Imaginary Friend

50 9 5
                                    

"Jika aku pergi, artinya kau sudah siap menghadapi dunia ini sendiri tanpaku. Maka dari itu, jangan pernah bertemu lagi, ya?"

Saat itu, aku benci- tidak, aku hanya tidak ingin menghadapi realitas kehidupanku sendiri. Mereka menyeramkan, seperti akan melahap habis dan menelanku dalam kehampaan yang mengerikan. Aku tak punya keberanian untuk menghadapinya. Walau begitu, aku berusaha melakukan apapun untuk tetap bertahan dengan menciptakan dunia kecilku sendiri.

Dan aku sampai pada titik dimana Kei hadir dalam hidupku.








































Namaku Aru, dan Kei ... dia adalah teman imajinasiku.





































"Kali ini apa? Ksatria dan naga hitam?"

"Entahlah, penyihir?" aku menyahut santai dengan kedua mata yang tetap fokus pada isi buku. Rentetan kalimat yang terkumpul menjadi paragraf bersusun di setiap lembarnya bagai mantra hidup yang bermain bebas dalam kepalaku. Sihir yang menyala, mantra yang dirapalkan, petualangan mereka yang penuh arti- aku begitu menyukai buku yang sedang kubaca ini.

Kudengar Kei disebelah sana mencibir muak, "Apa bedanya? Ksatria, naga, penyihir, bajak laut, portal menuju dunia lain, sihir- Ugh, dasar maniak. Dan lagi, kenapa buku sejenis itu banyak sekali di sini?"

Aku tak mau repot meladeninya yang tengah sibuk menggerutu mencari buku yang sesuai dengan seleranya. Karena, buku dalam rak-rak di ruangan ini didominasi oleh genre favoritku, fantasi. Entah mengapa ia tak menyukai buku sejenis itu.

Aku cenderung mengelompokkan buku sesuai warna, hingga penempatan buku-buku sejenis 'itu' dapat berada di mana saja. Kei sepertinya kesal karena buku manapun yang ia ambil selalu mengandung unsur daya khayal tinggi yang baginya di luar nalar dan tidak masuk akal.

Dalam ruangan kecil berukuran 2x2 ini hanya ada 2 rak buku besar yang saling berhadapan. Di tengah jarak kosong antara 2 rak itu diberi karpet coklat berbulu, hangat, dan senada dengan nuansa kayu yang mendominasi di ruangan ini. Dan alih-alih tempat duduk biasa, ruangan ini memiliki window seat yang super nyaman dengan taman rindang yang menyambut di luar jendela. Meski begitu, aku lebih memilih untuk berbaring pada karpet dan menikmati bacaanku.

Presensi Kei di ruangan ini cukup mengganggu konsentrasi ketika yang dilakukannya hanyalah mengambil buku yang terlihat menarik perhatiannya, membacanya sekilas, kemudian mengembalikannya, dan kembali lagi mengulangi aktivitas yang sama.

Kulihat ia tengah memegang salah satu buku favoritku dan mulai membuka halamannya secara acak. Aku pun memberitahunya, "Yang sedang kau pegang sekarang itu bagus, lho. Tentang petualangan 3 anak yang tersesat dalam labirin magis-"

"Wuahh, pasti membosankan," tukasnya cepat lalu mengembalikan buku ke dalam rak.

Aku mendengkus, membalik halaman dan menyahut kesal. "Coba berkaca, kau yang membosankan."

"Oh, ya? Aku sakit hati nih," balasnya ringan. Sejak awal harusnya aku mengabaikannya saja.

Tak lama setelah itu Kei duduk di sampingku, membawa buku dengan sampul putih bersih. Yah, kesan bersih dari buku itu terasa bukan karena warnanya, tapi buku itu seperti belum tersentuh sama sekali hingga kondisinya benar-benar masih sangat bagus. Di tengahnya ada gambar seorang gadis yang tengah menatap refleksi dirinya sendiri pada cermin.

"Face your fear ..."

"Duduklah." Aku tersentak karena Kei berucap tiba-tiba. "Tidak baik membaca dengan posisi seperti itu, kacamatamu akan setebal pantat toples nanti jika kau teruskan."

Imaginary FriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang