Chapter 6. Kenyataan Pahit II

50 8 0
                                    

Burung berkicauan matahari mulai terbit cahaya masuk melalui celah-celah jendela. Malu rasanya burung bangun lebih awal dibandingkan denganku yang masih terbaring selimutan dikasur yang empuk.

Tidak ada waktu untuk menikmati ini, Theodore sudah hadir di kamarku dia sedang membaca buku novel yang ada di meja belajarku sepertinya dia sedang duduk, mungkin.

"Apa-apaan kemarin itu?" Tanyaku yang bangkit lalu duduk di kasur.

Dia menoleh padaku, asapnya dominan lebih banyak mendekat. "Apa maksudmu dengan 'Apa-apaan' itu?" Tanya balik.

"Gadis itu kenapa tiba-tiba menyerangku kau tidak memberi tahu soal ini, ada masalah apa dia dengan Zen?" Cibirku.

"Ohh... Chiyo, lumayan rumit." Lagi-lagi dia membuka buku sampul hitam itu, segala macam informasi tentang Zen sepertinya ada di sana. "Dengarkan baik-baik ini— Chiyo berjanji padamu agar dirimu mati bunuh diri, jika janji itu tidak terkabul kamu akan terus diganggu olehnya sepanjang hidupmu. Kenapa? Dia teman masa kecilmu yang berharga, namun seiring berjalan waktu, dirimu terhasut oleh teman-temanmu untuk menjahili Chiyo lebih tepatnya kamu tidak ingin menjadi target mereka jika menolak. Dia mengalami banyak masalah karena itu, hidupnya berantakan, dirimu yang membuat matanya rabun karena debu dan pasir serta cairan aneh di masukan ke dalam matanya. Apa kau mengerti Zen?"

Seberapa parah orang ini, kenapa harus aku yang merasakan ini, kenapa harus aku yang merasuki tubuhnya, kenapa? Apa dosaku sebesar ini hingga harus merasakan semuanya. Apa ini bukanlah dunia nyata? Ini pasti replika dunia untuk menyiksaku.

"Zen...,"

Kau ini mahkluk apa Zen? Manusia atau monster?

"Zen... zen...,"

"Berisik, aku bukanlah Zen brengsek!"

Ketika aku membangkitkan kepalaku dan membuka mataku, ibu berdiri di hadapan dia kaget hingga tubuhnya meloncat sedikit membentur tembok, raut wajahnya jelas sedikit pucat karena khawatir, menutupi mulutnya dengan satu tangan menahan suara isak tangisnya.

"Sarapannya... sudah siap— jika tidak ingin bersekolah ibu bisa menelepon wali kelas."

Aku langsung berdiri dan memakai pakaianku dan segera menuruni anak tangga, mengambil sarapan roti lapis isi telur dan daging ham di atas meja. Tidak ingin mendengar apapun dari pertanyaan mereka dan pergi berangkat sekolah.

Bagiku kehidupan ini layaknya mimpi buruk tidak ada yang berarti alih-alih menyenangkan setiap hari aku selalu mengunjungi taman hanya untuk bertemu dengan Chiyo, hanya untuk menyerahkan diri. Setiap hari tubuhku basah, bajuku robek tidak bisa melawan meskipun aku ingin ini bukanlah tubuhku. Benar, Zen kau harus menebus dosamu sendiri sepanjang hidupmu.

Hingga pada akhirnya tercium semua apa yang telah terjadi, aku tidak memiliki kekuatan untuk berjalan ke sekolah, dampak dari siraman air membuatku demam. Aku bangkit dan menuju ruang makan, hanya berdua dengan ibuku karena yang lain sudah berangkat menuju tempat yang mereka tuju.

"Hari ini istirahat saja, makanlah yang banyak ibu sudah menyiapkan banyak hal seperti daging goreng tentunya dan telur mata sapi." Jelasnya sibuk tangannya penuh dengan berbagai macam hal dapur.

"Kemarin... Zen, wali kelasmu bicara... apa kamu baik-baik saja? Jika seandainya... seandainya kamu ingin, kita bisa pindah sekolah—"

"Alasanku bunuh diri bukan karena masalah pelajaran atau dirundung, hentikan itu, apa maksudmu?"

WHITE LITERATURETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang