Sudah sebulan lamanya setelah acara pergumulan yang dilakukan oleh para pria desa di rumah Pak Darsono, kehidupanku telah kembali normal seperti tidak ada yang pernah terjadi. Aku bahkan masih ingat pagi itu sepulangnya aku dari rumah Pak Darsono, para warga telah melakukan aktifitas mereka biasanya. Pergi bekerja dan melakukan hal lainnya. Begitupun yang aku sadari dari gelagat Satrio yang nampak sangat tenang saat berpapasan denganku di jalan.
Saat itu dia sedang bersama Resti, keduanya tengah berjalan menuju sawah milik mereka. Satrio membawa peralatannya bekerja, sedangkan sang istri mengantarkannya sambil membawa rantang yang berisikan bekal untuk makan siang Satrio nanti.
Kami saling menyapa, hanya saja yang membuatku sedikit heran Satrio ini seperti begitu tenang di hadapanku. Dia bertingkah seperti biasa, seolah-olah tidak ada yang terjadi pada malam sebelumnya. Dia bahkan sempat berakting menanyakan dari mana aku baru pulang pagi-pagi begini, dan membuat lelucon padaku yang habis pulang dari tempat hiburan malam. Dia benar-benar membuatku serba bingung, alhasil aku pun mencoba untuk ikut bersikap seperti biasanya.
Ternyata, hal itu pun terus berlanjut sampai saat ini, sebulan kemudian. Nyatanya para warga yang pernah teringat diriku hadir di pergumulan malam itu, mereka semua bersikap seperti biasa. Pikirku, mungkin mereka ini memang sudah terlatih untuk berakting atau memang menganggap apa yang terjadi pada malam itu sudah menjadi hal yang biasa. Aku sendiri tidak mengerti sampai detik ini, tapi aku tidak ingin mencari tahu lebih lanjut karena aku merasa ini sudah menjadi yang terbaik agar tidak merasa canggung. Terlebih lagi setiap kali bertemu dengan Satrio. Meski aku selalu memiliki niat untuk bertanya padanya, tapi pada akhirnya aku selalu mengurungkan niatan itu.
Kurasa lebih baik tetap seperti ini agar hubungan kami tidak akan berjarak. Begitu juga akan membuatku merasa lebih nyaman dan bisa melupakan semuanya. Lagipula tradisi aneh itu hanya dilakukan sekali dalam satu tahun, sehingga aku bisa bernapas lega dalam satu tahun ini. Begitulah pikirku setiap kali aku mulai merenungkan tentang nasibku di desa ini.
Baru-baru ini aku memang menjadi suka merenung, aku memikirkan tentang apa yang akan aku lakukan di desa ini selanjutnya. Memang, aku sadar meski aku berhenti bekerja, bisnisku yang memiliki kantor utama di Jakarta bisa tetap berjalan dan menghasilkan uang untukku. Soalnya, aku sudah mempercayakannya kepada Tora, orang yang tepat. Namun, aku pribadi merasa bahwa aku tidak bisa selamanya hanya berdiam diri di rumah tanpa melakukan kegiatan apapun. Kecualikan aktifitas sederhana yang dilakukan di rumah, seperti bersih-bersih, memasak, mencuci, menyiram tanaman, dan lainnya, aku masih butuh sesuatu untuk membuatku sibuk di luar. Aku bukanlah tipikal orang yang suka bersantai di rumah, rasa bosan ini sungguh membuatku muak.
Oleh karenanya, sudah seminggu ini aku mulai terpikirkan ide untuk membuka bisnis baru di pusat kota, tepatnya di daerah perbelanjaan yang menjadi lokasi bertemunya para warga dari berbagai desa. Meski kota ini tidak bisa disandingkan dengan kota Jakarta, akan tapi itu masihlah tempat yang ramai dan padat, sehingga cukup untuk mendatangkan pundi-pundi uang jika bisnis yang aku buat nanti bisa berdiri di sana.
Sekedar informasi, untuk nama kotanya sengaja tidak aku beritahukan untuk menjaga privasiku, begitupun nama desaku dan tempat-tempat lainnya. Kalian tidak perlu tahu di mana tempatnya.
Balik lagi, beberapa persiapan telah aku lakukan, tapi di antara itu semua yang masih menjadi hal yang menggangguku adalah sulitnya mengurus perizinannya. Sudah tiga hari ini aku berurusan dengan pihak pengelola daerah yang ada di kota, tapi entah mengapa mereka seperti mempersulit diriku dengan berbagai macam persyaratan. Namun, untungnya kemarin Pak Darsono membantu aku mengurus masalah itu.
Entah bagaimana bisa Pak Darsono ini tahu niatku untuk memulai bisnis di kota. Padahal, aku tidak pernah memberitahu siapapun, bahkan kepada Resti dan Satrio yang beberapa waktu ini sering berkunjung ke rumahku. Lantas, aku masih bertanya-tanya bagaimana dia bisa mengetahuinya? Apa dia mengirimkan seseorang untuk mengawasi aku?
Tidak tahu, aku juga tidak ingin berprasangka buruk kepada Pak Darsono yang sudah dengan baik membantuku. Dia sudah membuat pagiku ini menjadi lebih baik berkat dirinya. Baru saja dia meneleponku untuk memberitahukan bahwa masalah tentang perizinan itu sudah selesai ditangani oleh orang suruhannya. Dia juga mengatakan bahwa aku tidak perlu sungkan untuk meminta bantuannya di kemudian hari. Dia juga mengatakan bahwa dia sudah menganggap aku seperti anaknya sendiri, jadi jangan merasa canggung hanya karena kejadian pada malam itu.
Persetan dengan menganggap aku sebagai anaknya sendiri, perkataan di akhirnya itu seketika menghancurkan suasana hatiku yang awalnya membaik. Memang, sudah sebulan ini aku mencoba menjauhinya. Mengetahui hubungannya dengan ayahku dulu, aku tidak ingin hal itu kembali terjadi padaku dengannya. Membayangkan diriku menjalin asmara dengan pria tua itu bahkan membuatku merinding. Meski begitu, jujur aku tidak membencinya, aku tahu dia orang yang baik, aku hanya tidak ingin bertemu dengannya lagi jika memang tidak perlu.
Tunggu, jika aku pikir-pikir lagi aku baru teringat akan sesuatu hal yang janggal. Mengenai bantuan yang dilakukannya terhadap masalah perizinan itu, bukankah itu membuatku menjadi berhutang kepadanya? Apa dia sengaja membantuku untuk membuatku senang? Jadi ini cara yang dilakukannya agar aku mau menemuinya lagi?
KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah Jaka : Rahasia Para Wanita Desa ✔
Romance[MANXMAN] [BL] [18+] [MATURE] Sudah sebulan sejak kejadian waktu itu, aku berpikir bahwa diriku telah kembali menjalani hidupku dengan normal seperti sediakala. Mengingat tradisi yang dijalankan malam itu hanya dilakukan setiap satu tahun sekali, ja...