Di halaman rumahnya, Naresh tampak baru saja memarkirkan motornya. Ia lalu berjalan menuju pintu teras rumah dan langsung membukanya karena pintunya tidak dikunci.
"Assalamu'alaikum.. Aku pulang, bun!", teriak Naresh saat membuka pintu rumahnya.
Tampak bunda Naresh berjalan menghampirinya dan menyambut kepulangannya.
"Wa'alaikumussalam, iya sayang..", ucap bunda Naresh.
Naresh lalu mencium tangan bundanya.
"Kamu kok pulangnya ngga pakai jas hujan sih, Na? Di luar kan masih gerimis. Nanti kamu sakit, sayang..", ucap bunda Naresh khawatir.
"Cuma gerimis doang kok.. aman", ucap Naresh.
"Ya udah, sanah kamu langsung mandi pakai air hangat! Nanti bunda bikinin teh hangat buat kamu sekalian bunda ambilin makan, ya? Jangan lama-lama mandinya, nanti kamu kedinginan", ucap bunda Naresh.
"Iya, bun", ucap Naresh lalu memasuki rumahnya dan segera melaksanakan perintah bundanya.
Setelah selesai mandi, ia tampak tengah mengeringkan rambutnya yang basah dengan handuk kecil. Ia duduk di atas ranjang kamarnya, melihat foto Jeno dan dirinya yang kini sudah kembali terpajang di meja kamarnya dengan bingkai foto yang baru karena bingkai foto yang sebelumnya sudah pecah dan rusak beberapa hari lalu. Ia memperhatikan foto itu.
Tak lama, ponselnya berbunyi menandakan ada seseorang yang meneleponnya. Itu adalah telepon dari Candra. Ia sengaja tidak mengangkatnya meski Candra sudah berkali-kali mencoba meneleponnya.
Namun, tiba-tiba Candra mengiriminya pesan. Ia hanya membaca pesan itu tanpa membalasnya.
Candra.
Na, angkat telepon gua kali ini aja..
Kali ini, tolong jangan egois..Setelah itu, Candra kembali meneleponnya. Akhirnya, ia pun mengangkat telepon itu.
"Ngapain lu telepon gua?!", ucap Naresh dingin.
"Na.. Jeno udah ngga ada..", ucap Candra dari seberang telepon.
"Apaan sih, Can?! Ngga usah bikin bercandaan kayak gini, deh! Ngga lucu!", ucap Naresh.
"Na.. gua ngga lagi bercanda. Gua serius..", lirih Candra.
"Maksud.. maksud lu apa, Can?!", ucap Naresh dengan suara yang memelan.
"Na.. Jeno udah meninggal..", lirih Candra.
Mendengar itu, Naresh mendadak melemas.
"Can, gua minta maaf soal yang kemaren-kemaren sama lu, Can.. tapi tolong jangan bilang yang engga-engga soal Jeno ke gua. Gua ngga mau denger, Can..", ucap Naresh.
"Na, gua serius.. Jeno udah meninggal Na.. Jeno udah ngga ada..", ucap Candra.
"Kenapa? Biasanya kalo sakit, dia juga bakal baikan, Can.. apa-apaan lu ngomong Jeno meninggal?! Ngga mungkin, Can!", ucap Naresh dengan mata yang sudah berkaca-kaca.
"Ini semua gara-gara Mahen! Gua benci banget sama dia, Na! Dia yang udah buat gua kehilangan Jeno! Dia yang udah bikin Jeno pergi!", ucap Candra. Naresh ikut menangis mendengar suara Candra yang sepertinya sedang menangis.
"Can.. lu pasti bercanda kan, Can?! Engga, Can.. Jeno ngga mungkin tinggalin gua!", ucap Naresh sambil menangis.
"Dia dibunuh sama Mahen, Na! Dia dibunuh sama orang yang lu belain dari kemaren! Lu bilang Jeno pembunuh! Lu sama jahatnya sama Mahen, Na! Sekarang Jeno udah ngga ada.. lu puas, kan?! Lu udah ngga sayang lagi sama Jeno, Na.. lu benci sama Jeno sekarang. Lu puas kan sekarang?!", ucap Candra.
KAMU SEDANG MEMBACA
Peluk Aku, Bunda√
Novela JuvenilDILARANG PLAGIAT!!! ❌ (𝐿𝐸𝑁𝐺𝐾𝐴𝑃 !!) "Ayah, bisakah ayah kembalikan bunda? Aku butuh bunda,"