bagian pertama: kan cuma air?

2 0 0
                                    

Sore itu seharusnya langit berwarna jingga menghiasi pandangan orang kelelahan setelah seharian beraktivitas. Alih-alih si jingga, justru hujan deras disertai gemuruh petir membuat semua orang terhambat jalan untuk pulang. Gadis berbaju merah muda di seberang jalan sana sudah mengomel, "DEMI APAPUN GUE MAU PULANG, JANGAN HALANGI GUE!" ujarnya, menggigil kedinginan.

Ngomongin hujan, dia juga punya cerita, dulu saat dirinya masih duduk di bangku sekolah.

Hujan turun begitu derasnya, dipagi hari. Rabu yang seharusnya jadi suasana menyeram-
kan justru berubah, jadi jauh lebih menyeramk-
an, sebab hari itu ujian matematika. Semua murid sibuk bolak-balik ke sana dan ke mari, entah untuk mengecek guru atau menghafalkan rumus yang begitu banyak angkanya.

"Mending kalo ini kekayaannya gue yang diitung," Ujar teman sebangkunya yang nampaknya hampir ingin menangis, "SUMPAHHH MATEMATIKA GABUT BANGET NGITUNGIN GINII ARGHHH!"

Alih-alih meladeni temannya, dia justru nyenyak tertidur dipagi hari yang dingin. Dia nyaman, tidak merasa terusik dengan brisiknya orang-orang, kecuali saat sebuah suara memanggilnya, "CLARETTA!" teriak seorang laki-laki di ambang pintu.

Claretta namanya, gadis yang sering menggerutu saat hujan, kenapa si? Padahal kan hujan cuma air. Dia mendongak, "apasih?" dengan muka sebal dia menyahuti laki-laki itu.

"Om lu tuh, di depan," setelah mengatakan hal tersebut dia menghilang dari padangan Claretta.

"Gue ke depan bentar, tolong jagain," Claretta pamit dengan manusia di sebelahnya yang masih mengomel.

"Oke"

Motor merah dengan laki-laki berjaket hitam didepan gerbang itu, tak lain adalah Om nya. Dia ke mari hanya untuk mengantarkan bekal Claretta yang ketinggalan, "Nah makan dulu."

Claretta mengambil bekalnya, bersalaman dengan Omnya sebelum Omnya pergi, biasa orang sibuk. Tapi berhubung Claretta ini sedikit berbeda dengan orang normal biasanya. Dia memberikan bekalnya kepada salah satu murid yang mau masuk kelas, lalu kesempatan bagi dirinya keluar dari gerbang dan membeli bubur ayam. Tanpa payung, hanya bermodalkan lari, satu porsi bubur berhasil dia dapatkan. Sangat disayangkan hujan turun lebih deras dari semula, sehingga membuat Claretta terjebak menepi dengan penjual bubur, memikirkan seribu cara agar bisa ke sekolah karna sebentar lagi bel akan berbunyi. Dengan tekad yang kuat dia berlari menerobos hujan deras.

Dia terdiam, tetesan air tiba-tiba tidak lagi membasahi seragamnya. Sebuah suara di belakang berkata, "katanya sakit, kenapa nekat si?" ujar si pemegang payung di belakangnya. Lumanya ojek payung gratis.

"Habis beli bubur," gadis itu menujukan kresek transparan dengan styrofoam di dalamnya. "Kalo gue ngga buruan, bisa-bisa keburu bel!"

"Lain kali panggil saya saja," ucap pemuda di sebelahnya begitu enteng.

Claretta kalah telak, dia lebih memilih diam, di bawah payung bersama pemuda itu, 'panggil saya saja' seakan menawarkan membagi beban jadi dua. Dua pasang sepatu beriringan melangkah menginjak genangan air, tidak ada hari yang dia selalu ingat, kecuali hari itu.

Gadis berbaju merah muda di ujung jalan ini tertawa lirih, gadis yang sama seperti beberapa tahun lalu. Claretta masih saja merasa lucu dengan peristiwa itu. Akasha selalu membuat merasa terluka dan bahagia bersamaan.

Claretta gadis itu menginjak kakinya yang beralaskan sepatu putih di atas aspal, membiarkan sepatu putihnya yang baru dicuci itu kotor lagi. Dia berjalan beriringan bersama hujan, baginya kehidupan itu pilihan, pilihan kamu mau tetap di sana menunggu sesuatu yang sama dan tidak tau kapan datangnya atau kamu melangkah mencoba menjemput-
nya sendiri walau harus terluka, karna semakin sering terluka maka akan semakin terbiasa. Baginya, hari terus berlalu, tapi jiwanya tak searah dengan raganya, dia menetap. Claretta menetap di tahun itu, masih bersama Akasha.

Claretta yang sekarang adalah dia yang dipanggil dengan nama 'Ret' yang kehujanan di bawah langit yang mendung.

"ASTAGHFIRULLAHALAZIM GUSTIIII!" pekikan itu dari wanita tua, yang sudah menunggu di depan pintu. "Kamu ga liat hujan apa gimana? Basah begitu, mandi sana!"perintahnya. Claretta senang diumurnya yang sekarang dia masih diatur, dia tidak keberatan.

"Aku tuh, pengin hujan-hujanan bu," jawabnya sambil menunduk melepas sepatu.

"Wong edan," ucap perempuan tua itu, melemparkan handuk pada Claretta. "Mama kamu tadi ke sini, Ret."

Claretta menegak sempurna, berharap pendengarannya masih berfungsi normal, "ngapain, bu?" harusnya memang jangan bertanya seperti itu. Apakah salah seorang ibu menjenguk anaknya sendiri? Ngga waras emang Claretta.

Sontak perempuan tua itu menabok Claretta, "lah kamu anaknya kan?" ucapnya, lalu melanjutkan, "dijodohkan kali."

"SEMBARANGAN!" Claretta mendelik tak terima, karna omongan adalah doa katanya.

"BUUUU YUHUUU SASAAA PULANGG!" suara heboh gadis bernama Sasa itu masuk, membawa koper dan helmnya, satu kata untuk Sasa, ribet. Sasa menyalami ibu pemilik kos yang sedari tadi mengobrol dengan Claretta. "Loh? Kak Retta kamu teh habis nyemplung di mana?" komentarnya melihat Retta basah kuyup dari atas sampai bawah.

"HUJAN-HUJANAN DIA! DARI TADI DISURUH MANDI MALAH BERDIRI DI SITU MULU!"

"ORANG IBU YANG NGAJAK RETTA NGOBROL!"

Tak mau kalah, dua duanya saling ngegas. Kata orang, ada dua hal yang kamu harus syukuri di dunia ini, jika kamu meninggalkan rumah. Pertama, dapat ibu kos yang baik, Kedua, tempatmu berkerja, sekolah, atau apapun tidak jauh dari kos mu. Maka Claretta bersyukur untuk yang pertama.


-14 Oktober 2022.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 09, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

katanya sih, pilihan. Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang