"Jadi kamu berencana untuk bangun klinik baru?" Tanya papa Budiatma pada putranya.
Barra menganggukkan kepala. "Iya, Pa. Kemarin aku sama Ryan juga udah cek lokasinya."
"Jauh dari lokasi klinik kamu yang sekarang?"
"Lima belas menit dari yang sekarang."
Papa Budiatma menganggukkan kepala paham. Sebagai orang tua, apapun yang akan dilakukan putranya—jika memang itu baik—ia pasti akan mendukung. Contohnya seperti Barra yang akan membangun klinik baru. Tentu saja ia merasa bangga dengan putranya karena kliniknya dapat dikatakan berhasil dan semakin banyak dikenal oleh orang. Bahkan jika memang terus seperti ini, papa Budiatma yakin akan ada cabang pertama untuk klinik gigi Barra dan Ryan.
Kedua pria itu memang sudah memikirkan hal ini sejak lama. Mereka ingin pindah, mencari lokasi baru yang lebih luas. Akhirnya setelah beberapa bulan, mereka menemukan lokasi yang cocok untuk klinik baru mereka. Nantinya mereka akan membangun klinik mereka di sana. Family dental clinic akan pindah ke lokasi yang baru. Klinik yang pastinya lebih luas daripada klinik mereka saat ini. Dan tentunya keinginan mereka untuk membuat playground yang lebih luas pun akan terwujud.
Kemudian terlihat papa Budiatma yang bangkit dari posisi duduknya dan melangkah masuk melalui pintu samping. Barra yang masih berada di posisinya mengeluarkan ponsel, memeriksa beberapa notifikasi yang masuk. Saat ini ia sedang berada di rumah orang tuanya. Tentu saja bersama Manda pula. Mereka bermaksud ingin melihat kondisi mama Lita yang sudah kembali pulang. Namun, ternyata di rumah akan ada arisan ibu-ibu komplek yang merupakan teman mama Lita. Sekaligus mereka juga ingin menjenguk mama Lita. Barra dan Manda pun baru mengetahuinya begitu mereka tiba.
Setelahnya Barra bangkit dari sofa berniat ke kamar, ia melewati pintu samping. Melalui ekor matanya ia melihat Manda yang berada di dapur, sedang menata kue di piring. Senyuman terukir di wajah Barra melihat wajah serius sang istri. Ia berniat menghampiri Manda saat terlihat mama Lita yang memasuki dapur.
"Kuenya aku bawa ke depan, ya, Ma." Ucap Manda.
"Enggak perlu. Saya bisa sendiri." Ia mengambil dua piring kue yang berada di tangan Manda.
Manda hanya terdiam melihat mama Lita yang mengambil dua piring kue yang berada di tangannya. "Yaudah kalo gitu, aku bantu susun kue di piring aja."
Saat Manda hendak mengambil kue, tangannya langsung ditepis oleh mama Lita. "Enggak usah."
Mata Manda melirik mama mertuanya. "Aku cuma mau bantu aja kok, Ma."
"Saya enggak butuh bantuan kamu. Kalo pun saya butuh bantuan, saya akan panggil si mbak."
Setelah mama Lita menyelesaikan kalimatnya, terlihat Barra yang sejak tadi masih berada di posisinya dan melihat semua yang terjadi langsung melangkah menghampiri Manda lalu memegang pergelangan tangan istrinya dan mengajaknya pergi. Manda yang kaget dengan kehadiran Barra, terus melangkah mengikuti suaminya yang membawanya ke lantai dua menuju kamar mereka. Mama Lita yang melihat itu pun hanya terus memandangi putranya yang membawa pergi Manda.
Begitu sudah di kamar, Barra menutup pintu kamar. Melepaskan tangan pada pergelangan tangan Manda dan menyimpan ponsel di nakas. "Enggak usah ke bawah. Di sini aja." Ucapnya tegas sambil menatap Manda.
"Tapi aku mau bantu mama, Mas. Kasihan mama."
"Mama aja enggak mau dibantu. Ngapain juga kamu masih mau bantu mama. Biarin aja mama kerjain semuanya sendiri." Barra melangkah menuju balkon kamar. Nada suaranya seperti sedang menahan emosi.
Manda yang mengerti suaminya sedang kesal pun menyusul ke balkon. "Mas—"
Barra berbalik badan menatapnya. "Aku enggak bisa terus diam aja lihat sikap mama ke kamu, Amanda. Sikap mama itu semakin seenaknya ke kamu. Kamu itu istri aku, enggak seharusnya mama bersikap seperti itu ke kamu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kali Kedua [Completed]
Chick-LitDewangga Barra; dokter gigi. Putra sulung dari keluarga Budiatma. Memiliki tubuh tinggi, bola mata kecoklatan, alis tebal, hidung mancung, rahang tegas dengan brewok tipis. Senyumnya manis yang mampu memikat banyak perempuan. Amanda Ayudita; pegawai...