22 | Trauma

124 4 0
                                    

"Iya nanti gue makan, Tha."

Antha baru saja meletakkan semangkuk mie kuah hangat di meja, tetapi Naro malah berjalan cepat ke suatu ruangan. Di sana ia membaca pesan yang baru masuk.

Betrand :
Sudah hampir seminggu Pak Razel nggak masuk
Kantor jadi kacau

Mungkin Darmawan sudah ketahuan. Namun, Naro masih punya satu lagi mata-mata yang belum Razel curiga. Selama ini Naro tidak bodoh dengan hanya mengirim satu mata-mata saja ke kantor Dewanta Grup.

Naro :
Udah hampir seminggu?
Kenapa kamu baru bilang

Betrand :
Saya nunggu momen yang tepat
Denger-denger Pak Razel sempat masuk rumah sakit
Tapi saya belum tahu informasinya lagi

Naro sejenak terdiam. Selang beberapa saat kemudian, ia mengirimkan pesan kembali pada suruhannya.

Naro :
Kasih tahu saya secepatnya kalau kamu dapat kabar lagi tentang situasi kantor.

Tidak perlu menunggu pesan balasan, Naro menjauhkan ponsel dari telingannya dan berjalan dingin untuk kembali menemui Antha.

Antha masih ada di ruang istirahat. Pemuda itu tersenyum hangat. "Kak, buruan. Keburu dingin," kata Antha.

Naro berusaha hangat semenjak di sisi Antha. Ia membalas senyum Antha tak kalah hangat sebelum kemudian menyantap makanan yang baru dibuatkan adik angkat kesayangannya.

***

Dari siang sampai malam, Ralissa tak membalas dan tak mengangkat telepon darinya, apalagi Anres juga tak bisa dihubungi. Naro merasa cemas, takut terjadi yang tidak-tidak. Sejak tadi jantungnya berdebar-debar tak karuan.

"Belum bisa, Kak?" tanya Antha di sela membuat mokaccino.

Sebelumnya, Antha cukup memerhatikan kegiatan Naro dari siang hingga malam di sela melayani pengunjung. Jadi, Antha sudah tahu semua. Naro pun menjawab jujur pertanyaan Antha. "Belum."

"Mungkin toko Kak Ralissa lagi ada banyak pesanan. Anres mungkin juga di sana, Kak."

Mungkin. Namun, Naro tidak bisa percaya seutuhnya.

"Lo, gue tinggal bentar, ya," putus Naro. Ia membalikkan badan lantas matanya bergulir mencari salah satu karyawan.

"Des, lo gantiin Antha, ya!" seru Naro.

"Kak gak usah. Aku masih-"

"Lo adek gue, bukan karyawan gue," tegas Naro sebelum berlalu dari hadapan Antha.

Di luar, Naro langsung memasuki mobilnya. Ada ragu saat ia baru menduduki mobil itu. Ia teringat kejadian waktu lalu. Di mana ia bertemu geng yang pernah membuatnya nyaris mati.

Mereka telah membuat jantungnya kembali nyaris berhenti berdetak. Mobil kesayangannya pun rusak parah dan masuk bengkel karena ulah mereka.

Naro menarik napas lantas membuangnya dengan mata memejam. Ia harus yakin bisa menyusuri jalan tanpa bertemu geng itu.

Jakarta ini luas. Apalagi ia memakai mobil miliknya yang lain. Ia bisa menutup kaca mobil serapat-rapatnya agar tak terlihat.

Ya, Naro yakin akan aman.

***

"Kak Ralissa nggak ada, Kak."

Naro berdiri tegap di ujung pintu masuk toko. Senyumnya yang terukir di bibirnya meredup setelah mendengar penjelasan dari salah satu karyawan toko bunga Ralissa. "Oh, gak ada. Yaudah, gue balik, ya."

Naro memaksa senyum sebelum perlahan-lahan mundur. Wajahnya kembali redup saat melangkah menuju mobil.

Naro memasuki mobilnya. Tidak langsung meninggalkan tempat, lelaki itu malah termenung keras di jok kemudi. Ke mana Ralissa? Kenapa suka sekali hilang-hilangan?

Naro sungguh-sungguh tak mengerti.

Getar dari jok penumpang mengakhiri pertanyaan-pertanyaan yang membuatnya berpikir keras. Ia mengambil ponsel, membaca pesan yang masuk.

Antha :
Kak jangan pulang malam-malam
Aku khawatir

Sepertinya Antha trauma setelah kapan lalu melihat ia pulang dengan lebam di wajah dan memar di perut.

"Gue pulang aja deh," ucap Naro lelah.

Naro tak lupa membalas pesan Antha dengan simbol oke. Tak lama setelah itu, ia langsung tancap gas dari toko bunga Ralissa lantas kembali ke coffie shop-nya.

***

FOREVER RTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang