Seperti yang Abang katakan, kalau tengah malam ini Mbah akan mengantarkan kami menuju jalan pulang. Saya hanya sempat tidur sebentar, dan terbangun saat Mbah mengetuk pintu kamar.
Saya terbangun, mengusap mata sebentar, lalu membuka pintu. Dan Mbah berdiri untuk menunggu saya disana."Sudah siap?" tanya Mbah, amat ramah dan hangat.
Saya menelan ludah. Saya tahu, inilah saatnya.
"Sudah, Mbah. Saya siap-siap sebentar," jawab saya pelan.
Mbah tersenyum. Dengan tangannya yang renta, dia menepuk pundak saya sekali, seolah tahu kalau saya baru saja melewati malam yang sulit.
"Mbah tunggu di depan ya," pesan Mbah kemudian.
Saya mengangguk, lalu masuk lagi ke dalam kamar.Saya bersiap-siap, memakai lagi pakaian saya dengan lengkap. Saya pakai lagi jaket tebal milik saya, yang warnanya sudah mulai kusam karna debu. Sepatu gunung yang seumur-umur baru pertama kali saya beli, serta tas carrier yang saya dapatkan sebagai hadiah dari Mamah.
Saya mengemas semuanya, sambil memperhatikan keadaan sekeliling kamar yang saya tempati untuk semalam itu. Saya tersenyum kecil. Kuasa Tuhan lah yang sudah memberikan saya kesempatan untuk mengetahui kehidupan yang ada di dimensi lain. Kesempatan yang tidak banyak orang dapatkan, tapi saya tetap berharap untuk bisa kembali pulang. Semua yang saya alami, baik buruknya, indah seramnya, tangis tawanya, akan selalu saya kenang sebagai puzzle yang berhasil saya susun jika nantinya saya berhasil untuk pulang.
Haru itu kembali membuat mata saya berkaca-kaca. Nafas panjang saya tarik, menghirup sekali lagi aroma wangi yang berasal dari sudut ruangan. Aroma yang memanjakan indera penciuman, yang juga akan selalu saya ingat selamanya.Setelah selesai beberes, saya pun keluar dari kamar. Kemudian sepasang suami istri pemilik rumah itu, terbang dari ruangan tengah menuju ke arah saya. Mereka sama-sama tersenyum, wajah mereka nampak bangga pada saya yang mereka tatap. Sangat ramah. Mereka sangatlah ramah. Saya tidak akan melupakan kebaikan mereka, dan saya akan selalu mengiringi eksistensi mereka dengan doa.
Si istri itu melihat ke arah saya, banyak yang ingin saya katakan, meski pada akhirnya hanya ucapan terimakasih lah yang pantas untuk mewakili segalanya.
"Terimakasih banyak, ya," ucap saya padanya.
Sang istri itu mengangguk, kedua tangannya bertumpu di atas perut. Sikapnya sangat sopan dan beradab.
"Semoga kamu selamat, Allah melindungi mu," balasnya tulus.Selesai bicara, dia pun mengantarkan saya sampai ke teras depan. Di halaman, Mbah sudah menunggu saya bersama Abang, dan tentunya Kawi juga. Jujur, malam itu saat melihat Abang, pandangan saya kepadanya sudah berbeda. Apa yang saya rasakan sudah tidak bisa sama. Saya gugup, cenderung salah tingkah. Setelah pengakuannya tadi malam, semuanya berubah. Sulit untuk kembali memandangnya sebagai seorang sepupu, karena mulai malam itu saya hanya bisa memandangnya sebagai seorang wanita kepada seorang pria.
Jika kalian paham makna tersirat dari kalimat saya, maka kalian akan tahu apa yang saya rasakan padanya.Saat itu, melihat Abang berdiri tegap, berpakaian lengkap dengan jaket dan kemejanya, membuat saya mengerti kenapa dulu teman-teman saya banyak yang ingin dekat dengannya.
Selain ke sholehan nya, Abang memang tumbuh sebagai pria yang tampan. Cara bicaranya sopan dan ramah. Senyum tak pernah lepas dari wajahnya, membuat siapapun yang ada di dekatnya merasa nyaman.
Abang, bertahun-tahun berlalu, saya baru sadar betapa saya menyia-nyiakan banyak waktu untuk mengabaikan apa yang saya rasakan.Ketika saya berdiri di ujung teras, Abang melihat ke arah saya. Matanya yang bulat dengan bulu mata yang lentik, membuat jantung saya berdegup kencang. Untuk pertama kalinya, saya kehilangan kekuatan untuk membalas tatapan Abang.
Karena merasa salah tingkah dengan tatapan Abang, pandangan pun saya alihkan pada Kawi. Melihat harimau putih nan gagah itu, saya teringat akan sesuatu. Saya pun meminta izin pada Mbah, untuk bisa mengelus dan bicara pada Kawi.
KAMU SEDANG MEMBACA
SUNYA LIRIS
Misteri / ThrillerTak akan pernah terlupakan. Tak akan. Tahun-tahun berlalu, senja ribuan kali berganti, tapi rasanya masih seperti kemarin. Tentang perjalanan empat anak manusia yang mendaki gunung untuk mendapatkan kesenangan, tapi justru berakhir dengan kesedihan...