Malam yang dingin membuatku enggan melakukan apapun hanya duduk di meja belajar dengan baju pajama agar tubuhku tetap hangat. Terkadang ibu masuk dengan mengetuk pintu terlebih dahulu membawakan beberapa makanan berupa kripik dan susu atau sereal, hari ini dia membawakan buah yang sudah dikupas dan dipotong beberapa bagian. Tanpa sadar yang kulakukan malah membaca novel hingga keterusan dan melupakan pekerjaan sekolah.
Jam menunjukan pukul 10 malam aku harus tidur ketika melihatnya namun, pintu kembali diketuk sebanyak tiga kali aku sama sekali tidak merasa jengkel lagi jika itu ibu. Kenyataanya berbeda, Saki yang tidak pernah aku lihat justru dia repot-repot datang ke kamarku. Terlintas dalam kepalaku mungkin ini ada hubungannya dengan kejadian saat itu. Bisa jadi dia akan memarahiku.
"Bo-boleh aku masuk." Dia gugup, tidak mungkin dia gugup jika harus marah kepadaku.
"Ya, apa ada sesuatu?" Tanya aku yang ingin segera mengakhiri situasi ini.
Saki mulai duduk di kasurku, dia mengusap-usap matanya. Apa dia sedang menangis, aku tidak tahu sebelum melihatnya langsung. Memang dia sedang terisak-isak, aku putuskan untuk kembali duduk di kursi meja belajar berpura-pura membaca novel sambil meliriknya. Semakin lama semakin kencang, air hujan tidak bisa menutupi suaranya lagi aku tidak tahu kenapa dia menangis.
"Mau apa kau ke sini? Jika hanya untuk nangis pergilah ke kamarmu." Bukan bermaksud aku kasar, tetapi memang dia selalu merendahkanku agak menyebalkan.
"Zen, maafkan kakak, aku... aku tidak tahu apa-apa soal perasaanmu. Selama ini kamu menanggung beban."
Rasanya dia semakin aneh, ucapannya tidak bisa kumengerti apa mungkin terlalu banyak belajar hingga otaknya rusak.
"Apa maksudnya? Aku tidak mengerti." Ujarku padanya.
"Zen, aku minta maaf selama ini. Aku bagian dari keluarga tetapi aku tidak pernah memperhatikanmu sebagai adik. Selama ini, perihal ibu kamu menyembunyikannya kan?" Sejujurnya aku kaget dia bukan memarahiku, bahkan dia tahu soal ibu. "Kamu menyembunyikan dari yang lain agar semuanya berjalan tanpa adanya kekerasan, Zen aku minta maaf sebagai kakak aku tidak bisa menolong, aku hanya fokus pada diriku sendiri... aku minta maaf Zen...."
Saki memegang kedua bahuku dengan kedua tangannya dengan erat dan keras, kukunya menusuk dan membuat sobek pajama yang aku kenakan. Dia sangat bersalah dan memohon padaku untuk mengampuninya dengan bersujud kepadaku selagi tangannya mencengkram kedua celanaku.
Melihat dia begini aku tidak tahu apa isi hatinya, kenapa dia begitu bersalah.
Dia kembali berdiri dan membelai wajahku, seolah dia sedang menggodaku. "Zen, sebagai permintaan maaf kamu boleh menciumku atau melakukan apapun yang kau mau."
Kaget bukan sembarangan, mendengar kata itu keluar dari mulutnya apa dia tidak sadar bahwa kita adik dan kakak.
"Jangan bercanda! Pergi dari kamarku, dasar setan!" Aku membentaknya, gawat suaraku mungkin sangat kencang aku berharap tidak membangunkan ibu dan ayah.
"Maaf." Kata Saki menundukkan kepala, dia keluar dari kamarku.
Apa aku merasa penghuni rumah ini tidak ada yang beres sama sekali atau hanya perasaanku saja.
"Zen," Theo muncul tiba-tiba, "kakakmu mengerti tentang dirimu dan kondisi keluarga, dia hanya tidak bisa mengungkapkan emosinya dia menaruh empati kepadamu. Jangan begitu marah."
Kasur aku rapikan dan siap aku tiduri, satu hal yang pasti kali ini Theo sama sekali tidak memberi tahu apapun tentang semuanya dan itu membuatku lebih berat. Dia datang sesekali hanya untuk meluruskan apa yang membuatku salah paham. Tapi satu pertanyaan sebelum tidur, aku harus tanyakan padanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
WHITE LITERATURE
Novela JuvenilAku telah mati. Sesosok mahkluk hitam memberi tahu bahwa aku diberi kesempatan untuk hidup di dunia untuk mengingat "dosa" yang sangat besar. Dia berkata bahwa hidupku dan rohku akan hilang jika tidak menyelesaikan "dosa" yang telah kuperbuat. Rohku...