Goodbye Memory Ke-2!

640 88 22
                                    

HAMBURG, 2010

Pemandangan kota pelabuhan terbesar di Eropa ini sangat memanjakan mata baik siang atau malam hari. Nyaris setiap hari Dewa selalu senang berjalan kaki atau mengayuh sepedanya menyusuri kota setelah mengikuti kelasnya. Menginjak tahun pertama tinggal di sini belum cukup puas untuknya menjelajahi kota Hamburg.

Saking banyaknya tempat indah yang ada di sini.

Dan... saking bosannya berdiam diri di apartemen sendirian.

Omahnya selalu sibuk memantau gudang dan pabrik mebel miliknya. Seperti yang ada di Jakarta, Omahnya juga memiliki pabrik mebel di Hamburg yang selama ini dijalankan oleh adik Opahnya. Namun, ketika memutuskan untuk pindah ke sini bersama Dewa, pabrik itu kembali dijalankan olehnya, dan usahanya yang di Jakarta diambil alih oleh Mami Dewa.

Dewa cukup memiliki banyak teman di sini. Namun hanya ada satu teman dekat laki-laki yang juga mengambil kelas yang sama dengannya sejak studienkolleg, dan juga berasal dari Indonesia. Namanya Arfin.

Ternyata benar apa kata Aldo dan Nando saat itu, bahwa tidak semudah itu pergi ke tempat baru dan meninggalkan masa lalu begitu saja. Dewa merasa seperti bayi yang baru lahir di sini. Hidupnya benar-benar dimulai dari awal lagi.

Merancang hidup baru di Jerman dengan meninggalkan kenangan-kenangannya di Bogor ternyata jauh lebih sulit dari bayangannya. Momen-momen bersama Aldo dan teman sekolahnya yang lain seringkali hadir dalam ingatannya dan membuat Dewa rindu. Sayangnya, ketika kerinduan itu muncul, yang bisa Dewa lakukan di sini hanyalah tersenyum dan bersyukur pernah berada di masa-masa indah itu.

Pun untuk kenangan yang pernah dilupakannya akibat kecelakaan itu, Dewa seringkali ditampilkan kilasan-kilasannya saat melakukan sesuatu, memikirkan sesuatu atau bahkan saat bermimpi. Meskipun masih terpotong-potong dan tak jelas, Dewa seringkali melihat bayangan Maura dalam kilasan itu.

"Kenapa kadang-kadang lidahku masih kerasa kaku kalau ngomong bahasa Jerman, ya?"

Hamburg adalah kota yang memiliki ribuan jembatan dengan arsitektur indah dan keren. Salah satu jembatan yang kini sedang Dewa lewati bersama Arfin adalah jembatan Reesendammbrücke.

Dewa menghentikan langkahnya dan bersandar pada tembok pembatas jembatan, setelah melempar makanan untuk memberi makan angsa-angsa di bawah jembatan, Dewa menoleh pada Arfin yang berdiri di sebelahnya.

"Kamu kok cepet adaptasinya, sih, Wa? Apa emang udah dari dulu bisa bahasa Jerman?" tanya Arfin lagi, dengan logat Jawa-nya yang masih sedikit tersisip.

"Omah gue, nyokap gue, mereka lahirnya di sini. Jadi gue udah nggak asing lagi sama bahasanya," jawab Dewa.

"Oalah, pantesan mukamu sedikit bule."

Dewa tertawa, "Kalo buat cowok bukannya pakle?"

Arfin memutar matanya malas. Dewa mulai lagi konyolnya. "Pakde kalo kamu cocoknya! Ah, kesel aku!"

Dewa tertawa makin lebar, kemudian mengganti topik. "Tinggal di Jogja enak nggak, Fin?"

"Enak banget! Kamu mungkin bisa jadi orang paling kaya deh kalo tinggal di sana. Pasti di Jakarta serba mahal, kan? Kalo di Jogja itu semuanya murah, apa-apa tinggal ditanem trus metik sendiri. Uang jajanmu satu bulan di Jakarta mungkin bisa buat hidup satu tahun di Jogja, kali."

"Masa, sih?"

Arfin mengangguk, sambil menatap sungai di bawah mereka dan angsa-angsa cantik yang berenang, "Dan aku baru sadar kalau Jogja lebih terasa enak buat aku ketika aku menginjakkan kaki di sini sendirian."

Goodbye, Memory! [SEKUEL HELLO, MEMORY!]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang