Chapter 11. Surat I

50 7 0
                                    

Sudah 3 tahun lamanya waktu berlalu dan kini aku sibuk mencari pekerjaan kadang-kadang aku meluangkan waktu di toko kue kering milik ibu Maya, dia adalah ibunya Chiyo Chise. Jika ada kesempatan kosong ayahnya Chiyo mengirimku ke penginapan sebagai pengurus kebersihan dia sangat baik walau tampang wajahnya menyeramkan.

Pertama kali aku bertemu dengannya ketika sekolah dan hendak menjemput Chiyo dari sekolahnya menggunakan sepeda namun, ayahnya datang dengan tujuan yang sama. Aku kebingungan pada saat itu jadi aku biarkan Chiyo untuk bersama ayahnya menaiki motor dengan begitu lebih cepat sampai. Ayahnya pun berkata, "Zen, kau datang menjemput Chiyo? Maaf ya, aku duluan yang datang lain kali kau harus cepat datang." malah seperti berlomba mendapatkan hadiah spesial, dia tertawa terbahak-bahak.

Hubunganku dengan Chiyo bisa dibilang tidak berubah, hanya saja dia membiarkanku melakukan apapun pada dirinya untuk meringankan itung-itung melepaskan beban pundaknya serta melihat dia tidak berdaya itu bukan sifatku. Banyak sekali seperti: Mengantarnya atau menjemput, membantu dia berjalan, mengajak dia berkeliling pada saat itu dia lebih memilih menggunakan kursi roda sepertinya butuh waktu lama untuk terbiasa dengan kondisi mata yang boleh aku katakan kasar, buta.

"Zen, tolong bantu panggang dan juga atur waktunya menggunakan timer, tidak lama kok paling 15 menit juga sudah matang."

"Baik!"

Memanggang kue ternyata tidak segampang yang aku kira, jika menggunakan alat manual seperti pemanggangan tanpa waktu hitung mundur otomatis mungkin hasilnya bakalan gosong. Yah, syukurlah ini tidak terlalu memberatkan dan tidak membebani ibu Maya rasanya aku bisa berguna, walau memang aku pernah membuat satu loyang hangus. Membayangkannya saja cukup malu, tentu itu wajar aku juga masih pemula mereka malah menertawaiku karena rasanya pahit.

Salah, ini tidak seharusnya begini. Mereka masih belum tahu bahwa aku adalah pelaku kejahatan yang membuat putrinya cacat permanen. Kenapa harus jadi seperti ini, apa benar ini adalah kutukan, pastilah, takdir dengan sengaja memperlakukanku seperti mainan karena memang tidak bisa dimaafkan, membuatku sulit mengungkapkan kenyataan pada mereka yang bahagia.

"Zen, apa kamu baik-baik saja? Zen."

"Oh, ah, maaf aku melamun lagi, soal kue yang tadi sudah diangkat dan hasilnya lumayan bagus." Komentarku pada Maya penuh semangat.

"Bagus deh, tapi Zen kamu boleh istirahat, pelanggan juga sudah sedikit dan pesanan juga sudah semua sisanya serahkan padaku!" Sahutnya sembari bertingkah layaknya pahlawan keadilan.

Meski sudah terlihat keriput pada wajahnya, ibu Maya memang tampil mirip murid SMA yang semangatnya entah muncul dari mana, itu yang membuat suasana ini tetap terjaga.

Chiyo hanya duduk di ruang tengah bersama denganku, dia selalu berusaha melihat-lihat— salah, dia mencoba memahami situasi dengan pendengarannya hanya itu saja. Impiannya telah padam, tidak bisa melakukan apa-apa, bekerja juga sulit bagi dia penyandang disabilitas, cita-cita? Kira-kira apa yang Chiyo cita-citakan. Aku tidak tahu, tidak punya hak untuk bertanya. Setiap orang punya hal yang ingin digapai pasti Chiyo juga punya, itu yang aku pikirkan setelah memandangnya.

Hal yang berubah dari Chiyo, berhenti memberiku rasa sakit, itu karena 1 tahun kebelakang. Penghakiman terakhirku bisa dibilang begitu, aku berdebat dengannya untuk lebih membalaskan dendam miliknya. Aku berencana memberi tahu pada orang tua Chiyo tentang perbuatanku padanya tapi dia bersikeras menolak, dia bilang "Mampus" dan "Rasakan itu!" atau "Kau harus merasakan dosa ini." tapi itu hanya kepuasan dirinya saja, ada yang salah dari itu maksudku jika aku bilang terus terang pasti sanksiku lebih besar bisa jadi sekarang harusnya aku ada dipenjara, tapi dia bilang "Kau berniat melarikan diri dariku?! Dengan kabur dari belenggu ini dan menetap di jeruji besi?!" padahal itu hanya salah paham, mustahil aku berpikiran untuk melarikan diri sekali lagi aku tidak bisa mengungkapkan kebenaran yang menimpanya. Dia mungkin sangat marah, raut wajahnya berubah dia melukai leherku dengan silet yang dia raih di laci mejanya. Aku sendiri panik melihat darahku sendiri bergenang di wajahku, aku pikir aku yakin pada saat itu bakalan mati. Chiyo tentu bahagia, tetapi kenapa? Kenapa dia malah menangis, aku tidak mengerti jalan pikirannya sama sekali.

WHITE LITERATURETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang