DUA PULUH TUJUH

5.4K 465 14
                                    

27. Kembali jatuh.

"Om, aku bisa nginap disini, gak?"

Pak Razak mengangguk, "iya, Nak. Silahkan. Nanti Ira yang kesini, biar Om yang tidur dirumah Ilham."

Alenia mengangguk lalu mengucapkan terima kasih pada calon mertua Abangnya itu. Begitu Pak Razak keluar dari kamar Rindi, Alenia memperhatikan lamat-lamat wajah Rindi yang sembab. Perempuan itu sudah terlelap dalam tidurnya setelah Alenia memberikan suntikan obat penenang dosis rendah.

Tiga jam yang lalu, kondisi Rindi memburuk. Emosinya tidak terkontrol, ketakutannya bertambah, dan ingatannya melemah. Trauma yang pernah ia alami berhasil mengambil alih keseluruhan kontrol diri perempuan cantik itu.

Rindi sesekali membanting apa saja yang bisa ia pegang ke segala arah sembari berteriak mengatakan bahwa dirinya adalah perempuan yang cacat dan buta. Hal itu tentu sangat menyiksa batin Ayahnya. Kondisi Rindi yang saat itu memang sangat diluar kendali terpaksa harus diberi obat penenang karena tubuhnya sudah sangat lemah tapi fisiknya terus memberontak.

Sekitar satu jam lamanya Alenia, Ilham, dokter Richard, dan Pak Razak berusaha menenangkan dan mencegah Rindi untuk tidak menyakiti dirinya sendiri hingga obat penenang disuntikkan dan mulai bereaksi. Begitu Rindi mulai sedikit tenang, Alenia dan dokter Richard bekerja sama untuk mengobati beberapa luka sayatan di kaki dan wajah Rindi serta kembali memakaikan perban dimatanya.

Setelah memeriksa kondisi Rindi, dokter Richard yang saat itu terhubung langsung dengan dokter terapi mencoba memberikan diagnosisnya dengan diberi arahan dari seberang telepon. Hasil pemeriksaan mengatakan bahwa kesembuhan kaki Rindi akan berjalan lebih lama lagi karena rusaknya kondisi psikis pasien itu. Sarafnya akan melemah seiring kondisi pikirannya tidak baik-baik saja.

Asik melamun sembari menatap Rindi iba, tiba-tiba saja Alenia tersentak saat tangannya langsung digenggam Rindi dengan kuat.

"Rin? Kamu udah sadar?" Tidak ada jawaban, tapi Rindi semakin menguatkan genggamannya pada tangan Alenia. Membuat sang empu meringis kecil.

"To-tolong, Dra. A-aku, a-aku, "

"Rin. Kamu kenapa? Kamu baik-baik aja, kan? " Alenia yang panik karena racauan Rindi langsung menggoyangkan bahu Rindi untuk membangunkannya.

"Aku, aku, a-ku gak mau ma-ti, Andra." Dengan satu tangannya yang lain, Rindi seolah melepaskan sesuatu dari lehernya sembari terus mengigau.

Karena takut terjadi apa-apa, Alenia berteriak memanggil Pak Razak yang memang masih ada didalam rumah. "Om! Om! Rindi, Om! "

Diruang tamu, Pak Razak yang mendengar teriakan Alenia menyebut nama Rindi langsung berlari masuk kedalam kamar. Yang ia lihat Rindi sudah berkeringat dingin dengan rambut yang memang sengaja digerai sudah berantakan. Pria paruh baya itu segera duduk disamping Rindi disisi kasur lainnya.

"Rindi. Kenapa, nak? Kenapa?" Pak Razak menyeka beberapa keringat didahi puterinya. Kejadian seperti ini bukanlah yang pertama kali. Setiap Rindi merasa dirinya tidak berguna, ia akan kehilangan kontrol akan dirinya sendiri, dan saat tertidur, Rindi akan kembali bermimpi hal yang menjadi traumanya.

"Andra, ja-jangan, Ndra."

Karena nafas Rindi yang seperti tercekat karena ulahnya sendiri, Pak Razak segera menarik Rindi masuk kepelukannya.

"Pak."  Panggil Rindi lirih saat beberapa saat dipelukan sang ayah.

"Andra, Pak. Andra datang." Ucapnya lagi sesegukan.

"Rin. Kamu gak apa-apa, kan?" Tanya Alenia yang masih panik. Rindi hanya menggeleng pelan sebagai jawaban. Cukup lama Rindi dipelukan Ayahnya sampai ia kembali tenang dan tertidur.

Karena takut puterinya kembali bermimpi buruk, Pak Razak memilih untuk tetap berada dirumahnya. Ia akan tidur diruang tamu dengan pintu yang sengaja dibuka agar tidak menimbulkan fitnah atau pikiran buruk dari para tetangganya.

Sebelum keluar dari kamar puterinya, langkah kaki Pak Razak terhenti karena pertanyaan Alenia, "kalau boleh tahu, Andra siapa, Om?"

"Nanti Om cerita sama kamu. Sekarang kamu istirahat, sudah larut malam." Karena tidak ada pilihan lain, Alenia memilih mengangguk lalu membaringkan tubuhnya disamping Rindi.

...

Tepat pukul 7 pagi, Alenia dijemput oleh Refan untuk pulang kerumah karena satu dan lain hal. Meninggalkan Rindi yang demam tinggi dan Pak Razak yang selalu menemani puteri tunggalnya.

Didalam mobil, Alenia terus saja bercerita mengenai kondisi calon kakak ipar mereka dengan telepon yang tersambung langsung pada Rafabian.

Dengan beberapa pertimbangan, Rafabian memutuskan untuk segera pulang ke Indonesia malam nanti. Pekerjaannya sudah digantikan oleh dokter senior lain.

"Kondisi matanya baik-baik aja, kan, dek?"

"Baik, kok, Bang. Tapi, dokter Richard bilang kalau penyembuhan kaki Rindi bisa bermasalah lagi karena kondisi psikisnya terganggu."

"Saran ya, Bang. Pulang nanti cepat urus pernikahan, kayaknya lebih baik kalau Abang sendiri yang handle kesehatan Rindi. Apalagi Om Razak kayak lagi sakit, Bang. Makin hari makin kurus, mukanya juga pucat banget, Bang." Kata Refan menanggapi.

Mendengar celutukan sang adik, Rafabian berfikir sejenak. Sepertinya ide Refan tidak buruk, apalagi kondisi Pak Razak yang memang sudah tua tidak memungkinkan beliau akan terus bisa membantu Rindi.

"Kapan Rindi bisa lihat?"

"Belum ada kepastian, Bang. Tapi sebentar kita bakalan bawa Rindi ke rumah sakit karena kondisinya benar-benar drop. Sekalian aku tanya sama dokter disana. Kalau gitu, Alen tutup dulu ya, Bang. Udah sampai rumah soalnya."

Diseberang sana, Rafabian hanya mengangguk. Begitu panggilan terputus, ia segera mengemasi barang-barangnya untuk keberangkatannya malam ini.

....

Pak Razak menatap lamat wajah Rindi yang sedang terbaring lemah diatas brankar rumah sakit lalu menatap wajah Alhara dan Aditya bergantian. Tak lama ia mengangguk. "Silahkan, Pak. Saya merestui." 

Rencana pernikahan Rindi dan Rafabian akan diadakan malam ini juga begitu calon mempelai laki-laki tiba diIndonesia. Karena ruang rawat inap yang ditempati Rindi adalah ruang rawat inap VIP, keluarga besar Rafabian bisa dengan mudah mengakses jalan untuk masuk kedalam ruangan. 

Mendapat kabar bahwa Rafabian sudah dalam perjalanan menuju Indonesia, Alhara segera memberi kabar kepada keluarga Arkana untuk menyiapkan semuanya. 

....

Benar ya, setiap masalah pasti ada hikmahnya:')

JANGAN LUPA VOTE BANYAK-BANYAK!!

PART INI PENDEK YA? GAK SEMPET  NGETIK SOALNYAAA

Dokter Muda Rafabian (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang