😃 : Selamat tahun baru! Apa resolusi tahun lalu yang berhasil kamu capai?
🙂 : Tetap hidup.
😃 : Lalu, apa resolusi tahun ini?
🙂 : Tetap hidup.
😃 : Hehehehe.
🙂 : Hehehehe.
_____
Aku tidak akan mati dalam waktu dekat, walaupun sangat ingin.
Aku jamin itu.
Aku sudah menganalisis hal ini jauh-jauh hari. Yang mana, seringnya, Tuhan justru memberikan kebalikan dari yang kudambakan.
Jadi, walaupun aku sudah tidak makan dua hari. Juga mengkonsumsi ativan di luar dosis. Bahkan berdiri di puncak gedung tanpa pengaman seperti sekarang. Aku jamin tidak akan mati.
Aku yakin sekali.
Bicara soal Tuhan, barangkali apa yang kusampaikan tadi akan memicu hal-hal yang menyudutkanku. Aku si malas ibadah. Aku si lemah iman. Aku si manusia putus asa. Aku si —— bla-bla-bla.
Silakan judge aku seperti itu. Tidak usah meminta maaf. Tidak perlu menghargai pendapatku. Karena sejatinya, diriku ini sudah tidak berharga.
Maaf, aku bercanda.
Nope, aku serius. Tapi bohong.
Tidak, kali ini serius.
Tidak, deng, bercanda.
Persetan babi, lah! Haha.
Aku benci mengatakan ini tapi aku memang ingin mati. Kalau kata mati terlalu vulgar, baiklah, akan kukoreksi. Aku ingin menghilang. Lenyap.
Tidak ada yang akan sadar kalau aku mati, maksudku menghilang. Eksistensiku memang tidak terlalu berpengaruh. Aku bukan siapa-siapa, bukan apa-apa. Aku bahkan sangsi jika ada manusia ——siapapun di dunia ini kecuali keluargaku—— yang tahu bahwa aku ini "ada".
Di rumah, aku hanya anak pelakor yang tidak menonjol. Di kelas, namaku cuma pengisi absen ketujuh belas. Di kampus, orang tidak akan sadar aku ini bagian mereka, kecuali ——mungkin—— pihak keuangan, yang mana jika aku telat membayar uang semester, orang-orang itu akan merasa kekurangan dana.
Aku mengembus napas sambil menatap ke bawah. Angin berkesiur ketika kupandangi miniatur-miniatur itu. Jalanan super kecil. Atap gedung perkuliahan, pohon-pohon, bahkan manusia terlihat sangat jauh dari sini. Jelas saja. Aku sedang di lantai paling tinggi.
Aku mendongak ke arah horizon, sekaligus menimbang kembali keputusan final. Tiba-tiba saja bayangan wajah seseorang melintas. Perencanaan matang yang memotivasiku selama ini ikut berkeliaran dalam benak.
Kalau aku lompat sekarang, semuanya akan sia-sia.
Kalau aku menyerah, Karan dan Gatan akan jauh lebih terluka.
Kalau aku mati, siapa yang akan menjaga Mama Maya?
Kalimat terakhir itu membuat jantungku berdebar kencang. Di dalam saku hoodie, tanganku mulai berkeringat. Awalnya aku bisa menguatkan diri, tapi rupanya ativan di celanaku meronta-ronta.
Aku membuka botol obat dengan jari-jari gemetar. Beberapa butir ativan bertebaran ketika aku menadahkan tangan. Napasku makin tercekat dan kurasakan keringat mulai membanjir.
KAMU SEDANG MEMBACA
Luka Luca
General FictionWalaupun sangat ingin, Luca Abadi percaya dirinya tidak akan mati dalam waktu dekat. Seperti halnya hari itu, ketika sudah siap bunuh diri, Clarinna si presiden mahasiswa malah datang memergokinya. Perjumpaan itu membuat segalanya kacau--dalam versi...