“Luka yang tertoreh itu mungkin sembuh, tapi bekasnya... takkan pernah pudar.”
****
"Sandra--- kamu brengsek."
Final.
Hanya kalimat itu yang Felix katakan begitu melihat yang terjadi, lantas ia mengambil langkah cepat menuju kamar, membanting pintu, kemudian kembali lagi dengan menarik tangan adiknya kasar--- membawa perempuan itu menjauh dari orang tua mereka.
Dibawanya sang adik menuju parit di mana ia membuang benda kecil yang melukai juga menyembuhkan hari-hari berdarahnya lampau.
"Kak, lepasin! Sakit!"
Felix menghempas lengan sang adik yang ia cengkram sedari tadi. Sungguh, Felix adalah pribadi yang lembut, tapi melihat adiknya bagai singa yang menyakiti dua orang yang membesarkannya ke dunia, membuatnya murka mau bagaimanapun juga.
"Apa yang ada di kepala mu itu, hah?! Kurang uang? Iya?!"
Sandra mendengus, tak menjawab, menandakan iya dari pertanyaan yang Felix ajukan.
Sudah Felix duga, perkara uang saku yang tidak pernah cukup bagi adiknya. Ketahuilah, Sandra itu boros orangnya, beda dengan Felix yang menerima dan apa adanya.
"Mau beli apa lagi, hah? Tas branded? Skincare? Kamu pikir keluarga kita itu kaya? Uang tabungan kakak yang kakak kasih ke kamu itu kemana emang?"
"Ya itu nggak cukup lah kak! Temenku aja punya tas keluaran terbaru, aku doang yang belum, trus---"
"Cukup!" Potong Felix marah.
"Enteng banget kamu ngomong yah. Dipikir nyari uang gampang apa. Mikir, Sandra! Mikir!" Percayalah, jika nada Felix naik dua oktaf saja dari biasanya, berarti pria itu tak sekadar marah saja.
"Iyalah susah, kakak kan lagi nganggur."
Plak!
Pertama kalinya dalam 19 tahun hidupnya Felix, ia menampar orang, terlebih perempuan dan itu adiknya sendiri. Tapi, Sandra benar-benar keterlaluan. Felix muak.
"Lalu dengan kamu bersikap anarkis sama ayah ibu--- ngelempar piring, gelas sampai mengenai--- melukai mereka itu pembenaran dari keinginan hedon kamu yang nggak bisa terpenuhi, hah?!" Felix mencengkeram dagu adiknya erat.
Sandra bergetar menatap mata kakaknya yang menyimpan amarah yang membara. Selama ini tak pernah ia lihat binar murka itu di sana karena tertutup oleh perasaan sayangnya yang begitu besar pada sang adik. Tapi hari ini?
Tak ada jawaban dari mulut Sandra yang Felix harapkan, hanya suara ringisan yang akhirnya membuat si pria Halim sadar bahwa ia terlalu keras.
Dilepasnya cengkeraman itu, membuat Sandra mundur dan mengatur nafas sembari memegang dagunya yang terasa perih.
"Kakak kecewa. Kamu nyakitin mereka." Sandra menoleh dan mendapati tatapan murka beberapa saat yang lalu telah berganti menjadi sorot luka yang jika ia menyelam ke dalamnya, ada banyak kelam yang tertutup apik di dasar sana, menyembunyikan dengan sempurna betapa Sang kakak lah yang sebenarnya terluka, bukan dirinya.
"Kak, Sandra---"
"Kamu bukan adikku lagi."
Final.
Kalimat Felix menghantam relung hati Sandra yang dingin, mencubit sisi kecil hatinya yang selama ini dipenuhi pikiran bahwa hidup ini harus hura-hura dan diisi hal menyenangkan saja. Kini, tinggal lah gadis itu sendiri di tepi parit, terduduk menangis menatap bekas jejak sendal Felix yang membekas di kubangan lumpur.
....
Keseharian keluarga Halim berjalan seperti biasa, seolah tak ada yang terjadi. Kehangatan ayah dan ibu kembali, tak luput pula diberikan pada Sandra selaku anak bungsu yang Felix ingat, selalu dibanggakan senantiasa. Tapi, ada yang berbeda, meski ayah dan ibu memaafkan adiknya, Felix tidak lagi menganggap perempuan yang menyandang marga Halim berstatus adiknya itu sama.
Mereka hanya bertegur sapa sebatas seperlunya saja, ada yah dibutuhkan atau perkara penting saja. Sisanya, mereka hanya orang asing yang tinggal seatap.
Felix kecewa.
Adiknya yang ia sayang itu, menyumpahinya mati sembari mengamuk sepulang dari rumah beberapa hari yang lalu, membuat laki-laki sehangat mentari dengan senyum cerah yang kalian kenal, menitihkan air mata dalam sunyi.
"Felix," panggil ibunya.
"Iya, Bu?" Felix yang kini memanaskan motor, bersiap berangkat kerja ke cafe Aji (singkatnya ia mendapat tawaran dari kenalan Chandra yang punya cafe kecil di ujung kota untuk menggantikan karyawan yang sebelumnya resign), menoleh pada ibunya yang membuka lebih luas pintu garasi.
"Ibu boleh pinjam uangmu? Sandra sakit, sepertinya perlu diinfus."
Sebenarnya Felix tahu Sandra sakit sejak kemarin malam, dan yang Felix lakukan adalah meletakkan air hangat di atas nakas sewaktu gadis itu terlelap.
Felix tak menjawab, hanya menaikkan standar motornya.
"Felix, ibu sedang bicara!"
"Di dalam lemari, bagian paling atas, ada lima ratus ribu di situ. Felix pamit." Ucapnya final setelah sunggingkan senyum samar yang sungguh... Entahlah.
Sesampainya di tempat kerja, Felix dengan cepat mengambil apron dan mulai mengelap meja, bersiap membuka cafe yang sepertinya akan ramai hari ini karena weekend.
Berusaha menghapus bayang-bayang adiknya, Felix menggelengkan kepalanya beberapa kali dan dengan cekatan tangannya bergerak lihai meracik kopi.
Tap!
"Astaga!"
Sebuah tepukan kecil di pundak membuat Felix kaget luar biasa. Itu Aji, si pemilik cafe yang memperhatikan dari Felix masuk hingga saat ini laki-laki itu meracik kopi.
"Elu kenapa? Geleng-geleng kayak orang stress?"
"Eh? A-apa?"
"Haha, enggak. Becanda. Ngomong-ngomong..."
"Ngomong-ngomong?" Felix mengulangi perkataan menggantung Aji.
"Tuh..." Tunjuk Aji dengan dagunya pada objek yang berdiri seperti gelandangan di depan kaca cafe yang transparan.
"Sandra?!"
___________________
TO BE CONTINUE
___________________New character unlocked;
Han Ji-Sung
as
Ajinendra“Kirain Felix nya doang yang keliatan stress, eh ternyata, adiknya lebih parah--- macam orang gila kerasukan ular kobra.”
KAMU SEDANG MEMBACA
HIS CHRYSANTHEMUM'S RED PETALS✔
Teen FictionTentang Felix yang seperti bunga Krisan merah, serta depresinya yang menuai luka di tiap tetes darah. "Terkadang, orang yang terlihat paling bahagia, tersenyum dan baik-baik saja adalah orang yang sebenarnya terluka, bersembunyi dibalik kata 'tidak...