04. Ujian Kesabaran

26 2 1
                                    

Sepanjang sisa perjalanan, Astina lebih banyak diam. Duduk gelisah sementara Aldi yang sedang menyetir sesekali mengamati wajah Astina. Ingin sekali Aldi mengurai perihal polemik yang tengah dialami Aganta dan Astina. Namun, ia bingung memulainya.

“Aku masih tidak nyangka Aganta akan berbuat sekotor itu," decaknya membuat Astina menoleh.

"Mas Aga sudah menikah jadi tindakannya membawa pulang perempuan itu bukan perbuatan kotor," sahut Astina dengan nada tanpa minat.

”Pasti ibunya yang memaksa.“

"Itu bukan urusanku lagi. Bagiku yang penting berkasnya segera rampung. Aku menolak diajak mediasi. Jadi, tolong urus secepatnya agar statusku menjadi bersih dan dia bisa menikahi perempuan itu secara resmi," tegas Astina diberi kesanggupan Aldi.

Afthar terlihat sudah tidur. Astina meminta tolong kepada Aldi untuk mencarikan salah satu indekos yang akan ia tinggali sementara.

”Setelah ini rencana kamu mau apa? Aku bicara begitu sebagai sahabat kamu dan Aganta, bukan sebagai pengacara lagi.“

"Mencari rumah tinggal dan pekerjaan untuk membiayai hidupku dan juga pengobatan Afthar." jawab Astina diberi anggukan Aldi.

“Tinggal di salah satu kosku dulu bagaimana, nanti setelah kamu sudah bisa mendapatkan penghasilan, baru pindah. Kebetulan kafe temanku kekurangan pegawai, apa kamu bersedia bekerja di sana?"

"Terima kasih, Mas Aldi. Aku akan menerima bantuanmu dengan senang hati. Aku janji bakal bayar setelah ada uang," sambut Astina dengan wajah sedikit cerah.

Aldi tersenyum mengangguk. Astina, wanita itu dulu sangat menarik perhatiannya. Sempat terpikir untuk menjadikannya masa depan sebelum akhirnya Aganta meminta izin padanya untuk mendekati Astina. Karena Astina juga terlihat tertarik dengan sosok Agantha, ia pun mundur dan membiarkan Aganta mempersunting Astina.

Setelah sekian lama akhirnya ia pun bisa melupakan perasannya terhadap Astina dan menikahi perempuan lain yang kini telah mereka dikaruniai seorang putri cantik. Ia tidak akan berbuat sehina Aganta dengan kembali memupuk rasa untuk perempuan di sampingnya ini padahal sudah memiliki istri.

"Kita sudah sampai," ucap Aldi menunjuk pada sebuah rumah bercat hijau yang berjarak beberapa meter dari mobil yang terus bergerak menuju ke sana.

Astina tidak menjawab, hanya mengikuti gerak tangan Aldi menunjuk kemudian mengangguk. Kini kepalanya memutar ke arah kursi samping, tampak adiknya masih memejamkan mata. Astina kembali pada sikapnya seraya menghela napas.

"Kita turun, aku bantuin bawa barang kamu," ucap Aldi diberi anggukan Astina pelan.

Astina pun memilih membangunkan Afthar dengan suara pelan.

”Afthar, ayo bangun. Kita sudah sampai," panggil Astina sembari menarik hidung mancung sang adik.

“Kak, ini di mana?" tanyanya bingung.

”Tempat tinggal kita yang baru,“ bisik Astina sambil tersenyum.

Afthar mengangguk, menegakkan tubuhnya yang lemas kemudian mengikuti kakaknya turun dari mobil.

Astina menundukkan pandangan saat Aldi menatapnya dari depan pagar. Sebisa mungkin ia ingin segera mendapatkan pekerjaan dan pindah dari kos-kosan ini agar terbebas dari orang-orang dari masa lalunya. Ia ingin merajut hidup baru setelah perceraian dengan suami yang ia cintai dengan tulus.

”Antar sampai sini saja, Mas.“

"Baiklah, ini kuncinya. Kamar nomor delapan, ya?" ucap pria itu memahami kemauan Astina.

”Terima kasih banyak, Mas. Aku janji akan segera pindah setelah mendapatkan pekerjaan," ucap Astina dengan sikap canggung.

“Senyaman kamu aja. Besok aku akan mulai mengurus berkas perceraian kalian," sebutnya sanggup memberi rasa nyeri hinggap dari hati Astina.

Imperfect Wife Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang