DÉJÀ VU ㅡA storyline by. Jeonㅡ

22 5 14
                                    

Ular besi itu melaju dengan kencang di atas relnya, membelah jalanan beberapa kota sepanjang ratusan kilometer. Di dalam, berkumpul ratusan orang dari segala usia. Mulai dari bayi, hingga kakek-nenek.

Setiap gerbong terlihat sesak, pun dengan bangku-bangku yang terlihat penuh, tidak melihat jumlah kapasitas orang yang seharusnya duduk. Entah siapa yang paling berhak duduk, karena semua orang mengatakan bahwa mereka memiliki karcis.

Ya, seperti itulah keadaan di dalam Kereta Api Ekonomi Indonesia, menempati tempat semaunya, padahal belum tentu mereka memiliki karcis duduk. Jika ditegur, mereka justru lebih marah walau jelas salah.

Kasihan negara ini, warga negaranya sulit diatur. Sepertinya Pemerintah harus bisa lebih bekerja keras dan tegas untuk memperbaiki segala sistem dan peraturan yang ada.

"Ahh! Mama...."

Seluruh pasang mata sekitar memandang mendengar jeritan gadis kecil sekitar 5 tahunan yang duduk di pangkuan sang Ibu, menangis setelah seseorang menumpahkan air panas ke tangan kiri dan kaki anak itu.

"Ya Tuhan, anakku. Sakit, Nak?" sang Ibu langsung mengusap lengan anaknya yang mulai memerah sebelum matanya beralih ke pelaku, "Ibu bagaimana sih, sudah tahu kereta penuh malah nuang air panas."

"Namanya juga kendaraan umum, Bu. Saya juga biasa jualan begini, hal kayak gini biasa terjadi." Balas si pelaku yang merupakan penjual kopi keliling.

"Bukannya minta maaf malah balik marah kamu!" Cecar Ibu muda dari gadis kecil itu.

"Nggak usah sok lah, Bu, sama-sama penumpang kendaraan sejuta umat aja!"

Jika saja tangan Ibu muda itu tidak ditahan oleh seseorang yang duduk di dekat jendela, mungkin sebuah pukulan sudah berhasil dilayangkannya kepada Ibu penjual kopi itu.

"Sudah, biarkan aja. Ini, coba anaknya dikompres dulu sebentar." Seorang wanita dengan setelan pakaian berwarna ungu muda memberikan handuk kecil yang sudah dibasahi dengan air pada Ibu yang duduk di pinggir itu.

"Terima kasih, Mbak." Ucapnya, lalu wanita itu tersenyum teduh.

"Seharusnya lukanya dialiri air keran beberapa menit, tapi karena kondisi yang tidak memungkinkan, hanya pakai ini juga nggak apa-apa." Kata wanita itu.

"Nggak apa-apa, Mbak. Seenggaknya ada pertolongan pertama dulu, supaya meminimalisir lukanya. Terima kasih banyak."

"Iya, sama-sama."

Gadis kecil yang tangannya tersiram air panas itu masih menangis. Kulit mulus nan putih itu mulai nampak melepuh. Sementara itu, Ibunya masih bingung harus apa. Tidak ada obat, perjalanan juga masih panjang.

Sejam sudah berlalu, gadis itu mulai diam dengan keringat membasahi wajah dan lehernya. Memang, cuaca hari ini cukup terik. Sementara orang di dalam kereta banyaknya bukan main sehingga udara terasa semakin panas.

"Mama, sakit...." Ringis gadis kecil itu.

"Iya, sayang. Nanti kalau sudah sampai kita obati, ya?"

Gadis itu mengangguk, kemudian meletakkan kepalanya di bahu sang Ibu. Gadis yang duduk di pangkuan sang Ibuㅡmirip seperti bayi koala, sesekali sesenggukan. Ia menahan sakit dan perih di tangannya.

Kemudian, seorang anak laki-laki sebayanya yang duduk di pangkuan wanita berpakaian ungu itu mengulurkan sebuah permen lolipop berwarna-warni, membuat si gadis kecil mengernyit.

Anak itu tidak berkata apa-apa, ia masih terus mengulurkan tangannya agar permen itu diterima gadis kecil tersebut. Hingga beberapa saat kemudian, sang Ibu menyadari itu.

[Cerpen] DejaVu - A story by @forestyounTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang