The Plus One

524 96 7
                                    

Perkara 'mas sudah tau semuanya' akhirnya membuat gue harus disidang sama Mas Vanno.

Ini pertama kalinya gue lihat Mas Vanno pulang dengan muka yang di tekuk. As you guys know, Mas Vanno benar-benar orang yang manis dan sabar kalau berurusan sama orang yang dia sayang dan dalam kesempatan kali ini guelah orang beruntung itu. Tapi sepertinya tidak untuk hari ini.

Setelah turun dari Rubicon merah miliknya, Mas Vanno langsung menghampiri gue yang cuma bisa lihat dia dari teras rumah. "Masuk, Ra," katanya. Mas Vanno kemudian mencium pipi gue kilat sebelum meninggalkan gue sendirian di teras. Walaupun marah sepertinya dia tidak bisa menghilangkan kebiasaannya memberikan gue afeksi yang tidak pernah gagal bikin gue selalu merasa disayang.

"Mas, mau caramel coffee?" Gue mencoba menawarkan Mas Vanno segelas minuman kesukaannya-atau kesukaan gue, karena sejatinya Mas Vanno akan menyukai apa saja yang gue sukai.

"Enggak.." katanya sambil menggeleng. "Kamu duduk di sini dulu," lanjutnya.

Gue akhirnya mengikuti keinginan Mas Vanno yang ingin gue duduk di sampingnya. Sesaat setelah gue duduk, Mas Vanno malah pindah posisi dengan berjongkok di depan gue. Jadi sekarang, gue sedang duduk manis di sofa sementara Mas Vanno berjongkok hampir bersimpuh di lantai seakan-akan mau melamar gue hari ini. Tapi sekali lagi, itu tidak akan terjadi hari ini.

Melihat Mas Vanno yang posisinya lebih rendah dari gue membuat gue tidak enak hati dan ikut memelorotkan badan gue supaya bisa sejajar dengan Mas Vanno.

"Kamu ngapain? Duduk di atas."

"Enggak, biar sama kaya Mas Vanno."

"Sagara.."

"Udah cepet Mas Vanno mau marahin aku kan? Aku udah siap.." kata gue sambil memainkan bulu-bulu karpet yang sedang gue duduki. Sesekali melirik ke arah Mas Vanno yang entah, gue tidak bisa menjelaskan bagaimana raut wajah Mas Vanno sekarang.

"Kenapa nggak bilang sama Mas? Kita kan udah janji."

"Aku takut Mas nggak ijinin."

"Kalau begini memangnya sudah pasti diijinkan?"

"Memang nggak diijinin?" kata gue lalu memandang Mas Vanno tepat di kedua bola matanya yang cokelat. Memberikan pandangan memelas berharap Mas Vanno akhirnya luluh dan mengijinkan gue untuk balik ke Bogor.

Mas Vanno lama balas memandang gue sebelum memalingkan wajahnya ke arah samping dan menghela napasnya.

"Mas mandi dulu, nanti kita ngomong lagi," katanya sembari mengecup pipi gue lalu naik ke atas untuk membersihkan diri. Right, Mas Vanno mengakui kalau gue punya sesuatu yang bikin dia tidak bisa menolak apapun yang gue inginkan. Tapi akhir-akhir ini dia mulai mengetahui bagaimana caranya menghindar, dia akan menunda pembicaraan dan mengerjakan pekerjaan lain sembari menjernihkan pikirannya.

Gue mendengus kesal lalu menyusul Mas Vanno ke kamar kami. "Ikut!" yang sayangnya permintaan gue untuk ikut mandi tidak diindahkannya karena sesampainya gue di kamar, Mas Vanno sudah mengunci pintu kamar mandinya. Padahal biasanya juga ga pake ditutup. Cibir gue.

**

Gue akhirnya menunggu Mas Vanno sambil sesekali mengganti siaran televisi yang tidak benar-benar gue tonton. Gue menoleh ke arah kamar mandi saat Mas Vanno keluar dari sana dengan handuk yang dia lilitkan di pinggangnya. Jangan tanya bagaimana rupa Mas Vanno saat ini karena guepun hanya bisa fokus pada happy trail-nya yang menghilang di balik handuknya.

I want him!

Mas Vanno benar-benar mengabaikan gue bahkan ketika gue pikir wajah ingin gue bisa menarik perhatiannya. Dia malah dengan santainya membuka handuk di hadapan gue dan membiarkan pacarnya ini menikmati pemandangan tubuh belakangnya.

THE PLUS ONETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang