Theo sudah dua hari lamanya tidak lagi ketemu, mahkluk seperti dia bisa sibuk juga atau kelayapan tidak jelas yang pasti aku mencoba memanggilnya tidak kunjung datang. Apa mungkin selama ini hanya halusinasiku saja? Mustahil, jelas-jelas dia yang memerintahkan semua ini.
Baru setengah jalan pulang dari sekolah cuaca kembali mendung tidak lama setelahnya langsung hujan deras tidak ada tempat meneduh selain harus berlari menuju rumah, ujung-ujungnya aku memutuskan untuk berteduh bisa gawat jika semua tas dan buku-buku di dalamnya basah.
Aku lupa bawa payung tetapi cuaca bilang akan panas hari ini, ada kalanya aku tidak terlalu mempercayai pendeteksi cuaca memang wajar setelah musim gugur akan ada hujan walau sedikit.
Cukup lama aku menunggu, jam di ponselku menunjukan sudah hampir mau jam 6 sore, aku putuskan untuk berlari karena memang hujan mulai sedikit reda akan tetapi dari arah berlawanan ada seseorang menggunakan payung satu berdua pandangannya lurus ke depan seolah-olah... seolah-olah dia tidak bisa melihat.
"Zen?" Sapanya. "Kamu Zen 'kan?"
Dadaku berdegup, keringat dingin dan panik. Aku yakin dia adalah ibunya Chiyo dan Chiyo bersamanya, dia menggunakan tongkat kecil panjang.
"Kehujanan ya? Bahaya loh, nanti sakit. Ayo masuklah." Ibunyanya Chiyo mengajakku untuk masuk ke dalam garasi yang ternyata selama aku berteduh adalah rumahnya Chiyo.
Sejujurnya aku tidak ingin masuk, tetapi merasa tidak enak jika harus menolak terlebih bertemu Chiyo setelah dia berkata bahwa untuk tidak pernah bertemu dengannya lagi. Tidak memiliki keberanian untuk menghadapinya, aku pikir aku akan dihajar dan dipukul habis-habisan karena telah melukai Chiyo. Apa jangan-jangan Chiyo tidak menceritakan kejadian itu pada orang tuanya sama sekali? Apa aku harus jujur dan meminta maaf langsung atau aku harus pulang, ini tindakan pengecut aku tahu.
"Kenapa? Wajahmu pucat, apa kamu baik-baik saja? Minumlah teh hangat ini." Teh hangat yang dia tuangkan beraroma wangi sekali, selain itu dia juga memberikanku handuk untuk mengelap kepalaku yang basah.
"T-terima kasih."
"Hmm, soal Chiyo sepertinya dia akan pindah ke sekolah berkebutuhan, kata dia matanya sudah tidak bisa melihat dengan baik. Jadi aku putuskan untuk mempersiapkan kepindahannya. Maaf ya Zen kamu jadi tidak bisa lagi sekelas bareng tapi kamu bisa main ke rumah kalo ingin ketemu."
Apa-apaan sikap ini, bukankah ibunya terlalu tenang menghadapi masalah ini. Soal matanya yang rusak itu jelas salahku bukan? Kenapa Chiyo tidak memberi tahu masalah penting ini padanya. Aku siap menerima ini, aku siap mengalami hukuman ini meski tubuhku berkata sebaliknya.
"Anu... apa dia baik-baik saja?" Tentu dia tidak baik-baik saja, apa yang aku tanyakan ini.
"Ya, jika Zen penasaran tanyakan sendiri saja." Suruhnya dia mengajakku menuju kamarnya yang berada di ujung rumah. "Bawa ini," ibunya juga memberikanku teh hangat dan beberapa kue kering yang baru saja dipanggang.
Tampaknya ruang depan yang aku anggap sebagai garasi adalah sebuah toko kue, wangi adonan menyebar ke seluruh ruangan bisa dibilang ini adalah parfum alami yang tidak sengaja tersebar.
Aku berjalan menuju kamarnya, pintu itu tergantung nama yang diberi pernak-pernik kertas lipat dengan berbagai macam bentuk hewan dan bintang-bintang "Chiyo" tulisnya. Kuketuk pintu sebanyak tiga kali, entah semacam reflek bahwa tiga ketukan adalah hal yang wajib.
"Ini aku, Zen." Sahutku agar dia tidak merasa kaget agar dia tidak salah mengira.
Perlahan dia membukakan pintu, muncul dari sela-sela menatapku, pasti dia tidak bisa melihatku pandangan dia terlalu rendah untuk melihat wajahku.
KAMU SEDANG MEMBACA
WHITE LITERATURE
Ficção AdolescenteAku telah mati. Sesosok mahkluk hitam memberi tahu bahwa aku diberi kesempatan untuk hidup di dunia untuk mengingat "dosa" yang sangat besar. Dia berkata bahwa hidupku dan rohku akan hilang jika tidak menyelesaikan "dosa" yang telah kuperbuat. Rohku...