natasha yang sedang bersenandung kecil dengan kedua telinga terpasang headset.

Tanpa permisi ia langsung menduduki bangku di sebelah Natasha - bangku milik Raina. Tampak Natasha terkejut karena kedua mata gadis itu membulat, namun berikutnya memberikan respon dengan menganggukkan kepala cepat.

Cowok itu kembali tersenyum begitu melihat Natasha melepas salah satu headset yang bertengger di telinga lalu memberikan benda itu kepadanya.

Tanpa ragu Jason menerima headset itu dan langsung memasangnya di telinga kiri.

Natasha kembali fokus mengerjakan tugas, sementara Jason fokus pada ponsel. Cowok itu sesekali melirik Natasha yang terlihat tenang menulis catatan sembari bersenandung kecil.

Ada sedikit rasa asing yang sedang ia rasakan saat ini.

Di sini, bersama Natasha di sampingnya, di tengah keributan suasana kelas yang hingar-bingar, ia merasa nyaman.

Nyaman dan tenang.

Dalam perdebatan batin yang belum terselesaikan, Jason kembali disadarkan oleh suara seorang teman dekatnya yang mengajaknya ke lapangan futsal. Ia pun berdiri dan berjalan mengikuti temannya tadi yang terlebih dahulu telah berjalan meninggalkan kelas.

"Jason! Fighting!"

Tahu-tahu Raina sedang menghadangnya tepat sebelum Jason menuruni tangga. Gadis itu menyunggingkan senyum manisnya, membuat Jason ikut tersenyum dan mengangguk singkat.

Sembari menuruni tangga, sebuah kalimat muncul di pikiran Jason.

Kalimat di lirik lagu yang baru saja ia dengarkan bersama Natasha.

"Tentang cinta dan pengorbanan, seberapa besar pengorbananmu atas nama cinta?"

Sebuah pertanyaan yang cocok untuk ditujukan kepada sepasang sahabat yang diam-diam sedang berjuang untuk mendapatkan perhatian darinya.

○○○○ {bersambung} ○○○○

.

.

.

.

*
jadi sebenarnya,
Jason menyukai siapa?

.


.

**

Sampai jumpa minggu depan ~

ShadowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang