Tangisnya

14 2 0
                                    

Malam duka miliknya

Malam itu kubuka pintu perumahan yang berbentuk U, aku menatap ke arah seorang gadis kecil berusia 14 tahun, diujung teras perumahan. Duduk memeluk lutut menangis sesegukan.

Aku berjalan mendekat kearahnya, lalu duduk disampingnya. Tepat diatas keramik putih yang mulai retak. Aku bertanya "why?". Dia malah menangis sejadi- jadinya!

Kusodorkan tisu, sambil kulihat tangannya mengambil meski posisinya tertunduk. Aku mengatakan "Menangislah, lepaskan semua bebanmu. Tidak perlu menahan airmata". Hingga kudengar isaknya yang semakin keras, hingga tangisnya benar- benar lepas. Sampai suara ingusnya tersorok- sorok. Selesai!!!

Masih dengan suara sesegukan, kudengar ia berkata "Kenapa aku dilahirkan kedunia?". Tentu saja aku belum bisa menjawab untuk tanya yang akupun belum tahu mengapa dia menayakan demikian. Aku terdiam, mencerna pertanyaannya, lalu kembali kuucapkan kata "Why?".

Dia mulai mengangkat wajahnya, menggisuk- gisuk matanya. "Aku teringat masa kecilku, ibu lihat bekas luka dikepala belakangku. Ini luka karena dilempar balok oleh ibuku". Aku mulai goyah, airmataku muntah.

"Why?". Kata itu kembali kuucapkan, karena kupikir ibunya pasti punya alasan.

"Karena aku rebutan layang- layang sama teman, tapi itu memang layang- layangku. Ibu marah karena temanku menangis. Kalah! Lalu ibu melempar balok itu kekepalaku saat aku lari dari kemarahannya".

Aku manarik nafas yang dalam, airmataku resmi tumpah ruah. Aku mengatakan hal yang seharusnya ibunya rasakan setelah kejadian itu.

"Seandainya kamu mati, karena balok yang menghantam kepala belakangmu. Seumur hidup ibumu akan menyesal".

"Ibu memukulku setiap hari, sampai punggungku memar, biru". Dia kembali menangis dengan suara yang pilu.

"Tapi kenapa?" Aku benar-benar tidak habis pikir ibu kandungnya tega melakukan itu.

"Ya, mungkin ibu stress karena perceraiannya." Kata- kata itu  keluar dari mulutnya, seakan memberi penekanan, Ia maklum.

"Tidak perlu dendam pada ibumu, dia punya alasan". Kugaungkan kata untuk menjaga takut ia menyimpan luka pada ibunya.

"Aku tidak dendam, Bu. Aku hanya tidak ingin mengingatnya". Masih dengan airmata yang mengalir dipipinya.

Aku  melihat dia mencoba, menegarkan diri yang memang sedang rapuh- serapuhnya.

Dia adalah korban, korban perceraian. Entah apapun alasan orangtuanya bercerai, tapi kesakitan terbesar ada padanya. Dia menjadi pelampiasan emosi ibunya, tempat menumpahkan kekesalan. Padahal dia tidak bersalah.

Aku hanya berharap, semoga perceraian orangtuanya bukan karena hadirnya pelakor. Karena bila ya, aku akan mengutuk pelakor itu. Betapa tega menghancurkan hati istri, menumbalkan anak- anak mereka.

Tentu saja kewarasan seorang istri  yang juga ibu, pasti sangat terguncang dengan hadirnya pelakor. Terlebih berujung perceraian.

"Aku pernah hampir bunuh diri bu, tapi aku takut mati". Pernyataan membuatku terhenyak.

"Jangan bunuh diri nak, bumi tidak menerima kematianmu". Aku menakutinya dengan kalimat itu.

"Tentu saja tidak bu, karena bila rasa itu muncul aku akan melampiaskan pada rambutku. Ibu lihat rambutku sudah mulai botak karena kupotong". Dia memperlihatkan rambutnya yang terlihat bekas potongan yang berantakkan.

"Kenapa? Bukankah itu sudah dulu? Kenapa masih melakukan hal mengerikan? Ibumu sudah tidak memukulmukan?" Kulontarkan banyak pertanyaan.

"Ya, ibu sudah tidak memukulku. Aku sudah besar dia pasti ngerti. Ibu juga sudah menikah lagi. Tapi ada masalah baru lain, Bu. Makanya saya tinggal disini karena lari, tidak kuat menjalani hari- hari dirumah"Dia menjawab lalu menarik nafas yang dalam.

Ada pertanyaan kemabli muncul, punya masalah apa lagi. Kenapa gadis sekecil ini memiliki beban yang sudah berat diusianya yang masih remaja.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 25, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Malam Duka MiliknyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang