Kana langsung membereskan kamar Uwak Ita yang berantakan. Dia bersihkan juga darah yang berceceran di atas lantai kamar, darah dari lengan Raka yang disayatnya. Untungnya tidak begitu banyak, hanya berupa titik-titik saja.Setelah kamar rapi dan beres, Kana terduduk lesu di sudut kamar dengan memeluk dua lututnya. Kana terus berusaha menenangkan diri. Kana pasrah seandainya Raka memutarbalikkan fakta bahwa dia yang memulai dan memaksa Raka karena ketampanannya. Kana siap diusir dari rumah, seandainya fitnah itu membuatnya dibenci Mama dan kakaknya, bahkan uwaknya sekalipun. Toh, tidak ada guna membela diri karena pasti mereka tidak akan mempercayainya. Lagi pula dia juga akan bekerja jauh di Jakarta.
Kana tatap tas besarnya dengan tatapan nanar. Dadanya tidak sesak lagi karena tangisan. Pipinya sudah kering dari air mata. Kana siap pergi.
Kana tersentak, pintu kamar Uwak Ita dibuka paksa dari luar.
Kana tidak beranjak sedikitpun dari duduknya saat mamanya berdiri pongah di depannya. Dari raut bengis mamanya Kana sudah tahu apa yang telah terjadi di luar sana. Sementara Uwak Ita berdiri di belakang mamanya. Dia terlihat bingung dengan keadaan.
"Kamu pergi dari rumah ini besok. Dan jangan pernah kembali lagi. Sudah sedari dulu Mama tau bahwa kamu selalu iri dengan keberuntungan kakakmu. Kamu buruk rupa, buruk pula kelakuan. Itu adalah alasan Mama yang tidak pernah bisa suka sama kamu. Pergi saja kamu, biar kamu tau akibat iri dengkimu itu. Tidak ada ruang di sini buat penggoda suami orang!"
Asih tampak jijik dengan anaknya, anak yang lahir dari rahimnya.
"Seandainya Mama bisa memutar waktu, Mama nggak mau kamu lahir dan tumbuh besar ke dunia ini seperti ini. Bikin malu. Nggak tau diri. Nggak bercermin!"
Kelopak mata Kana memanas. Namun dia terus berusaha menahan air mata agar tidak tumpah. Kana balas tatapan bengis mamanya seberani mungkin. Bibirnya gemetar menahan amarah luar biasa. Bukan amarah kepada mamanya yang telah melahirkan dan membesarkannya. Tapi amarah yang terpendam terhadap Raka, suami Yuna.
Asih dengan cepat berbalik menuju pintu kamar dan ke luar dari kamar Uwak Ita. Asih benar-benar tidak mau lagi melihat Kana.
Sementara itu Uwak Ita hanya bisa memandang kepergian Asih dari kamarnya dengan perasaan kacau. Dia lalu duduk di atas dipan, seraya menatap Kana yang masih terduduk di sudut kamar.
Kana memilih diam dan tidak mau membela diri sedikitpun.
Dia raih tas besarnya dan mendekapnya.
Beberapa saat kemudian, barulah dia berujar, "Aku akan pergi besok, Uwak. Jangan khawatir ... aku numpang semalam lagi di kamar ini. Maaf, jika kamar ini ternoda...." Kana masih mengingat Raka menindih tubuhnya di atas dipan Uwak Ita. Masih jelas di ingatannya kilat mata dan senyum seringai Raka beberapa saat yang lalu. Kana memilih tidak menceritakannya.
Kana lalu memperbaiki posisi rebahnya dan meletakkan kepala di atas tasnya. Kana tidak membentangkan kasur tipis seperti biasanya malam ini. Dia memilih tidur meringkuk saja.
Kana pejamkan matanya.
"Yuna menangis. Dia cerita bahwa kamu memaksa Raka masuk ke kamar ini. Kamu memeluk Raka dan menciumnya. Raka berontak dan kamu menyayatnya dengan pisau...."
Uwak Ita tatap Kana yang meringkuk di sudut kamar. Dia jadi ingat suatu pagi saat Raka memergoki Kana yang duduk di dapur tengah menunggu giliran mandi. Mata Raka berkilat tajam menatap sekujur tubuh Kana.
"Aku kira Uwak yang mengetuk pintu. Ternyata dia. Dia langsung memeluk dan menindihku. Aku berontak, lalu dia mengancamku dengan pisau. Aku rebut pisau dan berbalik mengancamnya. Tapi dia masih saja ingin menyerangku ... aku tidak punya pilihan lain selain melukainya...."
KAMU SEDANG MEMBACA
KANA
Romance"Saya suka kamu, Kana. Saya ingin mengenal kamu lebih dekat." Bisma berujar tanpa basa basi. Kana tersenyum kecut. "Nggak salah, Pak?" "Apanya yang salah?" "Maksud, Bapak ... Bapak menyukai saya sebagai apa? Apa karena saya bisa mengasuh anak-anak B...