"Yah, Zen masih ada beberapa tahun untuk merasakan senang atau sedih, jadi jangan lupakan tugasmu sebagai pelajar." Ayah tiba-tiba menasehati ketika aku sedang menggunakan sepatu.
"Pilih apa yang kamu sukai, jangan jadikan ayahmu patokan, hehe." Sambung ibu.
"Benar, kamu bebas, jadi lakukan apa pun yang positif."
Meski dibilang begitu apa yang harus kulakukan, tidak ada yang membuatku senang. Membaca novel setiap hari melelahkan dan cepat bosan, sangat membingungkan fokus pada apa yang harus menjadi tujuanku hari ini dan memecahkan semua masalah dengan begitu semuanya akan beres.
Istirahat sekolah tiba, Pak guru wali kelas memanggilku untuk segera ke ruang bimbingan konseling, masalah lain muncul tanpa sepengetahuanku, apa mungkin karena tidak terlalu memperhatikan pelajaran kelas ya, padahal masalah nilai aku tidak terlalu buruk.
Aku mendatanginya perlahan kubuka pintu dia dengan santai mempersilahkanku masuk lalu duduk di hadapannya tanpa penghalang meja sekalipun.
"Begini Zen, sebentar lagi akan ada kenaikan kelas." Jelasnya.
"Hmm."
"Banyak nilai harian yang belum masuk dan juga kehadiranmu cukup kurang." Dia melipat tangannya depan dada dan menggerakkan kakinya seolah dia gelisah.
"Baik."
"Tapi Bapak bisa usahakan itu, tolong untuk tidak sampai hadir, sekarang jikalau kamu sakit datanglah ke sekolah dan istirahat di ruang UKS masalah nilai bisa kamu cukup lakukan yang terbaik, kamu memang sudah melakukannya jadi pertahankan dan terus tingkatkan, oke!"
"Ah, cuman itu saja? Baiklah aku mengerti, kalau begitu permisi."
"Anu... apa kamu punya alasan untuk melakukan itu...," aku tahu kemana arah pembicaraan wali kelas ini.
"Maksud Bapak bunuh diri?" Aku perjelas saja pertanyaanya.
"Hey, jangan langsung ke intinya dong! Y-ya sudahlah tidak perlu diceritakan." Dia panik gelagapan.
Ternyata cuman masalah kecil, tidak apalah lagi pula aku tidak terlalu peduli dengan masalah Zen. Aku berniat kembali ke ruang kelas dan sengaja melewati klub seni, yang aku pikirkan berharap bisa bertemu dengan Moona lagi. Bukan seperti aku menunggunya atau mencari kesempatan tiba-tiba bertemu di lorong dengan alasan kebetulan hanya saja untuk memastikan.
Di luar tepatnya di belakang sekolah, karena klub seni berada di ujung aku bisa melihat menembus dua jendela transparan seorang perempuan mungkin aku pernah melihatnya, sekelas denganku duduk di batu melingkar dan banyak bunga sekitaran dia.
Dia terlihat menggosok-gosokan wajahnya, apa dia sedang menangis jangan katakan bahwa dia dirundung juga? Aku tidak memiliki empati besar hanya untuk menenangkan, akan tetapi rasa penasaranku tetap tidak bisa berhenti kuputuskan menemuinya.
Sembunyi balik pilar kokoh penopang bangunan, dia hanya kelilipan serbuk bunga atau semacamnya. "Dia memegang bunga Violet? Perempuan yang aneh." Kekhawatiranku tidak berlandas, tidak ada alasan menemuinya aku kembali ke kelas.
Istirahat usai ternyata dia memang dari kelasku, duduk paling depan menggunakan kacamata lalu gaya rambutnya terlihat kuno di kepang dua pinggir dan kanan tapi aku rasa itu cocok untuknya karena rambunya lumayan panjang, dia sekilas sempat melirikku dan berusaha memalingkan wajah secara natural. Apa tidak disengaja atau memang dia melihatku? Anak yang aneh.
KAMU SEDANG MEMBACA
WHITE LITERATURE
Fiksi RemajaAku telah mati. Sesosok mahkluk hitam memberi tahu bahwa aku diberi kesempatan untuk hidup di dunia untuk mengingat "dosa" yang sangat besar. Dia berkata bahwa hidupku dan rohku akan hilang jika tidak menyelesaikan "dosa" yang telah kuperbuat. Rohku...