Malam itu, Tiffany tengah duduk di tepi ranjang kamarnya. Ia duduk melamun memikirkan sesuatu yang begitu mengganjal di pikirannya. Ia memikirkan putranya. Putranya yang sudah teramat lama ia rindukan. Putranya yang begitu jauh. Jauh sekali hingga untuk menyentuhnya saja sulit sekali. Ia merasa ada sesuatu yang terjadi pada putranya. Ia merasa putranya tidak baik-baik saja sekarang.
"Jeno.. Jeno lagi apa sekarang? Jeno baik-baik saja, kan?", gumam Tiffany.
"Jeno di rumah ngga pernah dimarahin ayah, kan? Ayah sayang sama Jeno, kan? Ayah jagain Jeno dengan baik kan di rumah? Ayah pasti bela Jeno soal masalah kemarin, kan? Jeno jangan takut, ayah pasti juga percaya sama Jeno. Ayah akan lindungi Jeno. Ayah sudah janji sama bunda buat selalu jagain Jeno. Bunda harap, ayah benar-benar melakukannya dengan baik", gumam Tiffany.
"Jeno, bunda inget banget waktu Jeno masih di perut bunda waktu itu. Jeno beneran anak baik. Jeno ngga suka bikin bundanya sakit. Jeno sayang yah sama bunda?", gumam Tiffany sambil tersenyum dan mengelus perutnya sendiri seolah ia masih mengandung bayinya.
Flashback on :
Malam itu, Tiffany tengah menunggu suaminya pulang kerja. Ia terlihat tengah duduk di ruang tengah. Saat itu, perutnya terlihat besar karena ia sedang mengandung. Tak lama, terlihat bi Surti datang dari arah dapur sambil membawa susu untuk ibu hamil yang ia buatkan untuk majikan perempuannya yang tengah hamil besar.
"Nyonya, ini saya sudah buatkan susu untuk nyonya. Silahkan diminum biar calon putranya ini sehat dan kuat. Tuan kecil ini pasti sudah lapar sekarang", ucap bi Surti sambil mengelus pelan perut Tiffany yang besar itu.
Memang sudah dikabarkan bahwa calon bayi yang akan lahir itu laki-laki. Maka dari itu, bi Surti pun sudah biasa memanggilnya tuan kecil atau tuan muda sedari Jeno masih berada dalam kandungan.
"Iya, bi.. dia pasti sudah lapar sekarang. Sudah nunggu bundanya kasih susu yah, nak.. sabar ya, sayang..", ucap Tiffany sambil mengelus perutnya dengan lembut. Ia tersenyum senang seolah ia sedang berbicara pada putranya.
Namun, saat Tiffany meminum susunya, tiba-tiba saja perutnya terasa sakit. Ia merasa bayi yang ada di dalam perutnya itu tengah menendang-nendang perutnya dengan kencang.
"Ssshhh... huh..", ringis Tiffany sambil memegangi perutnya yang besar. Ia meletakkan gelas yang berisi susu itu di atas meja. Ia baru saja meminumnya sedikit, tapi perutnya terasa sakit sehingga ia pun memutuskan untuk berhenti sejenak untuk meminumnya.
"Kenapa nyonya?! Apa perutnya terasa sakit?!", ucap bi Surti khawatir.
"Ngga pa-pa, bi.. sayang, kenapa nak? Seneng yah bunda kasih minum? Hm? Anak bunda sudah lapar yah, nak?", ucap Tiffany lembut sambil mengelus perutnya. Ia tersenyum meski perutnya terasa sakit.
"Bunda nanti kasih lagi tapi kamu diam dulu, ya.. bunda sakit, sayang.. anak bunda ini anak baik, kan?", ucap Tiffany sambil terus mengelus perutnya.
Tiba-tiba saja, sakit di perutnya seketika tidak lagi ia rasakan. Putranya diam setelah ia mengatakan itu seolah putranya di dalam perutnya itu mendengar ucapannya.
"Pintar sekali anak bunda ini.. bunda nanti bilang ayah, ya.. anak bunda sama ayah ini penurut sekali.. terima kasih, sayang.. kamu pasti ngga mau bundanya sakit, yah? Anak bunda ini manis sekali.. anak bunda ini baik sekali.. bunda sayang sekali sama kamu.. bunda ngga sabar ketemu bayi kecilnya bunda.. sehat-sehat ya, sayang.. sebentar lagi kita akan bertemu", ucap Tiffany sambil tersenyum.
"Saya juga sudah tidak sabar pengen lihat gantengnya putra tuan Devan. Dia pasti tampan sekali bahkan melebihi ayahnya", ucap bi Surti.
"Bibi bisa saja mujinya.. tuh, kamu di do'ain bibi, nih.. denger ngga? Anak bunda katanya ganteng banget melebihi ayah.. bunda jadi penasaran anak bunda ini gantengnya kayak apa, yah? Apa iya bakal nyaingin ayah gantengnya?", ucap Tiffany.
KAMU SEDANG MEMBACA
Peluk Aku, Bunda√
Teen FictionDILARANG PLAGIAT!!! ❌ (𝐿𝐸𝑁𝐺𝐾𝐴𝑃 !!) "Ayah, bisakah ayah kembalikan bunda? Aku butuh bunda,"