Chapter 14. Pengakuan

48 7 0
                                    

Tidur siangku terganggu oleh suara bising dari arah bawah, dari percakapan sepertinya mereka sudah pulang dari pantai. Aku turun ke bawah untuk mengeceknya, barang bawaan mereka tambah banyak atau hanya perasaanku saja.

"Oh, Zen, kita sudah pulang. Sayang sekali kamu tidak ikut di sana ramai sekali loh!" Serunya Saki padaku.

"Oh, ya? Kalian tampak sedikit gelap kulitnya." Pantai identik dengan musim panas kadang tidak sadar bahwa kulit mereka tersengat ultraviolet.

"Ya, hehe. Kami sangat suka berenang jadi inilah hasilnya." Ayah menunjukan kedua lengannya melihat ada belang antara lengan bawah dan atas.

"Zen, kemarilah." Tiba-tiba Johan mengajakku keluar.

Aku mengukutinya, Johan membuka pintu belakang mobil dan melihat ada sekitar 3 mungkin 5 pot beserta berbagai macam tanaman dan bunga di sana. Aku terkejut, maksudku bagaimana mereka tahu bahwa aku suka dengan tanaman, yah walau tidak terlalu paham soal merawat.

"Sejujurnya, Saki atau ibu suka melihatmu membeli bunga dan entah kemana bunga itu perginya. Mungkin kamu mau menerima ini?" Ujar Johan menurunkan semuanya.

"Oh, begitu ya, sebanyak ini bukankah ini mahal?" Berbagai macam corak, ada yang daunnya berwarna merah, juga bonsai yang benar-benar mirp pohon beringin dan masih banyak lagi. "Aku punya orang yang bisa merawat berbagai tanaman terutama bunga, jadi aku suka memberinya atau menyimpannya di temanku." Aku tidak bisa menjelaskannya bahwa bunga itu aku hadiahkan untuk Chiyo.

"Ahh, tidak usah khawatir, aku sudah bilang akan membawakanmu oleh-oleh." Johan menepuk bahuku, seolah agar tidak terlalu memikirkan tentang biaya. "Dan juga itu semua milikmu jadi bebas kamu mau apakan tentang tanaman itu."

Senang sekali rasanya bisa melihat ini semua, pasti Chiyo akan bahagia banyak sekali bunga yang aku berikan. Tapi, aku masih belum percaya diri jika harus menghadapinya sekarang semenjak kejadian pagi tadi agak kacau sedikit, bahkan untuk mendekatinya saja sulit.

Esok paginya, aku berniat bekerja di toko Maya namun, ayahnya memintaku untuk mengurus penginapan. Besoknya lagi aku mencoba menawarkan bantuan untuk membuat kue kering, lagi Yuji memintaku untuk membantu persiapan di penginapan. Kejadian terus terulang sampai satu minggu dan aku seperti tidak boleh bekerja di sana lagi, aku tahu ini sedari awal mereka tidak membutuhkanku hanya sekadar pegawai tambahan sementara, mungkin lebih baik aku mencari pekerjaan lain bergantung pada mereka lebih seperti merepotkannya.

"Ibu Maya, maaf aku mungkin tidak banyak membantu tapi terima kasih untuk semuanya, aku hanya ingin—" ucapanku terhenti setelah aku mencoba mengundurkan diri dengan sopan.

"Zen, maafkan aku. Sebenarnya aku tidak melarangmu untuk bekerja di sini. Tetapi, karena Chiyo dia tidak ingin bertemu denganmu dulu." Dia menyela perkataanku dengan lebih melegakan perasaanku. "Aku juga tidak melarang untukmu datang ke sini, tetapi Chiyo tidak mau menjelaskan apa yang jadi alasan untuk tidak ingin melihatmu, pasti tidak salah lagi tentang kejadian hari itu ya." Orang tua tetap bersikap seperti orang tua mereka malah menjahiliku dengan sikap yang kekanak-kanakan, mungkin kenyataanya lebih dari itu.

"Aku datang ke sini juga untuk minta maaf, juga ingin memberikan bunga ini." Tunjukku pada Maya bunga yang di beri dari Johan.

"Oh, hebat, walau ibu tidak paham tentang bunga, tapi corak ini pasti sangat mahal." Dia hanya terkesan karena penampilan luarnya saja, aslinya bunga ini banyak di temui di mana saja.

Aku berusaha memberanikan diri masuk ke dalam rumah, seperti biasa dia hanya ada di halaman belakang dengan posisinya yang sedang menyentuh bunga dan memegang dirigen berisi air.

"Aku Zen." Sapaku agar Chiyo tahu siapa yang datang, "sedang menyiram? Hari ini aku membawakan bunga lain. Cukup bagus aku rasa, wanginya juga terasa, katanya ini bisa mengusir nyamuk. Mungkin kamu tahu apa tanaman ini."

Dia masih tidak menjawab, aku simpan pot bunga dekat dengannya dan bunga lain. Dia menyentuhnya lalu menyiramnya juga, semuanya diperlakukan sama tanpa pandang yang berbeda.

"Chiyo, aku minta maaf soal... yah, kamu tahu. Aku tidak bermaksud hanya saja... hanya saja...," aku tidak bisa mengatakan ini.

"Hentikan." Tegasnya singkat.

"Tapi, Chiyo—" dia berusaha menyela ucapanku, tapi aku harus mengatakan ini sebelum penyesalan berlanjut. "Tapi, Chiyo! Perasaanku itu nyata, bisakah kamu mempertimbangkannya aku selalu ingin mengatakan ini jadi biar aku katakan sekali lagi. Aku mencintaimu Chiyo, aku ingin menikahimu."

Benar, aku tidak bisa membohongi diriku lagi. Sudah berapa lama perasaan ini ada dalam hatiku, bahkan aku sendiri tidak tahu. Mungkin semenjak sekolah, ketika pertama kalinya dia memukuliku aku sudah menaruh perasaan padanya meskipun aku tahu aku malah membuatnya semakin menderita bukan aku yang menderita.

"Ada apa Chiyo, apa kamu ingin sesuatu?" Tanyaku padanya yang mencoba mencari-cari sesuatu.

Dia menjulurkan tangan ke depan seolah ingin aku mendekatinya. Aku raih tangannya dengan penuh perhatian lalu dia juga meraba tubuhku dan berakhir memegangi kedua pipi kanan dan kiri. Air matanya mengalir aku bisa melihat cerminanku di air matanya, seketika dia melepaskan tangan kanan di pipi kiriku mengangkat tinggi-tinggi dan langsung menamparku dengan keras.

Aku syok tidak percaya, mungkin telingaku berdengung kencang aku tidak bisa mendengar suara apapun hidungku juga mimisan, dia menangis keras aku memeluknya dengan erat kendati dia menolak aku memaksa diriku untuk terus memegang erat hingga dia menerima pelukanku.

"Apa jawabanmu Chiyo? Bukankah ini lebih baik, aku tidak akan bisa melarikan diri dari apapun, kamu bisa membuatku lebih menderita jika kita menikah bukan begitu? Semua dosa-dosaku yang aku tanggung ini tidak akan aku lepaskan dengan mudah setelahnya. Bukankah itu yang terbaik, kamu bisa lakukan apapun. Chiyo...." Sembari aku terus memeluknya aku mengungkapkan perasaanku padanya. "Apa yang akan kamu lakukan? Perasaanmu bagaimana tentangku...."

Chiyo berusaha membisikan sesuatu padaku namun, rasa sedihnya menutupi kerongkongan.

"Curang... kamu curang Zen, seharusnya kamu mati. ini malah menguntungkan dirimu... bagaimana aku bisa melukaimu jika aku seperti ini... kau curang Zen, tidak bisa dimaafkan...."

Aku memikirkan posisinya, tidak bisa disalahkan aku yang harus dia benci dan mengutuk untuk mati, justru perasaan ini malah menambah kesakitan baginya. "Tapi, bagaimana jika aku merubah semua ini... merubah cara dendam ini, merubah penderitaan ini menjadi lebih baik." Aku melepas pelukannya dan memandang wajah Chiyo.

"Apa yang kau rencanakan, Zen. Kamu tidak pernah sedikitpun merasa menderita karena ini."

"Berjanjilah." Aku menarik tangan kanan Chiyo dan melipat semua jari mengepal hanya menyisakan kelingkingnya saja, aku mengaitkan jari kelingkingku padanya. "Berjanjilah Chiyo, kita ubah caraku menebus dosa ini dengan kebahagiaan, aku akan membahagiakanmu... jika aku gagal—"

"Aku akan membunuhmu." Selanya, jari kelingkingnya denganerat menarikku Chiyo menerimanya.

WHITE LITERATURETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang