LIMA

245 46 27
                                    

Sepanjang perjalanan pulang Lia hanya terdiam. Biasanya gadis itu akan mengoceh panjang kali lebar sampai telinga James panas dengernya. Namun kali ini berbanding terbalik dari sebelumnya. Sunyi sekali, hanya ada suara angin malam yang menerpa keduanya sebagai teman perjalanan panjang mereka.

James melaju dengan kecepatan sedang. Cukup untuk membuat Lia menikmati keindahan malam yang makin dingin itu. Gadis itu tidak tidur, ia sibuk menatap bangunan-bangunan yang mereka lewati sepanjang jalan. Sesekali Lia menatap ke arah langit dengan hiasan bintang di atas sana. Lia menghela napas pelan.

James tak terlalu memusingkan hal itu. Ia malah bersyukur karena tak harus menanggapi celotehan random sang gadis. Hingga tanpa terasa, mereka sudah sampai di depan rumah Lia. Gadis itu buru-buru turun dari motor James sebelum pemuda itu mengomelinya.

"Thanks James!"

"Hm!"

"Gue titip ya!" Lia memberikan helm milik Haris pada James. Membuat pemuda itu berdecak kesal.

"Nyusahin aja!"

"Gue takut kelupaan!" ucap Lia. Meski mengomel, James tetap menerima helm tersebut.

"Alesan!"

Lia tertawa renyah. Tawa paling receh menurut James. "Ya udah sih minta tolong ini. Eh by the way thanks ya, udah nganterin gue pulang!"

"Taruhan tetap taruhan!" sahut James pemuda itu baru selesai menyimpan helm Haris di jok belakang motornya.

"Gak apa-apa sekarang cuma taruhan, besok besok itu karena lo mau sendiri!"

"Omong kosong!" cibir James. Lia memanyunkan bibirnya.

"Udah sana masuk!" usir James pada akhirnya. Lia mau gak mau masuk ke dalam rumahnya sambil melambaikan tangan.

Sepeninggalan Lia, James pun pergi meninggalkan kediaman Lia. Gadis itu baru saja menutup pintu saat lampu rumahnya tiba-tiba menyala. Ia melihat Steven berdiri tak jauh dari tempatnya. Menatap ke arah Lia tajam, namun bukannya takut Lia malah lempeng-lempeng aja. Ia bahkan bersikap tak perduli seakan tak ada Steven saat itu.

"Habis dari mana?" tak ada sautan Lia, tetap berjalan ke arah tangga.

"Kau tau ini jam berapa?" Lia masih saja tak menyahut hingga akhirnya Steven meninggikan suaranya.

"Julia!!!" dan detik itu juga Lia memghentikan langkahnya.

"Sekali lagi papi tau kamu pulang malam, papi akan...."

"Apa?" tantang Lia yang kini menatap ke arah Steven kesal.

"Mau ambil semua fasilitas yang aku gunain dari papi?" tanya Lia, gadis itu tersenyum miring. "Sekeras apapun papi lakuin itu, Lia gak akan pernah hidup susah. Ingat itu!"

"LIA!!!"

"Atau papi mau usir aku? Iya? Supaya papi bisa tinggal bebas sama mereka?!" Lia tertawa kencang namun hambar.

"CUKUP LIA!"

"Kenapa? Itu kenyataannya kan?"

"Mau sampai kapan kamu kaya gini? Iren itu juga sayang ke kamu!"

"Bulshit!" umpat Lia saking kesalnya.

"Kalau dia sayang sama aku, dia gak akan pernah selingkuh sama papi dan buat mami meninggal!" Lia mengepalkan tangannya.

"Kamu salah, mami kamu itu memang sakit parah Lia. Kamu gak bisa nyalahin Iren!"

"See... Papi tetep belain dia kan?" Lia menatap tajam ke arah papinya.

"Urusin urusan papi, Lia akan diam. Tapi jangan pernah ikut campur urusan Lia, selama Lia masih bisa menuruti kemauan keluarga ini!" Lia melangkah meninggalkan papinya. Namun sebelum ia benar-benar meninggalkan lelaki paruh baya itu seorang diri, Lia kembali menoleh.

RED FLAGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang