gone.

92 9 0
                                    


Ada sesuatu yang datang, terjadi, hanya untuk sia-sia.

Seperti itu kiranya menurut Mas Puthut dalam salah satu bukunya yang berjudul Cinta tak Pernah Tepat Waktu. Beberapa detik lalu, aku baru saja menyentuh bukunya dan langsung bertandang dengan kalimat itu. Seperti takdir, aku dan kalimat itu dipertemukan tepat pada saat separuh jiwaku lenyap dilalap semesta. Kalimat itu, entah bagaimana caranya, bisa menusukku tepat di ulu hati. Menghadirkan nyeri yang berangsur-angsur meluruhkan bulir-bulir bening dari ujung pelipis. Aku mengaduh, meremat dada yang mulai terasa semakin bergemuruh.

Ingatan kini melayang jauh, menyusuri detik-detik waktu sebelum kegamangan soal kami menjadi suatu takhta agung yang ingin kugulung.

Pada bayangan yang solid itu, aku menemukan satu wajah paling familiar yang tidak pernah luput dari rekam mataku. Wajah yang selalu hadir di setiap aku hendak menatap surya dan melambai rembulan. Aku selalu terpesona pada wajah itu, selalu ingin menyentuhnya walau hanya mampu kusentuh dengan ujung jemari. Sepanjang hidupku menjejakan kaki di kehidupan, dialah laki-laki pertama berwajah indah, bagai genderang rembulan, yang pernah aku temui. Aku terbuai dan jatuh pada pesonanya yang mematikan.

Tiga bulan di waktu itu, rasa-rasanya seperti aku hidup di surga tanpa pernah tahu rasanya dijemput ajal. Aku dimanja dan diayomi bagai laki-laki yang paling ia cintai, yang paling ia ingini dengan sepenuh hati. Aku percaya, sebab wajah indah itu tidak pernah menghadirkan kepura-puraan. Aku percaya, sebab laki-laki itu selalu mendesaukan namaku dalam lelapnya. Aku percaya.

Hingga tiba saat—entah bagaimana aku mengatakannya—dia dijemput pulang oleh laki-laki lain, yang terlihat seribu kali lebih pantas menyanding si Manis ketimbang aku yang cacat dalam banyak hal. Laki-laki gagah itu membungkuk sopan, memintaku melepas genggaman dari si Manis untuk dia gantikan dengan jemarinya yang lebih mengkilau. Aku menurut, melerai peluk antara kami dan menuntunnya menuju peluk lain yang lebih wangi.

Sebelum laki-laki manis itu memunggungi pelataran rumah kecil ini, aku menemukan bulirnya jatuh tepat di ujung jempol kakiku. Menghantarkan senandung kalimat yang menyayat menyambangi telinga.

"Kamu jahat sekali."

Seutas kalimat itu terus saja mengusikku. Berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan, hingga bertahun-tahun. Segala bentuk andai tidak pernah enyah dari tempurung kepalaku yang sudah lama kosong.

Andai hari itu aku tidak memapahnya pada pelukan laki-laki lain, mungkin saat ini dia masih bersandar di bahuku yang mulai ringkih oleh waktu.

Andai hari itu aku tidak membuka pintu untuk menyambut hormat laki-laki gagah yang berjas mewah, mungkin dia masih dapat kupeluk dengan setumpuk hangat yang tidak akan pernah pudar.

Andai hari itu aku lebih percaya diri, menggenggamnya erat dan menggaungkan tolakan dengan lantang, mungkin saat ini, dia masih dapat kusentuh wajahnya dengan ujung jemariku. Atau bahkan dengan seluruh telapak tanganku yang sudah tidak lagi penuh goresan luka.

Atau, andai hari itu aku tidak membiarkannya melangkah pergi dari rumah kecil kami, mungkin saja, dia tidak akan ada dalam berita yang mengabarkan sebuah kecelakaan pesawat. Kecelakaan yang seluruh penumpangnya tidak ada yang berhasil ditemukan.

Aku kembali merutuki diri. Mencaci kecemasan yang sejujurnya tidak harus dicemaskan. Sedari awal, dia hanya ingin aku memeluknya, hanya ingin aku menyembahkan hidupku untuk saling mencinta. Dia tidak ingin harta dan kemewahan, tidak ingin gelar dan citra. Aku tahu bahkan sejak pertama aku menaruh hati padanya yang seperti barang antik.

Aku terlalu bodoh sebab terus saja menyirami rasa rendah diriku, memupuk rutin rasa kerdil yang justru membuat kami saling melukai. Aku takut kalau dia tetap bersamaku, tidak akan ada masa depan yang dapat digenggam. Tidak akan mampu kuberikan apa yang laki-laki gagah itu dapat dengan mudah memberikannya. Aku takut. Sampai akhirnya, perasaan itu lantas meracuniku hingga ke bagian terdalam diriku. Aku perlahan mati, dikikis oleh hampa yang terus menyayat hati.

Seperti kata Mas Puthut di bukunya, ada sesuatu yang datang, terjadi, hanya untuk sia-sia. Seperti aku dan pergulatan dalam diriku, datang, terjadi, dan sia-sia.

Sebab, dengan pergulatan itu, aku kehilanganmu untuk selamanya.

Kim Sunoo, maaf, sebab kini, aku sedang menyesali perbuatanku.

analekta; sunsunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang