01. Akhir Dari Sebuah Pengabdian

52 3 1
                                    

“Stop! Aku tidak mau dengar apa pun omongan Kamu, Mas.”

Astina berusaha menutup kedua telinganya dengan telapak tangan. Namun, Aganta terus saja memburu Astina agar mau mendengar dulu alasan yang mendasari pernikahannya yang ke dua.

“Aku menikahinya karena dia wanita yang baik, Astina. Mas mengenal Leana dengan baik selama setahun ini.”

“Jadi, selama ini Mas berhubungan dengan wanita itu di belakangku, begitu!” lontar Astina dengan tatapan tajam.

“Mas dipaksa ibu bertemu dengannya setahun lalu. Kami cuma komunikasi lewat pesan dan hanya bertemu beberapa kali dalam acara keluarga, Astina. Kamu jangan berpikiran yang buruk tentang hubungan kami,” kilah Aganta tidak ingin sang istri menuduh dirinya sudah berselingkuh.

"Ceraikan saja aku! Tidak ada yang bisa diperbaiki bila ceritanya seperti ini. Kita berpisah saja! Aku tidak bisa mempertahankan suami yang sudah melakukan zina dengan bertemu wanita lain di belakangku selama setahun. Ini tidak bisa dimaafkan!“ teriak Astina merasa terkejut suaminya sudah bertemu dan komunikasi intens dengan perempuan lain tanpa sepengetahuannya.

Astina menangis, hatinya sakit. Dadanya terasa sesak oleh impitan yang membelenggu hidupnya. Adiknya sakit dan butuh pengobatan rutin secara medis satu-satunya alasan yang membuatnya tetap bertahan sejauh ini. Rasa cinta yang begitu besar kepada suaminya menjadi fondasi kokoh mengapa ia kuat menjalani pernikahan tanpa restu ini. Namun, tidak untuk sebuah pengkhianatan. Tidak untuk hal yang satu itu. Ia bukan tipe wanita lemah yang akan diam saja ketika rumah tangganya terusik oleh kehadiran orang ketiga, apalagi suaminya malah menandai wanita itu menjadi istri kedua.

"Dia atau aku? Pilih salah satu dari kami. Aku menerima apa pun itu keputusanmu, Mas," ucapnya dengan nada getir.

"Kamu tahu aku tidak bisa, Astina! Aku mau kamu sebagai istriku dan juga dia yang bisa memberikan aku keturunan!"

Aganta menjambak rambutnya frustrasi, tidak menduga ini akan terjadi. Menyesal, tetapi tidak mampu memutar apa yang sudah terjadi. Ia merasa terjebak oleh keadaan yang tidak diinginkan. Namun, Astina benar bahwa ia harus memilih bila istri pertama tidak menerima pernikahan keduanya.

"Aku masih sangat mencintai kamu, Astina. Itu yang harus kamu tahu."

"Tidak usah menipuku dengan gombalan basi yang bisa saja kamu ucapkan juga untuk wanita itu agar mau menikah denganmu, Mas!" sahut Astina dengan tatapan tajam.

Wanita itu mundur, melangkah menjauh dengan tangan mengusap air mata. Ia berjanji pada dirinya sendiri untuk kuat, tidak boleh lemah karena ia masih memiliki seorang adik untuk diperjuangkan.

"Kamu mau ke mana! Tidak ada yang boleh meninggalkan rumah ini tanpa izinku, Astina!"

Aganta menyusul langkah Astina yang sedang berjalan ke arah lemari. Dia tahu kalau istrinya akan mulai mengepak pakaian dan meninggalkannya. Tidak boleh, dia masih sangat mencintai Astina. Akan tetapi, keadaan dan desakan sang ibu yang memaksanya melakukan hal keliru ini demi mengamankan harta warisan.

"Sudah selesai, Mas. Pengabdianku sebagai istri sudah cukup sampai di sini. Terima kasih atas kasih sayang dan cintamu selama ini. Tapi, dari awal aku sudah tegaskan bahwa dua wanita dalam satu rumah tidak akan pernah aku terima. Jadi, ceraikan aku sekarang juga!"

"Tidak akan! Ini aku lakukan untuk kebaikan kita, Astina. Sungguh."

Aganta meraih satu tangan Astina dan menarik tubuh ramping wanita itu agar mau menghadap padanya. Ia tahu ini menyakitkan, tetapi pernikahan mereka yang sudah berjalan selama empat tahun tanpa kehadiran buah hati menjadi penyebab ibunya ikut campur dalam rumah tangga mereka. Ia menjadi pusing ketika namanya dicoret dari daftar kekayaan karena tidak juga bisa memberikan orang tuanya cucu untuk mengamankan warisannya.

"Ini demi kita," ulangnya.

"Bukan kita, Mas … tapi demi kamu dan keluarga kamu sendiri. Itu yang benar," debat Astina dengan tatapan mata penuh luka.

Astina menepis rangkulan suaminya. Hatinya sangat hancur menerima kenyataan bahwa Aganta pulang membawa rombongan keluarga beserta istri barunya. Astina tidak bisa menerima ini sepenuhnya, apa pun alasannya.

"Kita baru menikah empat tahun. Aku sudah memeriksakan diri ke dokter dan hasilnya baik-baik saja. Kita hanya harus lebih bersabar, tapi Mas nikah diam-diam sangat menghancurkan kepercayaan diri aku."

”Astina.“

”Kalau sejak awal Mas Aga bilang sama aku, mungkin ceritanya lain. Aku akan memikirkan semuanya dengan baik meskipun sakit, bukan dengan perselingkuhan seperti ini.“

Menikah muda dengan Aganta merupakan pilihan yang diambilnya setelah pria itu menjanjikan sebuah hubungan yang dilandasi oleh cinta. Cerca yang dilayangkan ibu Aganta karena kehadiran cucu tidak mampu ia persembahkan secepatnya Astina terima dengan hati lapang. Namun, ia tidak menyangka mereka bisa merencanakan pernikahan kedua Aganta tanpa meminta persetujuan darinya sebagai istri sah. Astina merasa dikhianati karena tidak dilibatkan dalam masa depan rumah tangganya.

"Astina ...."

"Lepas! Biarkan aku pergi. Kamu sudah ada wanita itu yang akan mengurus keperluanmu. Tugasku sudah selesai, Mas," tepis Astina berjalan menjauh. Menyelesaikan apa yang sudah ingin ia lakukan.

"Aku min—"

"Aku tidak ingin mendengar apa pun omongan kamu, Mas! Dari awal harusnya kamu berpikir lebih jernih. Janji saat akan menikah dulu kita akan saling setia. Jadi, aku rasa kalau kamu sudah melangkah sejauh ini. Itu berarti kamu sudah siap untuk berpisah denganku."

Astina memotong ucapan suaminya. Baginya sudah cukup mendengar alasan atau pun pembelaan yang tidak bisa diterimanya. Untuk pernikahan mereka dengan mendatangkan wanita baru di dalam rumah tangga mereka, Astina mengumpat dalam hati dengan penuh kebencian.

Wanita itu tidak mau lagi mendengarkan Aganta berbicara. Hatinya sudah tertutup untuk sesuatu yang baginya tidak masuk akal dengan memberikan alasan pernikahan ini untuk menjaganya dari olok sang ibu mertua. Tetap saja, suaminya hanya mementingkan dirinya sendiri dan kebahagiaan ibunya saja alih-alih mencari jalan keluar yang lain. Melakukan program kehamilan atau pun bayi tabung, misalnya sebagai salah satu orang kaya.

Astina menyeret kopernya keluar kamar. Tentu saja dihalangi Aganta dengan susah payah dan berbagai argumentasi yang memojokkan dirinya. Namun, Astina bergeming. Dia melanjutkan apa yang menjadi keputusannya untuk mengalah dan pergi dari kehidupan Aganta.

Suara tawa renyah dari ruang tamu membawa senyar nyeri yang tidak terbantahkan. Ibu mertuanya menjamu menantu idamannya di sana. Pernikahan yang tidak direstui dari awal membuka jalan menyakitkan bagi Astina, dan kini ia sedang menuai apa yang disebutnya sebagai nasib sial.

"Astina, tunggu dulu!"

Panggilan Aganta saat Astina melintasi ruang tamu membuat semua mata tertuju pada wanita itu. Degup jantung tidak menentu ditambah kecemburuan atas penerimaan yang hangat ibu mertuanya terhadap Leana, wanita cantik yang baru dinikahi suaminya tadi pagi sangat menyiksa batin Astina begitu dalam.

Astina meyakinkan kalau dirinya pasti kuat. Ia tidak boleh meneteskan air mata kelemahan di depan orang yang menginjaknya sejak pertama kali memasuki keluarga suaminya.

**
“Saat kebuntuan melanda, yang bisa kulakukan hanya dengan bersimpuh, mengadu, dan berpasrah di hadapan Tuhan.”  (Astina Yuzniar)

Imperfect Wife Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang