46 | Semua ada alasan

1.8K 269 15
                                    

Kita tidak pernah tahu takdir seseorang, yang pasti Tuhan punya alasan mengapa menuliskan takdir seperti ini untuk kita.

_____________

Banyak yang bilang bahwa dunia ini keras, kejam. Terlebih bagi manusia yang dianggap berbeda dan populasinya minoritas. Orang yang miskin akan sering direndahkan oleh yang kaya, orang yang cacat akan diperlakukan berbeda dari orang yang normal. Jadi bisa dibayangkan bagaimana perlakuan yang didapat oleh Sansekerta sebagai orang miskin dan cacat, setiap harinya.

Selama hidupnya Sansekerta menerima banyak caci maki dan tatapan merendahkan, dari orang-orang yang mengenalnya. Walaupun tak jarang ada yang bersikap manis kala melihat betapa rupawannya wajah Sansekerta, sebelum tahu bahwa dirinya tidak bisa berbicara.

Kendati sudah kebal, kadangkala Sansekerta merasa hidupnya menyedihkan, penuh penderitaan dan membuatnya merasa tak pantas. Jikalau tidak ada sang ibu disampingnya, mungkin Sansekerta memilih untuk menyerah daripada hidup di dunia bagai neraka ini.

Sebelumnya Sansekerta hanya punya ibunya, tetapi sekarang ia punya satu lagi sosok yang menjadi alasan untuknya tetap bertahan hidup. Kehadiran Sembagi memang bukan bualan semesta. Gadis itu sungguh ada untuk berada di samping Sansekerta tanpa mengomentari kekurangan dirinya dan mengabaikan hidupnya yang miskin.

Sansekerta dan sepedanya memasuki pekarangan rumah tepat ketika matahari kembali ke peraduan. Tak seperti hari-hari sebelumnya, kali ini Sansekerta pulang dengan perasaan lega dan lebih ringan. Setelah masalahnya dengan Sembagi terselesaikan dan mereka kembali bersama, tak memungkiri perasaan Sanskerta jadi membuncah. 

Dengan wajah lelah sedikit berseri, Sansekerta masuk ke rumah usai meletakan sepeda. Baru saja ia hendak menutup pintu, tiba-tiba Lestari keluar tergesa. Ekpresinya panik dan nafasnya memburu.

"Nak, Bapakmu masuk rumah sakit," ucap Lestari gemetaran.

Kedua mata Sansekerta membeliak, kaget akan kabar yang dibawa ibunya. Mulutnya terbuka, ingin berkata tetapi tak mampu. 

"Tadi ibu baru dikabari sama Pak RT. Katanya Bapak kejatuhan beton, parah...," Lestari menjeda kalimatnya. Tetap berusaha tenang meski perasaanya tidak karuan. "Ibu baru beresin baju Bapak yang mau dibawa ke rumah sakit. Kamu jaga rumah, ya?"

Sontak Sansekerta menggeleng, ia ingin ikut, ingin melihat keadaan ayahnya. Bahkan matanya sudah berkaca-kaca, tidak bisa membayangkan apa yang sudah terjadi pada orang yang ia sayangi. 

"Ik...hut, akhu ikhut...," suara sengau Sansekerta terdengar. Jika biasanya ia tidak pernah mengeluarkan suara, entah mengapa kali ini suara di ujung tenggorokannya terdengar memohon.

Tidak ingin membuang waktu, akhirnya Lestari mengizinkan Sansekerta ikut dengannya. Bergegas mereka pergi ke depan gang untuk mencari angkutan umum. Lestari menolak menggunakan sepeda agar mereka bisa lebih cepat sampai di rumah sakit. Lagipula ia tidak ingin anaknya kelelahan karena membonceng dirinya.

Sekitar 15 menit perjalanan, keduanya sampai di rumah sakit. Usai mendapatkan informasi dari resepsionis, mereka berjalan cepat ke UGD. Di depan ruangan, terlihat seorang pria yang merupakan mandor di tempat Subroto bekerja.

"Assalamu'alaikum, Pak," sapa Lestari pelan.

"Wa'alaikumsalam. Istrinya Broto?" tanya pria tersebut dan diangguki Lestari. "Suamimu masih di dalam, belum sadar."

"Maaf, Pak. Tapi..., apa saya boleh tau kenapa suami saya bisa kejatuhan beton?"

Meski sangat khawatir dan ingin segera bertemu dengan Subroto, Lestari juga penasaran dengan kronologi kecelakaan yang menimpa suaminya.

Bahasa Sansekerta (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang