16. Sesaat

8 0 0
                                    


"Buat apa kamu minum-minum lagi? Jangan banyak-banyak. Segelas saja!" tanyanya di pesan.

"Aku hanya ingin melupakan semuanya," jawabku.

Iya, aku ingin melupakan semuanya. Semua rasa sakit, semua rasa bersalah, semua ketakutan. Aku hanya ingin tenang dan tertidur.

Dan hantuku pun kembali. Kali ini dia membawa mainan yang sama. Sebilah pisau bergagang panjang berwarna keperakan. Dimainkan mata pisau tersebut di sepanjang lenganku. "Tidakkah kau merindukan rasa dinginnya ini?" tanyanya dengan seringai tipis di bibirnya. "Aku tahu kau menginginkannya. Menembus kulitmu, merasakan sakitnya yang tak tertahankan," goda dia.

"Tidak. Aku tidak mau merasakan sakit. Tapi...."

"Ayolah, Sayangku. Sakit ini hanyalah sesaat. Lihat. Seperti digigit semut kan?"

"Sakit," kataku lirih sambil menarik lenganku jauh-jauh. Tapi, hantuku menahannya.

"Tidak sayang, lihat...lihat! Indah kan warnanya?" Ia terus menekan ujung pisau itu dan mewarnai lenganku dengan kemerahan. Kurasakan sakit yang menjalar ke seluruh tubuh, namun di saat yang sama tidak ada pedih di hati. Tidak ada lagi kekacauan di kepalaku. Hanya warna merah yang memabukkan di mataku.

"Lihat sayang, lihat...indah sekali."

Ia masih saja terus menyeringai tipis. Entah ia menertawakanku atau memang sungguh seindah itu.

"Apakah kamu ingin melihat yang lebih indah lagi?" tiba-tiba ia berbisik di telingaku dan memberikan pisau itu ke tanganku.

"Apakah kamu ingin melihat keabadian bersamaku, Sayang?" tanyanya lagi sambil mengecup kedua pipiku yang basah dengan air mata.

Aku hanya bisa jatuh dan berteriak sekencang-kencangnya. 

Buku Harian PenyintasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang